Nightmare 49: Resort (1-2-3)
"Penginapan"
cr: mengakubackpacker.blogspot.com
~~'
Catatan: Resort adalah sebuah cerita yang sangat panjang, meliputi sekitar 16 episode. Kisah ini bercerita tentang tiga sahabat bernama Takumi, Shoji, dan Yuuki (sang narator). Mereka memutuskan untuk bekerja selama liburan musim panas di sebuah penginapan terpencil. Mereka menduga Makiko, sang pemilik penginapan menyembunyikan sesuatu di lantai dua penginapannya. Ketika mereka memutuskan untuk naik ke lantai dua, didorong rasa ingin tahu mereka, hal mengerikan pun terjadi.
Karena cerita ini sangat panjang, sebaiknya jangan terlalu berharap untuk langsung mengetahui endingnya. Nikmati saja tiap episodenya.
Tidak ada unsur kutukan atau apapun....happy reading! -radif
####''
Resort 1:
Peristiwa ini terjadi ketika aku masih menjadi mahasiswa baru.
Musim panas mulai mendekat. Aku dan empat temanku memutuskan untuk berlibur ke pantai. Ketika kami membahasnya, salah seorang teman kami mengusulkan untuk bekerja paruh waktu di sana. Kamipun setuju, karena toh sebulan bermain di pantai kedengarannya membosankan. Paling tidak dengan bekerja, kami akan mendapat tambahan uang saku. Sayangnya, dua orang teman kami harus mengikuti seminar, sehingga mereka tak bisa ikut. Akhirnya, hanya kami bertiga yang meneruskan rencana tersebut.
Maka kamipun mulai mencari pekerjaan musim panas secara online Lowongan di sebuah hotel menarik perhatianku. Tentu karena aku berpikir pasti mudah bertemu dengan gadis-gadis di tempat semacam ini. Sempurna!
Kami menelepon hotel tersebut dan pemiliknya melakukan wawancara melalui telepon. Semua berjalan lancar. Kami bertiga diterima bekerja di sana selama musim panas. Dengan rencana kami berjalan lancar, kamipun tak sabar menantikan musim panas, bahkan sudah berandai-andai bertemu wanita-wanita cantik di sana.
Akhirnya hari itu tiba dimana kami mulai bekerja di hotel itu. Ini adalah kali pertama aku bekerja, jadi aku merasa sedikit gugup, namun juga excited.
Ketika kami tiba di hotel itu, kami terperangah. Ternyata hotel itu bukan hotel modern seperti yang kami duga. Hotel itu ternyata adalah rumah tradisional Jepang yang sudah tua, namun sangat luas dan masih terawat baik. Namanya cukup aneh, "B&B Cottage", sama sekali tak cocok dengan atmosfer Jepang yang sangat kental di sini.
Kami memanggil dari depan pintu dan seorang wanita berumur separuh baya menyambut kami. Ia tersenyum dan memperkenalkan dirinya sebagai Makiko-san, pemilik penginapan ini.
Hotel ini memiliki empat kamar untuk tamu, sebuah ruang makan, dan dua kamar untuk staf. Sehingga total terdapat enam kamar, tidak termasuk dapur. Kami kemudian dibawa ke ruang makan. Setelah beberapa saat, seorang gadis muda muncul dan membawakan kami teh. Ia mengatakan namanya adalah Misaki-chan dan ia bekerja di penginapan ini. Selain kami berlima, ada pula suami Makiko bernama Ryuichi.
Kami secara singkat memperkenalkan diri kami dan Makiko menjawab, "Kamar para tamu berada di lantai satu. Kamar kalian akan berada di ujung lorong ini. Nah, sekarang mari kita bawa barang-barang bawaan kalian ke kamar."
Dua temanku, Takumi dan Shoji, tiba-tiba bertanya, "Bukankah ada kamar juga di lantai dua?"
Kami memang melihat dari luar bahwa hotel ini memiliki dua tingkat.
Makiko tertawa, "Memang ada lantai dua di rumah ini, namun kami tidak menggunakannya."
