iii. turn down the light
KONSTANCE terbangun.
Jendela tinggi di samping ranjang menyoroti seperempat tubuhnya, sementara pemuda itu mengerjap bingung.
Barangkali Konstance mati, lalu dibangkitkan, karena sepenjuru yang tampak adalah putih. Namun, Tuhan terlampau cerdas untuk tidak mendesain surga-Nya sekusam dosa. Prasangka terhadap akhirat juga dibantah; pulas langit-langit itu mengelupas pada banyak sudut, umpama dikuliti hujan. Setengah berayun di pusatnya, terpasang kandelir gantung dari marmer yang kini berkarat, sekarat, hampir kehilangan poros sehingga miring nan mengancam. Reinkarnasi? Rasanya tidak. Ini gerbang sebelum nerakaーkalau dinding teramat kumal, penuh retak, rambatan jaring, dan sulur-sulur beracun carpenkor yang menyelubunginya boleh disebut begitu.
Ruangan itu seterasing memori Konstance. Terakhir yang dilakukan, mengapa begini, siapa orangtuanya, bahkan nama belakangーia tidak ingat.
Kendati, jauh dalam benak, Konstance tahu dirinya seorang penduduk desa kecil melarat di balik Pegunungan Arden, yang entah dipanggil Sertwales atau Deermesmit; betapa mendekati carpenkor adalah pantangan mutlak, karena dahulu sekali, seseorang pernah terlilit mereka sampai badannya meledak-ledak; lalu, terbayang olehnya satu panah misterius tertancap di batu besar, dekat mercusuar sungai, yang mustahil dicabut.
Konstance tidak yakin, tentu. Semua berbalut ragu dan ingatan dapat memanipulasimu, tetapi pemuda itu terlompat duduk bagai disengat listrik, membuat ranjang reyot yang ditempati berkeriut mengerikan. Tanpa alasan, ia merasa abstrak. Merasa terkarantina dan paling kotor. Jemarinya menggigil seolah kejatuhan salju. Kepalanya kelewat pening seakan diputar-putar raksasa.
Konstance berkeras untuk tidak gemetar saat sebisik suara ganjil mendenging persis di telinganya, mengajukan probabilitas terburuk, menyebabkan racau terlontar dari mulut: pemuda itu tertidur sepuluh tahun, di sini. Sewindu. Mungkin seratus. Oleh dendam. Oleh perkara yang menuang amarah.
Dikutuk.
Dalam pikirannya, terpatri ia, sinting dengan pandang nyalang dan tubuh hilang kendali, membantai sepenjuru desa.
Lantas, mengapa?
Konstance mengawasi sekeliling sementara sarafnya bergolak. Keringat menitik. Akalnya menyalak-nyalak. Diam di ruangan ini ialah fatal. Tetap bertahan akan membunuhmu.
Secepat suruhan lari lari lari dalam kepala, pemuda itu tersaruk menuju pintu, meninggalkan kamar.
Namun, kabur dari ketidakmengertian tidak segampang menghunus pedang, karena begitu keluar, yang pertama disambutnya merupakan lorong panjang berpualam megah. Karpet semerah hati melintang dari ujung sampai ujung, bersih tanpa cela, menyamaratakan warnanya dengan gorden-gorden menjulang di kedua sisi. Nun, setiap selisih empat gorden, tegap serangkaian patung berzirah yang memegang tombak. Di penghabisan lorong, terdapat pintu hitam tinggi berkenop besar. Sepasang obor menyala di sampingnya, tetapi sewaktu Konstance memijak penuh bimbang ke arah pintu, cahaya mereka berganti biruーcantik, namun ancaman, seperti samudera. Seperti iris gadis itu. Dimantrai luapan kuriositas, Konstance berupaya mendorong pintu.
Denting aluminium dengan nampan perak mengumumkan selamat datang merdu begitu ia masuk. Bebunyiannya disaingi semarak dari bibir-bibir kering yang saling menimpal perihal sesuatu pada aksen Keith.
