the house you looking for

PERLAHAN, surya tenggelam di peraduan; udara menjadi semakin dingin. Walau demikian, petang itu, seorang pria berkulit matang karena mentari masih mantap menelusuri padatnya trotoar ibukota. Pakaiannya butut compang-camping, dipadu bersama kaki tanpa alas. Satu-dua keropeng menjejaki tubuhnya yang sekusam dosa. Namun, menghambatkah itu? Tentu tidak. Ia tak mengejar sempurna. Asal anak-istrinya bisa makan, tersakiti bagaimana pun saat menjemput nafkah tidak masalah.

   Menjauhi keramaian menuju tepian kota, ia tarik kedua tuas gerobak dagangnya, membelok memasuki gang remang-remang. Gang ini terapit oleh swalayan dan sebuah apartemen. Keduanya terbengkalai. Terjadi kebakaran empat tahun silam yang menewaskan seorang kakek karena korsleting listrik. Sayangnya, belum ada renovasi dari pihak terkait maupun pemerintah.

   Pria itu memang kurang peduli. Hanya terkadang, berjalan di antaranya dapat menegapkan bulu kudukmu kalau memandang tidak lurus sedikit saja, apalagi ketika maghrib, seperti saat ini. Eko terus memijak sekalipun ia membenci itu. Ada perut yang harus diisi. Ada keluarganya yang menanti sedekap pelukan.

   Pernikahan Eko dengan Santi bukan seumur jagung lagi. Mereka dikaruniai putra bernama Syahid, disusul adik perempuannya, Kaisha, yang masih merangkak. Si sulung Syahid, seiring bertumbuh remaja, tengah mengecap SMP dengan sedikit kepayahan.

   Anak itu pendiam. Kebanyakan temannya orang berpunya, sehingga ia menyadari ketidakpantasan bergaul atas lingkungan sendiri. Bukan, mereka tidak merundung Syahid karena latar ekonomi---orang-orang itu tak mengerti isi kepalanya. Mereka tidak paham NASA, atau bagaimana Dinasti Abbasiyah mengalami kemerosotan. Karena yang ditolelir sebatas tren atau kosmetik, pantas mereka tidak mengenal Frankenstein. Bahkan, sewaktu Syahid mengusai Integral, kelasnya masih menggulati Phythagoras. Sempat gurunya bertanya darimana ia mempelajari semua itu. Materinya sudah selevel SMA. Hebat. Mungkinkah kursus? Bagaimana ia menanggung biaya sebanyak itu?

   Syahid tersenyum.

   Kepada sang guru, ia menjawab, "Ketika ayahku pulang berdagang, kadang kujumpai sesobek koran hingga majalah terlusuh dalam gerobaknya. Kubaca mereka untuk meringankan beban orangtuaku."

   Cukup mengejutkan. Kecerdasan remaja itu merupakan turunan ibundanya. Dahulu, sebelum memutuskan mengarungi hidup bersama Eko, Santi Adyaningsih tidak lebih dari seorang sarjana Bahasa Indonesia. Perempuan itu dipertemukan dengan kekasihnya pada sebuah ospek kampus. Selayaknya pemimpin ospek, Eko Nugraha memesona Santi sejak pandang pertama. Pemuda itu tipikal si perempuan sekali: rambutnya ikal memikat, diimbuh pribadi secemerlang senyum yang tersuguh. Santi hendak mendekati pemuda itu, meskipun artinya bersaing dengan mahasiswi sepenjuru kampus.

   Singkat kata, selepas ketidakgentarannya berujung pencapaian; sesudah bermacam rintangan ia lewati, akhirnya terjalinlah persahabatan. Mereka mempersempit jarak dengan melakukan kegiatan bersama-sama. Seringnya, mereka membahas politik di perpustakaan, atau duduk bersisian membaca buku di bawah rindang pohon.

   Untuk saat itu, dibuat pengecualian. Setelah kuliah, Eko menggandeng si perempuan menuju Geborgenheit---kafe favoritnya---yang bertempat di ujung jalan. Pemuda itu tidak menggubris sewaktu Santi bertanya mengapa.

   Barulah sehabis duduk dan menyantap hidangan, suasana menegang. Eko menggenggam tangan Santi, memandang lembut perempuan itu.

   "Tahukah kamu bagaimana mimpiku?"

   Santi menggeleng.

   "Mimpiku, membenahi pendidikan di negeri ini. Aku ingin jadi menteri. Menjadi presiden, kalau perlu. Indonesia harus terpandang melalui manusianya. Bukankah begitu?"

   Perempuan itu terpana.

   Semenjak mengenalnya lebih dekat, Eko memang selalu penasaran. Dapat kamu temukan pemuda itu tengah membombardir Santi dengan teori-teori sainsnya---yang mungkin terdengar konyol. Eko juga populer di kalangan junior karena memilih ramah pada mereka alih-alih menjaga imej dan membentak-bentak.

   Tetapi, sesungguhnya Eko tertutup.

   "Kuliahmu Akuntansi, ingat?" Santi geli.

   Eko diam. Lalu secepat itu---secepat itulah kalimatnya meluncur, telak menyerbu perhatiannya.

