Kepada—
Pendaki yang lenyap di gunung itu

Saya mungkin keliru, Tuan. Di bulan november yang basah saya pernah berkata gunung itu melelahkan. Bahwa saya berpendapat rahasia adalah lelucon yang bisa saya bisiki kapan pun saya inginkan. Tetapi, nyatanya pendakian adalah tanjakan terjal tak berujung. Begitu saya rasa. Dan rahasia ini adalah sama adanya. Tetapi, baru-baru ini saya juga menyadari banyak hal. Kau sendiri yang membuktikan bahwa gunung-gunung adalah makam. Betapa hidup tak pernah sekonyol saat ini. Betapa temu dan pisah hanya sebatas antara. Kau harusnya memang mengerutkan dahi mengapa aku kirim surat ini. Ya, memang begini seharusnya.

Gunung-gunung itu rahasia. Seperti kataku waktu itu. Tempat kita mengagumi langit yang dekat itu, bintang yang tumpah itu, dan telaga yang biru itu. Dan kita masih menangis saat api membakar habis separuh biosfer, sabana, dan kenangan. Seperti tak pernah membiarkan rahasia itu lenyap dilahap senyap. Dan kini jadi abu dalam keheningan gunung.

“Mau ke mana?”  tanya saya waktu itu.

Kau tersenyum.  “Ke gunung, membuang penat. Ikut?”

“Tidak.”

Dan kau diam.

“Boleh titip?” tanya saya lagi, seraya menyerahkan benda itu untukmu, yang bahkan tak kau ketahui apa kiranya. “Buanglah ini juga.”

“Apa?” tanyamu.

“Rahasia.”

Dan kau menerimanya. Dan pasti membuangnya bersama milikmu juga.

Pernah saya dengar darimu, bahwa pencinta alam adalah yang menjaga, sementara penikmat alam hanya kaum kurang ajar yang akan membuang sampah di gunung itu. Entah saya ini pencinta atau penikmat. Sebab saya rasa, saya juga kerap membuang banyak muntahan kesedihan, kesepian, dan rahasia yang sampah di gunung itu.

Kemudian, mungkin memang inilah akhirnya. Sebagaimana sebuah sajak pernah berkata, bahwa rahasia adalah tawanan. Jika kau ungkapkan maka kau yang akan jadi tawanannya. Saya pun tau: Kau memiliki tawanan, Tuan.

Dan seperti saya, kau tetap menawannya sampai mati.

Dengan kerelaan yang baik,
Saya.

Written by ikanuila