Dalam ruangan itu, terkumpul berbelas wanita tambunーmemakai terusan sederhana, bercelemek, dengan secarik kain putih diikat di kepalaーyang hilir-mudik menenteng panci, ketel, seperangkat pisau-garpu, dan menata berpiring-piring daging panggang. Empat kardus berjejer di sudut kanan seberang, yang salah satunya terbuka, menampilkan berbotol sampanye, atau barangkali bumbu. Seorang wanita kelihatan sibuk mengaduk krim, lalu telaten meratakannya pada loyang adonan sebelum berbalik ke pemanggang. Di antara ingar-bingar kesalahpahaman, aroma lemon bercampur harum kamomil menggelitik hidung, mengirim sejenak tenteram; Konstance segera tahu wanginya berasal dari sup. Mengedarkan pandang, melalui undakan tempatnya berdiri, tertangkap sejumlah kayu manis yang dicencang terampil; beberapa dari mereka menjerang air dalam panci; lainnya menumis cramtin.
Jamuan akbar. Sebuah perayaan.
Apa yang dihidangkan? Apa yang dibicarakan para wanita itu? Mengapa terasa penting sekali?
"Cardamorn."
Suara itu ranum, berwibawa, memperanjatkan Konstance sewaktu dirinya menjumpai pria bertuksedo mengeluarkan botolーbotol sampanyeーdari dalam kardus, kemudian dihampirinya wanita terdekat, dan mengobrol samar.
Belum sempat berpaling, suara tadi terdengar kembali, "Genevieve mengusulkannya sebagai penutup, namun Ratu menolak. Tapi, bukankah tradisi kami? Di Rosenberg, hidangan pembuka harus berupa sup. Para bangsawan itu menyukainya."
Penampilan perempuan yang mendadak muncul di samping Konstance itu terbilang mewah. Bertampang aristokrat, wangi mawar, ramping, dengan rambut kepirangan tersanggul menjalin serumit labirin, serta gaun turkois berenda yang mengembang. Leher mungilnya digelantungi kalung rubi yang berpendar merah saat seorang wanita mendekat canggung, bertanya sesuatu, dan digubris tunjukan kilat ke arah pintu. Pengusiran; maka, orang itu pun pergi tertunduk-tunduk.
Konstance pernah sedikit mempelajari bahasa Keithーbahasa keji, kasar, penuh umpatan untuk kaum nelangsaーwalau ia hanya ingat fordtun dan shitag. Mungkin artinya pantat atau sialan, semacam sinonim. Perempuan itu bicara dalam Keith yang kental sehingga kontras dengan martabatnya. Demikian, matanya sepayau danau petang; hijau-emas, tersekat di tengah, semacam air dicampur minyak. Umurnya seperempat abad. Masih praduga, karena, sembari mencuri pandang saat yang dilirik tampak ingin terjun dan membenahi perangai kerbau gerombolan tukang masak di bawah sana, sekarang Konstance berandai: bagaimana kalau perempuan ini ternyata kunci? Jalan pulang? Koridor menuju rumah? Ditinjau melalui fisik, jabatannya barangkali setingkat penasihat raja atau bahkan putri.
Merayunya dipastikan sukar, tapi ia harus kabur dan bangun dalam kamar yang layak sebelum gila.
Bangun dari ketidakmengertian.
Interupsi nyaris terlontar sampai perempuan itu mengimbuh, tanpa tolehan, kendati cenderung keras, membuat penghuni lain ruangan ini tunduk takut-takut. "Pangeran Harley, mengapa Anda belum berpakaian? Ruangan ini tanggung jawab Kepala Dapur. Patroli bukan tugas seorang pangeran."