   "Menikahlah denganku, Santi. Aku mencintaimu; aku enggan sendiri. Bantulah kasihmu ini wujudkan mimpi-mimpinya."

   Bibir si perempuan tersungging semringah. Kepalanya mengangguk setuju. Eko tersenyum girang, berkata ia akan datang meminang sesudah wisuda. Di perjalanan pulang, ia sibuk mencerocos---perlukah Eko memilih gedung? Gaun pengantinnya bagaimana? Serasikah Santi dengan putih, atau merah? Ataukah harus Eko sewakan desainer khusus?

   Pemuda itu tidak sabar. Sementara sang perempuan, ia sungkan. Sesuatu mengganjal dalam hatinya; ketakutan tidak direstui seseorang.

   Eko bertandang sesuai janji. Tubuhnya yang wangi dibalut sepotong kemeja bergaris dengan celana hitam. Rambutnya menjadi lurus karena dipangkas. Mawar merah tersemat di jemarinya, menunggu disambut sang kekasih. Sehabis mengucap salam di pintu utama, pemuda itu segera mengetuk, sabar. Sesekali, ia melirik ke jendela. Membenarkan segala tingkah sembari tersenyum-senyum.

   Seharusnya, lamaran Eko berhasil.

   Namun, sewaktu pintu terbuka, yang pemuda itu dapat hanyalah penolakan. Berdiri menantangnya, tegap seorang pria bertampang garang yang sekadar memakai kaus dipadu sarung. Eko bingung pada awalnya, sampai telinga itu dihujami kalimat neraka.

   "Santi sudah saya jodohkan."

   Perempuan yang disebut sembunyi takut-takut di punggung sang ayah. Eko mendapati gadisnya sibuk menangis tersengguk. Sungguh parah Santi tak memberitahu hal segawat perjodohan kepadanya. Lantas, pemuda itu bergeming. Dibungkam kehampaan. Badannya sudah hampir berbalik, hendak pulang memanggul kecewa, sampai Santi berteriak memohon kepada ayahnya.

   "Aku mau kawin lari!"

   Demikianlah jatuh-bangun hidup mereka dimulai.

   Malam itu, Santi kabur menggamit Eko ke ibukota. Tidak banyak membawa sandang maupun simpanan, karena mengkhianati rumah bukan perkara gampang. Mereka menikah dengan perantaraan wali hakim setelah mencari kontrakan termurah. Lokasinya di Senayan pinggir, Jakarta Pusat, sepaket bersama masyarakat individualis yang membuat mereka terasing.

   Kendati kurang nyaman, Santi berupaya bahagia, walaupun tidak pernah semulus kiraan. Wawancara kerja Eko hampir selalu ditolak, sementara sang istri sebatas mencucikan pakaian tetangga. Terkadang pemuda itu mengeluh mengapa alurnya jadi serampangan begini. Suami macam apa ia? Bukankah sewaktu tebersit pinangan itu dalam kepala, Eko bersumpah akan menyenangi Santi? Tetapi, semua berujung memalukan. Bahkan, kondisi berangsur buruk saat perempuan itu mengandung Kaisha. Tabungan mereka habis oleh keperluan sekolah Syahid, dan sewa bulanan makin membengkak.

   Eko tidak punya pilihan. Dengan berat hati, ia mengajak keluarganya minggat sebelum pemilik kontrakan mengusir terlebih dulu.

   Beriring kalut, diangkutlah ransel-ransel barang-panganan, berduyun mengungsi ke gubuk di pengujung sebuah gang. Tempat terpencil dan menyeramkan, Syahid bergumam ketika sampai. Ikut memandang sekeliling, Eko mengangguk. Gubuk ini reyot, dengan dinding berbilik bambu dan lantainya berkolong semacam panggung. Letaknya berpusat di lahan sempit yang dikelilingi tembok-tembok gedung tinggi menjulang. Seperti titik dalam lingkaran.

   Eko menemukannya sewaktu mendengar seseorang membuka lowongan di sekitar sana. Jalan pada brosur memandu pemuda itu menyeberangi mulut gang. Itu tepat peringatan kelima tahun semenjak peristiwa korsleting listrik dahulu. Salahkan ia karena terlalu bersemangat. Pekerjaan tidak didapat, Eko malah menjumpai bangunan itu.

   Sepotong eksistensi yang mebolakan matanya.

   Gubuk itu serupa fantasi. Kuno sendiri---modernitas seolah tidak mencapainya.

   Sudikah seseorang tinggal di sana?

   Kalau ada, rasanya teramat ingin ia tampik orang itu karena begitu ketinggalan zaman.

   Di hari kepindahan, mereka mengamati bangunan yang tersaji di depan sembari saling merangkul. Gubuk itu seolah menjadi tiket bertahan hidup. Memang bukan mustahil ditinggali; boleh jadi Eko ditembak perampok yang bersembunyi di sana saat ia menyelonong masuk, benar?

   Tetapi, langit makin mendung. Santi juga tengah mengandung.

   Biarlah tertembak, pikirnya, sementara kaki itu maju.

   Daripada anak-istriku mati kehujanan.

2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top