Kami bertiga keheranan sebab saat ini adalah musim liburan. Bukankah lebih menguntungkan untuk membuka kamar-kamar di lantai dua sehingga bisa menampung lebih banyak tamu? Namun saat itu kami tak begitu memikirkannya. Mungkin saja jika tamu sudah banyak, mereka akan membukanya, pikir kami.
Kami membawa barang-barang kami ke kamar. Pemandangan yang terlihat di kamar kami sangatlah indah, dengan taman Jepang dan pegunungan di kejauhan. Maka pekerjaan musim panas kamipun dimulai. Pekerjaan itu ternyata sangat berat, namun karena orang-orang yang bekerja dengan kami sangat menyenangkan, maka kami mengerjakannya dengan senang hati.
"Wah, kita benar-benar beruntung mendapatkan pekerjaan ini, ya kan?" temanku Takumi berkata padaku setelah kami bekerja di sana selama seminggu.
"Ya, bahkan lebih keren lagi: kita akan mendapatkan uang." kata Shoji.
"Yah tentu," jawabku, "Namun puncak liburan akan segera datang. Kita akan sangat sibuk nantinya."
"Nah, karena kau mengungkitnya tadi ... apakah mereka akan membuka lantai dua jika lebih banyak tamu berdatangan?"
"Kurasa tidak," kata Shoji, "Bukankah Makiko-san dan keluarganya tinggal di sana?"
"Benarkah?" Takumi dan aku menaikkan nada suara kami. Kami baru tahu hal itu.
"Aku nggak benar-benar yakin sih. Tapi bukankah ia selalu membawa makanan ke atas?"
"Aku tak tahu." Takumi dan aku sama-sama heran mendengarnya.
Shoji membersihkan halaman pada suatu sore dan melihat Makiko naik ke atas cukup sering. Dia membawa keranjang dengan makanan di dalamnya dan bergegas naik ke atas. Ketika Shoji mengatakannya kepada kami, kami cukup terkejut.
"Benarkah?" mungkin karena aku tak melihatnya sendiri, aku tak begitu mempercayai cerita Shoji itu.
Beberapa hari kemudian, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri ketika sedang menyapu lorong. Makiko mengendap-endap keluar dari salah satu kamar tamu. Biasanya ia tak membersihkan kamar itu. Selalu Misaki yang mengerjakannya. Aku pikir itu agak aneh. Bahkan aku sempat meragukan penglihatanku, namun itu jelas Makiko. Aku memikirkannya sepanjang hari dan tak tahan untuk menyinggungnya di hadapan teman-temanku.
"Ya, aku melihatnya juga." Takumi berkata ketika aku menceritakan hal itu.
"Serius? Mengapa tak kau ceritakan padaku?"
"Aku hanya berpikir ia mungkin ada keperluan di sana." Takumi menjelaskan, "Toh dia pemilik penginapan ini kan? Ia bebas untuk berbuat apapun."
"Memang." aku setuju.
Hanya sebulan sebelum pekerjaan musim panas kami berakhir. Kami tak bisa menahan rasa penasaran kami.
"Kenapa kita tidak mengikutinya saja?" saran Shoji.
"Apa yang kau katakan?" Takumi heran, "Tempat ini kan sangat kecil. Jelas sekali kita bakal ketahuan."
"Tapi ..." Shoji masih tampak penasaran.
"Sekarang bagaimana?" aku bertanya. Namun tak ada yang bisa menjawabku. Beberapa minggu lagi kami akan pergi dan kami ingin ada pengalaman berkesan sebelum meninggalkan tempat ini.
Sebuah petualangan.
"Baiklah. Jika salah satu dari kita melihat hal yang aneh, maka kita akan memberitahu satu sama lain. setuju?" kamipun sepakat sebelum pergi tidur malam itu.
Keesokan harinya, Shoji memanggil kami ke sebuah ruangan. Kami dengan enggan mengikutinya.
"Nah, kalian tahu kan saat aku mengatakan bahwa Makiko selalu naik ke lantai dua?" Shoji memulai, "Sebelumnya aku hanya melihatnya naik ke atas, namun kali ini aku menunggunya hingga ia turun. Dan ia menghabiskan waktu sekitar lima menit di atas, lalu ia turun membawa nampan makanan yang kosong."
"Dan?" Takumi penasaran.
