6. Damned! He's A Sexy Neighbour
Harry adalah lelaki paling tampan dan romantis yang ada dalam hidupku. Setiap tingkah laku serta ucapannya selalu sukses membuat terbang ke awan sampai lupa bagaimana cara kembali ke bumi. Namun, sayangnya hubungan kami tidak terpublis secara gamblang, Harry menolak hal tersebut dengan alasan benci kamera sehingga diam-diam aku sering merekamnya demi konten Youtube.
Namun, kali ini terlihat berbeda. Bertepatan pada hari anniversary kedua tahun kami, Harry melihatku dengan tatapan kagum sekaligus tidak percaya bahwa aku benar-benar berdiri di depan matanya. Ia bahkan mengabaikan kamera yang dalam keadaan on--sedang merekam--di kedua tanganku. Mengenakan dress musim panas berwarna shocking pink lima jengkal di atas lutut pemberian Harry, dia mengatakan bahwa aku adalah gadis paling cantik di dunia. Kalimat sederhana dan selalu sukses menghasilkan senyum di wajah. Harry memang luar biasa serta tidak pernah kesulitan dalam hal memuji.
Melangkah mendekatiku, Harry merentangkan tangannya kemudian memeluk dan mengambil kamera vlog yang kupegang sebelumnya. Ia tidak marah, tidak pula ngambek, bahkan lebih ke arah yang berbeda yaitu menciumku mesra sambil mengambil rekaman video kami berdua. Tak ketinggalan pula sembari berbisik, Harry mengatakan bahwa ia mencintaiku melebihi apa pun.
Ya, melebihi apa pun dan itu rasanya sungguh luar biasa, hingga ketika aku ingin membalas ucapan Harry....
... entah apa yang terjadi, semua tiba-tiba saja berubah.
Tidak ada Harry di mana pun.
Hanya menyisakan orang asing di dalam pelukanku, dengan rambut cokelat messy bergelombang yang kuremas demi menambah keintiman. Ia melepaskan ciuman kami dan betapa terkejutnya aku saat tahu bahwa ....
... sial!
Aku mengernyit dalam saat cahaya masuk ke dalam mata, bahkan gerakan refleks berupa melindungi pandangan menggunakan lengan pun dilakukan demi menghalau gangguan tersebut. Namun, terlambat mood tidurku terlanjur hancur saat cahaya itu semakin terang, bagai laser di tengah gelap.
"Good morning, Kirana." Itu suara Divtia, anak semata wayang paman Arya, serta sepupu tidak tahu sopan santun karena masuk tanpa permisi. Namun, tidak ada hak untuk melarang gadis tersebut sebab ini rumahnya dan aku hanya penumpang.
Jadi mau tidak mau, meski masih dalam keadaan lelah dan mengantuk luar biasa kuputuskan untuk bangkit dan duduk di atas kasur.
"Kamu lagi ngapain?" tanyaku menggunakan Bahasa Indonesia karena peraturan mutlak dari paman Arya adalah, setiap anggota keluarganya diwajibkan berbahasa Indonesia selama berada di dalam rumah. "Kenapa masuk kamarku tiba-tiba di saat aku masih mau tidur."
Divtia menoleh ke arahku--cuma sebentar--tersenyum--kemudian kembali menatap ke arah sebelumnya di mana tirai serta daun jendela telah dibuka secara sepihak oleh gadis itu. "Tidur hingga menjelang siang akan menghambat rejeki. Yakin mau kayak gitu? Padahal sekarang ada hal paling menarik di depan mata?"
Sebelah alisku terangkat. Masih loading karena efek bangun tidur dan mendapat mimpi seram tentang Harry yang tiba-tiba berubah menjadi Walter.
Walter, ya?
Walter.
Walter.
Jika otakku adalah komputer, maka loadingnya sekarang nyaris seratus persen dan ....
What the heck! Walter Fred. Aku ingat semuanya. Bahkan dari awal pertemuan kami, curhatan payah di restoran pizza, hingga muntah di baju lelaki itu karena terlalu banyak makan dan minum, serta yang terakhir saat ia mengantarkanku pulang, paman Arya malah menyambut kami dengan omelannya.
Ya Tuhan, kenapa harus seperti ini!
Itu memalukan sungguh. Terutama untuk gadis berusia dua puluh lima tahun, menerima omelan di depan seorang lelaki adalah kutukan.
"Kamu yakin enggak mau ikutan liat?" tawaran Divtia mengalihkan pikiranku mengenai semalam, lalu menatap ke arahnya dan tanpa permisi, ia langsung menarik lenganku agar kami melihat bersama, sesuatu yang dia bilang menarik.
"Aku enggak suka ngintip," tukasku, tapi diabaikan Divtia karena ia memaksaku menoleh dengan menggunakan kedua tangannya.
Dan yeah, hal menarik yang dimaksud Divtia adalah roti sobek dengan sentuhan dua choco cips, beserta rambut cokelat berantakan khas bangun tidur.
Walter bertelanjang dada, hanya mengenakan boxer, sedang melakukan perenggangan dengan penampilan bangun tidurnya itu, ternyata merupakan hal paling menarik bagi Divtia.
Aku memutar mata, merasa konyol jika tetap bertahan dengan gadis itu dan memutuskan pergi untuk mandi.
"Serius, deh. Kamu bakalan kaget kalau tau apa yang terjadi semalam, Div," kataku sambil mengambil handuk dan segera pergi sebelum Divtia bertanya apa yang tidak diketahuinya semalam.