Merasa ditujukan kepadanya, benak pemuda itu dijejali pertanyaan. Jika bisikan ganjil dalam kamar bobrok tadi adalah benar, bahwa Konstance seorang yang terkutuk; terbangun di tempat asing begini untuk menunggu eksekusi dari algojo istana, pastilah panggilan itu segumpal lelucon besar. Sarkastis, manis-manis sebelum dipenggal.
Sepanjang memori asingnya, Konstance berdarah miskin. Walau tidak terpatri apa pun dalam kepala selain legenda kampung, ia yakin dulu orangtuanya sebatas petani bergaji kecil, atau pemerah susu yang ditendang majikan sewaktu oleng sedikit saja. Maksud perempuan itu bukan secara harfiahーKonstance tentu berpakaian. Pada tubuhnya, melekat atasan kelabu (dirancang dan dijahit sendiri dari kulit keledai termurah) dengan serajut temali tersimpul di bawah leher sebagai pengganti kancing, celana kulot mengerut sampai tungkai, keringat, gugup yang berupaya ditutupi. Konstance seorang gembala kusut di masa lalu, yang ternaknya ringkih dan rutin dimangsa serigala. Pecundang yang kebetulan hidup. Pakaiannya tidak mencerminkan orang terhormat, apalagi pangeran.
Bertanya ia, "Siapa Harley?"
Lantas, perempuan itu tersenyum paksa. "Penobatanmu sebentar lagi, Yang Mulia," katanya lugas, lalu membungkuk khidmat terhadap sang pewaris, menahan dongkol yang sudah di ambang jemari. "Kembalilah. Akan kupanggilkan Genevieve."
"Pulang."
Berbanding terbalik dengan lawan bicaranya, suara Konstance mencicit dan parau, persis tikus kelaparan, sehingga ia terkejut sendiri.
Namun, demikian semestinya yang dikatakan jelasーpulang, tidak peduli kalau bisik keparat itu menggaris takdir, kalau namanya ternyata Harley. Entah akan disambut atau berakhir dilempar sampah, ia harus pulang, terbangun bersama ingatan utuh. Konstance mengamati sedikit keterperangahan pada raut perempuan itu. "Beritahu jalannya."
Semula ia menyipit, menelisik Konstance lamat-lamat seperti barang, kemudian tertawa kering.
Tak ada jawaban setelahnya.
Membelakangi pemuda yang mematung jengkel, perempuan itu berbalik, anggun menuruni undakan. Ia hendak pergi dan menutup pintu seberang, memperindah kamar Ratu, menyiram kebun, mengurus setumpuk laporan delegasi negeri di antara pikiran yang terbagi menjadi kerikil, atau tidur pulas di ranjang merahnya, jikalau pria bertuksedo dengan sampanye itu tidak mendekat untuk berucap, "Lady Agnethe."
Agnethe. Berarti keramat, namun bersih. Dalam hati, ia menyumpahkan namanya pada neraka.
Yang dipanggil cukup mengangguk. Terdiam membelah kerumunan senyap, perempuan itu seumpama emas di tengah batu. Lonceng berkilat di tengah jelaga. Seluruh pandang tertuju kepadanya dalam beberapa detik; para wanita yang memegang sendok sayur, sesudah yakin atasannya fokus meladeni si Kepala Dapur, mendongakkan kepala mereka dari tugas masing-masing dan memilih mengagumi gaun Agnethe; sebagian lelaki berompi cokelat, berkemeja sederhanaーyang baru Konstance tangkap tersembunyi di balik sebuah tirai dekat kardus-kardus bersampanyeーmendadak berdiri dan mengintip pemimpinnya dengan mulut agak terbuka; seorang wanita di samping pemanggang mendekap loyang berisikan adonan cair ketika Agnethe mulai bicara dan tersenyum.
Konstance mengernyit. Koki-koki itu umpama lupa sesuatu, walau ia lebih tertarik pada penegur Agnethe ketimbang segala omong kosong kerajaan. []
.
2019 lalu mencoba menulis fantasiーtapi tidak saya lanjutkan. simpan sini, siapa tau kangen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top