"Dia selalu makan dengan kita kan? Namun ia membawa makanan ke atas...bukankah itu artinya ada yang tinggal di lantai atas?"
"Aku pikir begitu, namun ...." kataku.
"Siapapun yang tinggal di atas, kita belum pernah melihatnya. Kita bahkan belum pernah mendengar ada yang tinggal di atas bukan?"
"Apa mungkin orang yang tinggal di atas sedang sakit?"
"Namun jika dia hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk makan, bukankah itu berarti dia sangat sehat? Tidakkah kalian berpikir ini aneh? Kamu sendiri kan yang bilang untuk mengatakan pada kalian kalau aku melihat ada yang aneh. Itu sebabnya aku mengatakannya pada kalian."
"Lalu, apa yang sebenarnya ada di atas?" kami bertiga bertanya-tanya.
###
Resort 2:
Hari berikutnya, kami menyelesaikan pekerjaan kami lebih awal dan berkumpul di pintu masuk dimana Shoji berada.
Kami menunggu Makiko-san.
Segera setelah kami berkumpul di sana, Makiko meninggalkan salah satu kamar dengan keranjang makanan. Ia membuka pintu menuju ke tangga dan menghilang ke dalamnya. Pertama akan kujelaskan, untuk menuju tangga, kami harus keluar dari pintu masuk hotel, sebab tak ada jalan menuju ke lantai dua dari dalam penginapan. Kami harus keluar terlebih dahulu dan di pojok bangunan terdapat sebuah pintu untuk menuju ke lantai atas.
Seperti yang dikatakan Shoji, dia kembali setelah sekitar 5 menit berada di atas. Makanan di atas keranjang telah lenyap. Dia kembali masuk tanpa mengetahui keberadaan kami.
"Lihat," kata Shoji, "Cepat kan?"
"Yah, kau benar."
"Ada apa di atas sana?" tanya Takumi.
"Aku tak tahu. Apa kalian mau memeriksanya?" saran Shoji.
"Uhm, jujur ... aku agak takut," kata Takumi.
"Sebenarnya aku juga. Tapi bagaimana, apa kalian tak mau tahu?" desak Shoji.
"Hmm...kurasa itu bukan ide buruk. Ayo kita kesana." kataku dan kami bertiga segera mengendap-endap ke arah pintu tersebut.
"Apa pintunya terkunci?" Takumi bertanya dengan nada cemas. Aku berusaha menggeser pintu dan pintupun terbuka beberapa centimeter. Shoji yang berada di sebelah kiri pintu dapat melihat bagian dalamnya.
"Ew..." ia melenguh dan menutup hidungnya.
"Ada apa?" tanya Takumi.
"Apa kau tidak menciumnya?"
"Mencium apa?" Takumi dan aku kebingungan.
"Serius kalian tidak menciumnya?" ujar Shoji sambil terus menutup hidungnya, "Buka pintunya lebih lebar dan kalian akan menciumnya!"
Aku mengumpulkan segenap keberanianku dan membuka pintu itu lebih lebar. Udara hangat mengalir keluar, diikuti debu yang berterbangan.
"Maksudmu debu-debu ini?"
"Hah? Aku tak menciumnya lagi ..." ujar Shoji.
"Berhentilah mempermainkan kami!" Takumi tampak marah, "Jika kau mengerjai kami lagi, aku akan meninggalkanmu di sini!" Takumi memang berwatak agak keras dan kasar.
"Maaf...tapi aku tadi benar-benar menciumnya, seperti bau sampah."
"Cukup!" seru Takumi, "Itu hanya imajinasimu!"
Aku mengintip ke dalam melalui celah pintu dan memperhatikan sesuatu.
Lorong di dalamnya sangatlah sempit. Begitu sempit hingga hanya satu orang yang bisa melaluinya. Dan sama sekali tak ada pencahayaan di dalam. Aku hanya bisa melihat ujung lorong karena cahaya yang masuk dari luar, dari pintu yang kami buka ini. Di ujung lorong di lantai atas, terdapat pintu lain.
"Apa kita akan naik ke atas?" tunjukku.
"Tidak! Tidak!" Takumi tampak panik, "Jangan naik ke atas!"
"Kau tak mau?" Shoji keheranan melihat Takumi panik.
