Teruntuk Wanita yang Takut Melihatku Jatuh
Teruntuk wanita yang takut melihatku jatuh,
Ini aku, gadis kecil yang kerap kali engkau tinggalkan demi menebar ayat-ayat Tuhan kepada manusia lain. Bocah kecil yang dari dulu selalu menerima status quo dan lebih mudah akrab dengan buku. Anak mungil yang lebih sering kau jejali dengan kisah nabi ketimbang dongeng pengantar tidur.
Aku sampaikan surat ini, rahasia yang terkunci dalam benakku bertahun-tahun belakangan tanpa pernah sekali pun kubuka. Aku hanya terlalu malu berterus-terang; sembunyi di balik wajah tanpa luka. Maafkan aku.
Aku masih ingat, waktu itu masih sekolah menengah pertama, diriku dipenuhi ambisi dan harapan. Kubicarakan segala mimpi padamu kala senja tergelincir, ba'da salat Magrib. Kutumpahkan segenap idealisme yang kubangun berbulan-bulan jelang ujian akhir. Yang kadang kala kupikirkan hingga baskara menoleh ingin tahu dari ufuk timur.
Ketika azan Isya berkumandang, aku mendengar dengar jelas kata "Tidak" tergelincir dari bibirmu yang masih basah oleh zikir. Suara muazin terdengar lirih bersamaan harapanku yang meluruh. Bunga-bunga rencana masa depan gugur ditiup restu tak sampai.
"Kenapa?! Apa salahnya?!"
Saat itu, aku seolah melupakan ajaran kitabku, menangis sejadi-jadinya seakan rencanaku yang paling sempurna telah digagalkan Tuhan. Aku meringis dalam senyap tanpa hadirmu. Aku malas melihat wajahmu. Setelahnya, pagiku hanya ditemani mata sembap dan bibir melengkung ke bawah. Bagiku, seisi dunia hanyalah entitas bodoh yang tiada paham rasa sakitku. Bumi sekali pun tak akan pernah mengerti. Kamu mengingatnya? Jujur saja, kini aku menganggap itu adalah dosa terbesarku.
"Aku hanya ingin menjalani hidup di mana aku tak perlu menyalahkan orang lain atas ketidaknyamanan yang berlangsung," kataku pada diri sendiri.
Kamu tidak mendengarnya, kan? Saat itu memang sulit bagiku mengungkapkan gagasan dengan jelas. Semuanya tersendat dalam rongga kekecewaan tanpa tahu jalan keluar.
Manakala luka belum juga sembuh, aku mesti meneguk dalamnya rasa prihatin pada kegagalan yang kutemui. Menjalani bulan-bulan yang amat berat di depan, kaki pun rasanya enggan melaju. Tak ada gairah atas paksaan cita-cita yang tak kudamba.
Nyaris tahun ketiga aku berhasil bertahan melangkahi hari-hari bagai dikungkung tembok tahanan ambisi. Aku sudah memaafkanmu, memaafkan keegoisanku, memaafkan diriku dengan segala keterbatasannya.
Berbulan-bulan di tempat yang tak pernah mau kusinggahi, akhirnya aku menyadari telah menemukan hal-hal berharga. Orang-orang baru dan lama yang mengajariku arti peduli, serta yang paling penting ialah mimpi baru. Ya, akhirnya aku memahami sedikit-banyak arti ambisi. Di tempat ini aku memang berjalan lamban, tapi progres itu tetap ada karena sejatinya aku tak pernah menyerah. Aku masih percaya doamu tulus, meski jalanku tak mulus.
Ada hal-hal yang hanya bisa kita pahami jika ditempatkan pada zona yang salah. Aku tidak lagi marah pada ketidaksesuaian yang terjadi. Derita ini adalah nikmat. Kegagalan negosiasiku dahulu adalah anugerah. Kini, jiwaku telah langgas. Bebas dari segala egoistis itu.
Tersampaikan atau tidak, aku ingin mengutarakan "Terima Kasih" atas segala usahamu membahagiakanku dengan caramu sendiri, juga segala lirih di tiap zikirmu demi kemudahanku.
Aku selalu mencintaimu, bahkan untuk bereon-eon lamanya.
Dari aku yang tidak kuasa berterus terang,
R
Bogor
Written by RaDel28
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top