9. He Said That I'm His Girlfriend

Ada dua jenis takdir di dunia ini yaitu; takdir yang sudah ditetapkan seperti aktivitas alam semesta, serta takdir yang gantungkan atau ditunda. Jenis pertama mustahil mengalami perubahan, sedangkan jenis kedua adalah kebalikanya karena Tuhan ingin memaksimalkan usaha manusia sebagai sosok berakal dan jika kedua teori tersebut diaplikasikan untuk saat sekarang, maka mari kita lihat makhluk planet Mars dengan senyum berhias sepasang taring.

"Hi, Kirana." Walter mengangkat tangan kanannya di saat aku mengulurkan untuk saling berjabat. "Percayalah, gaya berkenalan dewasa awal di California berbeda dengan di Indonesia. Jadi ikutin saja dan kau akan menjadi kawan paling keren."

Kedua alisku terangkat, masih dengan tangan menggantung yang belum terbalas. "Then what should I do?"

Senyum Walter terbit dengan sangat cerah, sampai-sampai mampu menyilaukan siapa saja yang melihat. 

Serius, memang terdengar berlebihan. Namun, jika kalian melihat bagaimana reaksi para gadis yang kebetulan melintasi kami di sekitar Fairfax Cinema, maka kalian pun akan menyetujui bentuk hiperbolisku barusan. 

Mereka--para gadis itu--beberapa diantaranya menjerit histeris, tapi dengan nada tertahan, beberapanya lagi saling berbisik penuh kekaguman mengenai Walter, dan yang terakhir lebih frontal di mana tanpa ragu memberikan nomor ponsel kemudian menampilkan isyarat agar Walter menelepon.

Wow! Haruskah aku merasa takjub? Atau berpikir bahwa apa yang dikatakan Emma mengenai Walter memang bukanlah sekadar isapan jempol. Ya, kupikir, aku harus mengakui pesona Walter seperti saat ia sedang bermain bersama Greg di halaman rumah mereka.

... atau lebih baik katakan saja, bahwa Fred bersaudara memang memiliki pesona yang luar biasa.

"Kirana, just follow me," perintah Walter setelah selesai berurusan dengan gadis yang memberikan nomor ponselnya, lalu kembali beralih padaku. "Angkat tangan kananmu seperti ini lalu seperti begini dan ...." Walter membentuk sudut siku-siku pada lengan kanannya kemudian diikuti bagian kirinya, hingga membuat kerutan di antara kedua alisku semakin dalam.

"Please, jangan konyol, Walter," kata Sabina kemudian mendorong pelan bahu Walter. Namun, lelaki itu keras kepala dan masih bertahan dengan posisinya hingga melalui bahasa tubuh, ia mengisyaratkan agar aku segera mengikutinya.

And well, I'm not stupid. Jadi aku menggeleng dan memilih melakukan perkenalan selayaknya manusia normal, meskipun membosankan. "I'll not do that, just shake my hand and I think that's enough." Kembali mengulurkan tangan yang sebelum tak menerima balasan, Walter pun terpaksa harus menuruti kemauanku setelah mengembuskan napas panjang bersamaan ekspresi suntuk bukan main.

"So boring," kata Walter dan aku mengabaikannya dengan senyuman.

Melihat apa yang ingin dilakukan Walter, aku yakin bahwa dia berniat melakukan lelucon konyol kemudian ketika semua orang tertawa, maka ia akan memujiku dengan mengatakan 'Kau lucu, Kirana. Kupikir kita memiliki selera humor serupa, hingga kemungkinan besar kita akan cocok jika bersama.' kurang lebih, Walter akan mengatakan hal tersebut seperti perlakuan Harry setiap kali kami melempar humor dan saat itu hatiku pun mabuk kepayang.

"Sorry, Bung, tapi kau sebaiknya tidak perlu sok akrab dengan gadis yang baru saja kau temui." Felix--pacar Sabina--memisahkan kedua tangan kami yang saling bertautan kemudian mengusap punggung Walter seolah menenangkan lelaki itu atas tindakan maskulinnya. "Apa dia adalah Kirana yang kau ceritakan kemarin, Div?"

Divtia mengangguk, sambil menikmati creep yang kami beli setelah berjalan beberapa langkah meninggalkan salon, serta menjadi acara perpisahan di mana Emma dan Candice harus pulang terlebih dahulu demi mengerjakan sesuatu yang bukan urusan kami untuk sekadar kepo.

Felix merangkul Sabina, membawanya selangkah lebih dekat dan mengamatiku lamat-lamat. Ia mengusap dagu kemudian menoleh ke arah Sabina. "Bagaimana menurutmu, Beb?" tanyanya di mana jika ini film thriller, maka nada suaranya sudah terdengar seperti psikopat atau manusia dengan kelainan jiwa.

Err ... kalian tahu, seperti Girl In The Box? Ya Tuhan, serius itu menyeramkan, sehingga tanpa sadar aku pun sedikit memundurkan diri dan--

"Berhentilah bersikap seperti predator atau pasangan aneh. Kalian membuat sepupuku menciut." Divtia mendorong sepasang kekasih tersebut kemudian memeluk lenganku dengan begitu posesif. "Dan kau Walter, jangan berniat untuk menggoda Kirana karena entah ada angin apa, tiba-tiba kau ingin bergabung dengan Felix saat ia ingin berurusan dengan Sabina."

Menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jemari, Walter menatap Divtia dan aku secara bergantian kemudian mengembuskan napas kasar, seolah ia mengalami kekecewaan mendalam.

Oh, ngomong-ngomong, jika kalian bertanya tentang bagaimana Walter bisa berada bersama kami, serta keterkaitan dengan dua teori yang kukatakan sebagai paragraf pembuka maka katakan saja bahwa lelaki itu membuat takdirnya sendiri dengan bantuan tangan Tuhan. Yaitu menerima ajakan Felix--pacar Sabina--saat gadis itu meminta agar segera menemuinya di Melrose Avenue setelah kami selesai dengan urusan memanjakan diri di salon.

Kata Divtia--saat kami melihat kemunculan Walter di ujung jalan bersama Felix--ini adalah suatu keajaiban ketika melihat Walter bersedia hadir di antara mereka karena biasanya, dia akan selalu mual muntah jika melihat gaya pacaran Felix dan Sabina yang dipenuhi kata-kata puitis.

"Sayang sekali," kata Walter kemudian memutuskan untuk memutar tubuh, menghadap pada jalanan sambil segelas kopi di tangan kanannya dan mungkin menunggu siapa di antara kami untuk memutuskan film apa yang menarik ditonton minggu ini di Fairfax Cinema. "Sebenarnya kalian mendengar berita kebohongan dari bibir Kirana."

What?! Bibirku terbuka--tidak terlalu lebar--karena terkejut dengan ucapan Walter. What is he mean? What kind of lie I did? Tanpa banyak bicara dan bertingkah, kuputuskan untuk diam saja sambil menunggu kelanjutan dari perkataan Walter hingga--

"Kebohongan apa? Kurasa itu kau, Walter." Divtia melangkah kemudian berdiri, sambil bertolak pinggang.

"Yeah, kurasa tidak ada alasan untukku berbohong."

Walter memutar tubuhnya, kembali ke posisi semua sambil tersenyum miring dan menyesap segelas kopi. "This is called the destiny of God."

"Then?" Felix tampak penasaran, hingga ia harus melepas rangkulannya di bahu Sabina demi mendengar bualan Walter.

"Sebenarnya ini bukan pertemuan pertama kami. Aku mengenal Kirana sebelum ia datang ke California, berkenalan melalui dating online MeetMe, dan ...." Walter menggantung kalimatnya, menatap ke arahku--mungkin--menanti reaksiku. Namun, tidak ada yang ia dapatkan selain bibir mengerucut geram seolah tak sabar ingin menggilas lidah Walter. "And ... she's my girlfriend."

Whoa! Sejak kapan, Walter?!

Kedua pupilku melebar. Serius. Jika tidak karena terikat hak dan kewajiban di restoran pizza kemarin, bisa dipastikan Walter akan kesulitan untuk melanjutkan ucapannya. Aku melilitkan kedua lengan di bawah dada, menatap lelaki itu seolah ingin menancapkan jutaan pisau di tubuhnya, mengabaikan Divtia, Sabina, dan Felix yang menatap kami secara bergantian.

"I fell in love at first sight. For God's sake." Walter menarik pergelangan tanganku, membawa agar aku berada dipelukannya dan secara tidak langsung mengisyaratkan, bahwa sandiwara kami tengah berlangsung.

... dan aku tidak tahu kalau pacar pura-pura itu dimulai, sebelum pesta yang dibicarakan Walter di restoran pizza akan berlangsung secepat ini. Sekali lagi, sepertinya kami harus membicarakan lagi kontrak tak tertulis tersebut.

Menjauhkan tangan Walter di bahu, aku pun memutuskan untuk angkat suara. Namun, niat baik tersebut terlebih dahulu disela oleh panggilan Divtia yang menyebut nama lengkapku.

"Kita pulang sekarang dan batalkan nonton filmnya," kata Divtia, sambil menarik--menyeret--tanganku untuk segera pergi. Namun, Walter menahannya dan adegan memperebutkan Kirana Mahaputri pun berlangsung singkat, berkat bantuan Sabina.

"It's boring, Walter." Sabina mendecak lalu membebaskan kedua tanganku. "Kau mengucapkan kalimat itu berulang kali dan aku sudah hapal akhirnya. Terlebih sejak kapan kau tertarik dengan dating online?"

"Well ...." Walter mengedikkan bahu kemudian melirik ke arahku. "Banyak sisi yang tidak kau ketahui, Sabina."

"Yeah, kupikir ini bukan urusan kita, Babe." Felix memeluk Sabina dari belakang, mencoba menenangkan gadis itu dengan menciumi pucuk kepalanya berulang kali. "Hanya untuk yang terakhir, tanpa memedulikan pertikaian di antara kalian bertiga. Aku mengundang Kirana ke pesta penyambutan musim panas dan kuharap kau bisa membuktikan bahwa--"

"Kirana baru saja putus dengan pacarnya dan mustahil langsung berkencan dengan Walter." Divtia menyela ucapan Felix serta kembali menarik tanganku. "Kita pulang sekarang, Kira. Mendengar ocehan Walter kupikir cukup berbahaya untuk saat ini."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top