"Jika kalian mau ke sana, silakan saja. Tapi aku tetap di sini!" Takumi bersikeras.
"Yah, kalau begitu aku tetap di sini saja juga." kata Shoji.
"Ah, kalian berdua pengecut! Bukankah kalian yang mengajakku ke sini?" ujarku, " Baiklah, kalau begitu aku yang akan naik ke atas."
"Serius?" mereka berdua berseru bersamaan.
"Jika aku tak pergi sekarang, aku takkan bisa tidur memikirkannya. Jika aku tak bisa tidur, maka aku akan pergi ke sini malam-malam dan itu tentunya akan lebih gawat. Jadi aku akan naik ke sana sekarang!" Alasan itu memang tak masuk akal, namun rasa penasaran sudah telanjur menguasaiku.
Selain itu ada Shoji dan Takumi di sini, jadi pasti aman.
Namun selain penasaran, aku juga merasa takut. Aku akan naik ke sana sendirian, tetapi mereka berdua telah berjanji untuk tidak lari dan memperingatkanku jika sesuatu terjadi.
Maka akupun mulai naik ke atas.
####
Resort 3:
Cahaya matahari dari luar menyinari tangga, namun masih cukup gelap di dalam. Dengan hati-hati aku menaiki tangga satu-persatu. Di tengah jalan, aku mendengar suara "Krak ... krak ..."
Aku mulai ketakutan dan menoleh untuk mengecek keadaan Takumi dan Shoji. Mereka sepertinya tak mendengar suara itu. Takumi melihat ke luar untuk memastikan Makiko tak keluar dan memergoki kami. Shoji mengawasiku dari pintu dan mengangkat salah satu jarinya, gesture yang kami sepakati untuk "Semuanya baik-baik saja.". Aku mengangguk pada Shoji dan mulai naik kembali. Aku berpikir suara yang barusan kudengar mungkin bunyi decit tangga kayu saat kuinjak. Ini biasa terjadi di rumah tua.
Ketika aku sampai di ujung dimana cahaya dari luar mampu masuk, aku menjadi lebih takut ketimbang penasaran. Aku ingin berlari dan turun kembali.
Namun aku akan malu dengan Shoji dan Takumi. Bukankah aku tadi sudah sok berani di hadapan mereka dengan naik ke sini? Tidak, aku akan meneruskannya!
Aku memusatkan mataku ke dalam kegelapan dan seperti melihat ada sesuatu berdiri di depan pintu di ujung lorong. Imajinasiku mulai menggila.
"Krak ... krak ... krak ..."
Suara itu bertambah keras dan akupun menyadari bahwa aku mungkin menginjak sesuatu. Serangga? Aku merasakan bulu kudukku berdiri. Segala sesuatu di sini tampak diam, namun suasananya sangat gelap sehingga aku tak bisa memastikan. Aku tak tahu sudah berapa kali aku menoleh ke belakang, namun aku hanya bisa melihat bayangan teman-temanku memanjang dengan jari Shoji masih mengacung.
Semakin mendekat aku ke ujung lorong, aroma aneh segera menyeruak. Aku segera menutup hidungku, seperti yang dilakukan Shoji tadi.
Bau busuk apa ini? Aromanya seperti sampah yang membusuk. Darimana asalnya? Aku melihat ke sekelilingku dan melihat asalnya. Pada ujung lorong terdapat tumpukan makanan yang membusuk. Pasti inilah sumber bau tak mengenakkan ini. Lalat berputar-putar di udara dan tumpukan sampah itu terus mengeluarkan aroma busuk.
Namun tiba-tiba aku melihat sesuatu yang lain.
Pada kayu yang menutupi pinggiran pintu di lantai dua terdapat banyak paku menancap, tak terhitung jumlahnya. Dan di paku-paku tersebut tergantung puluhan jimat. Terakhir, utas demi utas tali diikatkan ke tiap paku, membentuk semacam pola seperti jaring laba-laba.
Jelas sekali, dengan jimat dan jaring itu, bahwa sesuatu sedang "dikurung" di kamar itu. Akupun sadar bahwa sejak semula seharusnya aku tak naik ke sini.
"Saatnya untuk pergi." kataku pada diriku sendiri. Namun ketika bersiap-siap turun, aku mendengar sesuatu dari belakangku.