Wel, kukatakan demikian karena aku bisa mendengar teriakan Divtia memanggil namaku, saat kakiku berusaha cepat saat menuruni anak-anak tangga.
***
Sebelum menceritakan bagaimana acara sarapan kami, maka akan kuperkenalkan terlebih dahulu keluarga kecil paman Arya.
Yang duduk di sebelah kiri, wanita paruh baya berkulit kuning langsat adalah Tante Lidya, istri paman Arya, dan ibu Divtia. Di sebelah kanan, gadis dua puluh satu tahun yang sejak pertama kali kulihat menyusup ke dalam kamarku adalah Divtia. Sedangkan di hadapanku, tentu saja Paman Arya, lelaki paruh baya berkacamata, seorang personal assistan di salah satu perusahaan besar di Amerika, yang sejak tadi kepo banget dengan kehidupanku di Bandung, serta cerita kilas balik tentang pertama kali di California.
"Jadi kamu ngapain aja di Bandung? Sampai susah banget diajak ke sini, padahal sebatang kara." Paman Arya menancapkan garpu di atas potongan sosis, menggabungkannya dengan irisan omlete sebelum mereka kembali masuk ke dalam mulutnya.
"Iya, padahal Tante senang, loh kalau kamu ada di sini. Biar rumah makin rame dan enggak sepi kalau Divtia lagi kuliah."
Aku mengedikkan bahu, menyantap indomie goreng yang kubawa dari Indonesia. "Well, ada sesuatu yang harus aku kerjakan sebelum memutuskan untuk datang ke sini," jawabku penuh kejujuran karena memang seperti itu niat awalnya, meski semenjak bertemu Harry hal tersebut mengalami pergeseran makna.
Paman Arya dan Tante Lidya saling bertatapan lalu mengalihkan pandangan ke arahku, seolah mereka mengajakku untuk melakukan telepati. Namun, sayangnya itu bukan keahlianku sehingga diam adalah keputusan final, sambil menunggu siapa di antara mereka yang akan bicara terlebih dahulu.
Aku menyuap gulungan mie goreng dan saat itulah paman Arya kembali berbicara, "Memangnya kamu ngerjain apa di sana? Bukannya cuma jadi karyawan di toko bunga?"
Kedua alis mengerut, Paman bilang 'cuma' oh, sepertinya dia tidak ingat bahwa aku--setelah kematian ibu--telah menjadi penggila kerja, hingga bekerja di beberapa tempat. Toko bunga Dahlia hanya salah satunya.
"Apa pun pekerjaannya, selama bisa mengalihkan rasa sedih dan aku menyukainya. Kenapa tidak?" Kulihat paman Arya mengangguk, sedangkan tante Lidya tersenyum, dan Divtia ....
... dia hanya sibuk dengan potato toast, fokus pada program dietnya.
"Tidak masalah punya prinsip seperti itu, tapi apa artinya jika hidup sebatang kara? Rasanya berdosa kalau membiarkan keponakan Tante kesepian, sedangkan kami di sini todsk merasakan hal serupa."
"Alright, Tante." Aku meletakkan garpu di atas piring saat sarapanku selesai. "Sejujurnya, aku tidak merasa kesepian karena orang-orang di sekitarku sangat menyenangkan. Mungkin, kalau kalian ada kesempatan ke Bandung, aku bisa mengenalkan kalian pada mereka," jelasku panjang kali lebar yang dibalas anggukan pelan paman Arya.
"Dan lagi, mustahil jika selamanya aku akan membebani kalian. Kemandirian adalah salah satu nilai yang ditanamkan ibu padaku, sehingga jika memang ingin tinggal mungkin bisnis adalah pilihan utama untuk menopang hidup." Akhir kata, kuangkat piring sisa kami sarapan kemudian membantu Tante Lidya mencuci piring sambil bersenandung.
Paman Arya memanggilku dari arah belakang lalu berdiri di sampingku, membantu mengeringkan piring-piring sebelum ditaruh di rak.
"Kuhargai semua keputusanmu, tapi kuharap kamu mau tinggal bersama kami sebagai bentuk tanggung jawabku sebagai keluarga satu-satunya yang kamu miliki, Kirana," kata paman Arya. "Biar kubantu karena ini adalah hari liburku."
"Thanks," ujarku sambil menyabuni piring-piring, membilas, kemudian memberikannya kepada paman Arya.
"Ingat, Bahasa Indonesia untuk rumah ini." Paman Arya tertawa pelan dan itu menular, hingga perbincangan ringan pun mengalir di antara kami.
Sayangnya tidak berjalan lama karena Divtia berteriak memanggilku--mengajak agar aku mau pergi dengannya ke suatu tempat--dari arah tangga.
Dan aku pun langsung mengiyakan ajakan Divtia, sebelum kutahu ke mana kami akan pergi. Sebab jelasnya--setelah menerima wejangan dari Walter--saat kami menikmati pizza bersama serta pulang bersama--California bukanlah tempat yang tepat untuk bermuram durja. Apalagi jika alasanya hanya karena patah hati akibat diselingkuhi oleh lelaki gay, yaitu Harry.
Walter sempat mengatakan bahwa jika aku masih larut dalam kesedihan, maka itu akan menjadikan Harry berada di bangku kehormatan sebab berhasil menyakiti hati seorang gadis.
Saat itu aku hanya membalasnya dengan memutar mata karena jelas terdapat nilai-nilai gombalan di sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top