Teruntuk Kalian yang Merasa Bukan Dia

Teruntuk kalian yang merasa bukan dia.

Jika kalian bukan matahariku, aku persilahkan kalian untuk melanjutkan membaca rahasiaku ini.

Mungkin kalian mengenalnya, atau bahkan mungkin kalian merasa kalian adalah dia. Terserahlah. Jika kalian ingin melanjutkan membaca surat ini, tolong anggap saja kalian bukan dia.

Matahariku.

Aku bertemu dengannya di awal semester perkuliahanku. Kami sama-sama perwakilan student exchange kala itu. Kehadirannya sama sekali tak kusadari hingga aku menerima beberapa pesan dari nomor tak dikenal.

Dia sungguh datang tiba-tiba. Mengusikku pun tiba-tiba. Sampai aku gelap mata karena usikannya.
Perlu ratusan kali kukatakan padanya. Aku tak berminat punya teman dekat untuk saat ini. Namun dia tak peduli. Terus dia jejalkan kenangan-kenangan tentang dia. Mulai dari keunikan namanya ang terdiri dari gabungan dua kata. Mata dan hari. Dua kata yang tadinya ku anggap biasa saja. Sama seperti pemilik nama itu.

Namun dia lagi-lagi meyakinkan kalau namanya itu penting, unik dan berbeda. Hal yang kini kumaknai sebagai usahanya meyakinkan kalau dirinya berbeda.

Dia berkata bahwa kata ‘mata’ mewakili indera yang penting dalam hidup kita. Tanpa mata semuanya gelap dan sama. Tak pernah ada bedanya. Tak pernah ada unggulnya
Tahukah kalian ekspresiku saat itu? Yap, aku mulai mempertimbangkan keberadaannya.

Lalu dia melanjutkan pembelaannya. Kata ‘hari’ selalu bermakna di matanya. Adanya hari menimbulkan harapan dan keinginan untuk dijalani.
Bah, dia memang pandai berkata manis rupanya. Oke aku akui kali ini aku terpesona. Seseorang yang tak pernah berputus asa memang akan selalu menggetarkan hati semua orang bukan?

Namun tetap saja, pikiranku kala itu sedangkal sungai belakang rumah. Aku menolaknya. Aku punya kekasih. Sekalipun aku tak punya kekasih aku akan tetap menolaknya dengan mendapatkan kekasih yang lain. Alasanku saat itu sungguh dangkal, karena dia tak cantik.

Sungguh itu yang kulakukan hingga ia memutuskan mundur untuk menjadi matahariku.

Seperti banyak roman picisan lain, aku pun menyesal. Bukan karena segala cahayanya yang selama ini menyilaukan mataku. Namun karena aku kehilangan kehangatannya. Ya kuakui pada kalian bahwa aku kehilangan dia dan ini adalah rahasia pertamaku.

Lalu setelah tiga bulan berselang, kudengar dia telah memutuskan merajut kasih dengan orang lain. Baiklah kutunggu mereka putus. Ini pengakuan rahasia keduaku pada kalian.

Jahat? Tidak juga. Karena aku tak melakukan sesuatu hal untuk merayunya dan tak berdoa untuk merayu Tuhanku agar dia kembali mengitariku. I just berdoa dengan sambil lalu.

Sayangnya, penyesalanku sungguh belum berakhir ketika kudengar banyak sekali prestasinya. Sesuatu hal yang harusnya tak membuatku terkaget karena kami pun bertemu dalam koridor sama-sama berprestasi. Namun dia memang berniat menunjukkan cahayanya. Segala gelar kehormatan yang ada di depannya, dia raih. Hubungannya dengan pacar barunya juga baik-baik saja. Membuat penyesalanku semakin dalam dan doa sambil laluku terabaikan.

***

Ini sudah 7 tahun aku berdoa sambil lalu. Dia telah menikah dengan pacar barunya itu. Maaf koreksi, pacar tahunannya.

Undangannya bertengger manis di atas dipanku. Tak perlu ditanyai berkali-kali. Aku tak akan datang. Aku tak mau repot-repot berpura-pura bahwa aku baik-baik saja. Aku tak semunafik itu. Kalian juga tak akan memaksaku untuk tetap menghadirinya bukan?

Namun aku juga tak sefrustasi itu. Aku sadar dia jodoh orang lain. Doa sambil laluku mungkin tak masuk hitungan akan dikabulkan oleh Tuhanku. Oke aku akan berhenti berdoa sambil lalu. Jika dia melanjutkan hidup aku pun akan begitu. Akan kubuat tak hanya dia yang silau karena cahayaku. Namun seluruh dunia juga akan silau dengan cahayaku. Itu janjiku.
Dan  hanya kalian yang tahu.

***

Ini kapan? Tak terasa sudah 8 tahun sejak undangan darinya bertengger di dipanku. Aku pun telah mempunyai kehidupanku sendiri. Kini aku seorang kepala sekolah sebuah Tahfidz Boarding School. Kalian ingat janjiku? Itu sungguh hanya janji sambil lalu. Saat kuucapkan pun aku tak tahu harus melangkah kemana. Hingga tiba-tiba aku terbangun dengan dengungan berupa lantunan ayat suci di kepalaku. Entah dari mana itu. Kuberanikan memasuki sebuah pondok pesantren Al Qur’an. Merealisasikan dengungan di kepalaku. Ternyata dengungan itu menuntunku kemari. Datang menjemput kemana aku harus pergi. Berhijrah dan memantapkan diri menjadi khaamil Qur’an.

Sekolah yang kupimpin sungguh masih baru, namun aku memang berniat mewakafkan diri untuk Al Qur’an.  Itu sebanding dengan antusiasme muslim saat ini terhadap Al Qur’an yang sungguh besar.  Di tahun kedua sekolah ini berdiri, aku sungguh dibuat tercengang. Ku lihat seorang ibu dari anak didikku yang mendapat beasiswa yatim berprestasi sedang duduk menanti putrinya. Seketika kututup mataku dari ketercenganganku karena...

Dia adalah matahariku.

Doa sambil laluku.

***

Definitely sunny Ichaa65

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top