"Krek ....... krek ......... kreeeeeeeek ..........." terdengar seperti suara sesuatu sedang menggaruk sisi lain dari pintu itu.
".......huuuuuh ........ huuuuuuh ..........." kemudian terdengar bunyi napas tak teratur. Aku mengira bahwa aku akan terkena serangan jantung saat itu.
Apa ada seseorang di sana? Siapa itu?
Aku merasa seperti tokoh dalam film horor.
Aku tahu bahwa aku seharusnya pergi saat itu juga, namun aku tak bisa. Aku tak memiliki keberanian untuk maju dan aku juga terlalu takut untuk mundur kembali. Aku sepenuhnya membeku saat itu. Satu-satunya yang mampu bergerak adalah bola mataku. Punggungku basah oleh keringat dingin yang terus mengalir.
Suara cakaran dan desah napas itu membuatku putus asa, aku mungkin takkan keluar dari sini.
Untuk sesaat, suara-suara itu terehnti dan semuanya menjadi sunyi. Saat itu berlalu sangat cepat, mungkin hanya satu kedipan mata saja.
Dan kemudian ...
"KREK ...KREK ... KREEEEEEEEEK!!!!!!" suara itu terdengar makin cepat. Namun sukar dipercaya, suara itu tak lagi berasal dari pintu, namun dari atasku.
Aku dapat mendengarnya berasal dari papan kayu yang menutpi langit-langit. Apapun itu, ia baru saja berpindah dari kamar ke langit-langit.
Kakiku gemetar ketakutan. Aku berpikir aku akan tamat. Diam-diam aku menangis meminta tolong.
Sejenak kemudian, aku melihat sesuatu dari pelupuk mataku. Hal itu, apapun itu, membuat sesuatu yang sedang bergerak tadi merasa terancam dan kemudian mundur. Aku ragu, namun akhirnya aku memutuskan untuk menatapnya.
Itu adalah Takumi dan Shoji. Mereka tampak berbisik memanggilku sambil melambai-lambaikan tangan mereka. Sayup-sayup, aku bisa mendengar apa yang mereka coba katakan.
"Hei! Cepat turun! Cepat!" bisik Takumi.
"Apa kau baik-baik saja?" bisik Shoji.
Mendengar suara familiar mereka, akupun mengumpulkan kembali tenagaku dan bergerak. Aku berlari menuruni tangga secepat mungkin. Aku bahkan tak sadar saat itu bahwa aku berlari dengan mata tertutup dan berlari begitu cepat hingga melewati mereka.
Saat itu aku hanya ingin berada di tempat yang aman. Kami bertiga kabur ke kamar kami. Setelah kami berada di dalam kamar, merekapun dengan cemas bertanya.
"Kau tak apa-apa?" tanya Takumi.
"Apa yang terjadi? Apa ada yang terjadi di atas sana?"
Aku tak mampu menjawab. Suara-suara itu masih saja terulang dalam pikiranku dan aku masih terlalu takut untuk menjawab.
Takumi menatapku dengan prihatin, "Apa kau memakan sesuatu di atas sana?"
Aku tak mengerti apa yang ia maksud, jadi dia mengulangi pertanyaannya. Namun aku pikir pertanyaan itu sangatlah konyol.
"Segera setelah kau sampai di atas, kamu jongkok kan?" Takumi menjelaskan, masih dengan ekspresi yang sama, "Shoji dan aku penasaran dengan apa yang kau lakukan jadi kami mencoba melihatnya dengan lebih baik. Dan kami bersumpah melihatmu memakan sesuatu dengan sangat rakus, seakan-akan hidupmu bergantung pada itu. Atau ... kau hanya menjejalkan sesuatu ke dalam mulutmu..."
"Yah, itu ..." Shoji menunjuk dan memandang kaosku. Heran dengan apa yang mereka lihat, aku menatap ke kaosku sendiri dan melihat makanan-makanan sisa yang menempel di dadaku. Baunya seperti sampah yang membusuk. Aku segera bergegas ke kamar mandi dan memuntahkan semua yang ada dalam perutku.
Ada hal yang sangat aneh terjadi padaku.
~~~''~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top