4. Walter Is a Fake Hero

Sembilan kata untuk mendefinisakan perempuan nakal dan satu kata untuk definisi laki-kali nakal. Itu yang dikatakan Satyawati dalam tulisannya di situs Magdalene.co, jika kalian membaca maka akan terbesit pertanyaan seperti;

Apa selama ini kalian sadar kalau nilai-nilai patriarki masih cukup kuat di Indonesia?

Lalu ke mana para perempuan yang bertugas di Badan Bahasa? Mengapa mereka setuju saja dengan definisi yang mana perempuan memiliki sembilan makna negatif?

Seperti perempuan geladak, perempuan jalanan, perempuan jalang, perempuan lacur, dan lain sebagainya ternyata memiliki ketimpangan dengan definisi laki-laki a.k.a gigolo yang hanya memiliki dua makna, yaitu laki-laki bayaran yang dipelihara seorang wanita sebagai kekasih serta laki-laki sewaan yang pekerjaannya menjadi pasangan berdansa. Jika sudah seperti itu, maka enggak perlu kaget lagi kalau perempuan selalu menjadi objek kejahatan seksual, bahkan perlakuan cat calling pun sebagian besar masih dianggap sebagai kesalahan perempuan.

Seperti sekarang, keberadaan Walter yang terus mengikutiku sebenarnya sudah cukup membuatku merasa risi, meski lelaki itu tidak melakukan apa pun selain tertawa setelah kukatakan bahwa dia hadir untuk menawarkan kesenangan semalam.

Sepuluh detik berlalu dan dia masih tertawa. Bahkan kesulitan untuk berbicara, meskipun sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu.

"Demi Tuhan, hai orang asing, tertawalah sesukamu dan biarkan aku pergi karena sungguh, aku tidak membutuhkan jasamu." Aku kembali melangkah setelah--saat Walter tertawa--sempat memikirkan tulisan Satyawati mengenai arti gigolo serta pelacur, hingga kembali menimbulkan pikiran kritis tanpa jawaban kemudian berakhir dengan kekesalan di dalam dada. 

Walter masih tertawa, tapi tangannya mengisyaratkan agar aku tidak pergi dan ....

... well, aku tak peduli dan tetap memutuskan pergi, hingga di langkah kelima Walter menahan pergelangan tanganku sambil bernapas ngos-ngosan seolah habis lari maraton.

"Sorry because I laugh a lot, tapi bagaimana kau bisa mengira aku seperti itu?" tanyanya menjulang di hadapanku.

Tidak langsung menjawab, aku justru melirik ke arah tangannya yang masih menggantung di pergelangan tanganku. Tak ada kesempatan dalam kesempitan, jika menyangkut orang asing sehingga toleransi dalam kontak fisik pun bukanlah termasuk dalam kamusku dan di detik berikutnya, Walter pun melepas genggamannya.

Bertolak pinggang, aku akhirnya berkata, "Pertanyaan yang bagus untuk orang yang pura-pura tidak tahu. Siapa pun yang mendatangi orang asing kemudian berbicara seolah kau kenal baik dengannya, adalah salah satu dari ciri-ciri mencari teman semalam."

Melilitkan  kedua lengannya di atas dada, Walter si orang asing menganggukan kepala. "Well, terlalu menghakimi, tapi tidak masalah karena itu menandakan bahwa aku terlihat menarik di mata para mata keranjang dan seharusnya kau tahu juga, aku bukan gigolo. For God's sake." Setelah mengucapkan pengakuan yang diselipi kalimat narsis, Walter menundukkan kepala, menggenggam tangan, dan merendahkan posisi tubuh dengan menekukkan lutut saat satu kakinya berada di belakang kaki yang yang lain. 

Sikap sederhana, berupa bentuk penghormatan bagi keluarga kerajaan Inggris. Yang mana kupikir tak harus membalas karena bukan dari kerajaan tersebut.

... atau mungkin Walter adalah bagian dari mereka, tapi mana ada anggota kerajaan yang bisa kelayapan sebebas itu.

"Fine, berhenti melakukan pose tersebut karena aku sama sekali tidak membutuhkannya," kataku lugas tanpa basa-basi dan sungguh ingin pergi meninggalkan Water.

"Ok, tapi setidaknya beritahu dulu siapa namamu karena kau telah mengetahui namaku," ujar Walter sambil mengulurkan tangan kemudian menyisir rambut ke belakang menggunakan tangan lainnya. "Hi, I'm Walter and this is the third time I say the same sentence, so don't ignore it anymore."

Memutar mata, mau tidak mau kubalas jabat tangan Walter sambil berujar super singkat, "Kirana."

Lengkungan indah dikedua sudut bibir Walter merekah dan itu menular hingga aku turut tersenyum, meski tidak selebar Walter, tidak setulus Walter, serta tidak dalam nasib serupa.

"Apa kau sendirian malam ini?" tanyanya dan seketika itu pula kedua alisku terangkat.

Pertanyaan macam ini?!

"Oke, kupikir pikiranmu sudah terlanjur menjurus ke hal-hal seperti seks or anything, but TBH aku hanya ingin memberitahu bahwa aku sangat terkesima denganmu dari kejauhan dan aku hanya harus berbicara kepadamu."

Alright! Ini terdengar seperti gombalan. Seperti yang dikatakan Harry saat pertama kali kami bertemu di situs kencan online.

"Oh, thank you!"

Lagi Walter tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi rapinya dengan sepasang taring memikat. "Listen, may I have your number?  Serius aku ingin minum kopi bersamamu dan jika memungkinkan aku ingin bisa mengenalmu lebih baik."

"Aku tidak punya nomor yang bisa dihubungi dan ponselku hilang."

Sedetik kemudian lipatan di kening Walter tampak jelas di mataku. Ia menatapku seolah heran dengan jawaban yang ia terima barusan. "Please, don't lie, Kirana."

Aku menggeleng dan merasa semakin gila karena di saat seperti ini malah membuang waktu dengan mengobrol hal tidak penting bersama lelaki asing yang jelas-jelas, sedang berusaha mengajakku kencan dan mungkin ini adalah salah satu modus penipuan terbaru.

"Fine. Lalu kuharap kau bisa meluangkan waktumu sebentar untuk minum kopi, sebelum kau benar-benar pergi dan kita mungkin tidak akan pernah bertemu lagi." Walter bersikeras hingga urat-uratku mungkin tampak jelas di wajah.

Memejamkan mata sejenak demi meredam emosi, kucoba untuk mengambil napas panjang berulang kali demi merelaksasikan diri. "Jangan habiskan kesabaranku, Tuan Walter," kataku lalu menatap Walter, mengabaikan betapa memesona dirinya jika aku tidak dalam keadaan marah akibat dicampakkan dan kesal karena kecopetan, hingga tersesat. "Be honest, aku tidak punya waktu untuk bersenang-senang, tidak punya waktu untuk mengobrol sambil minum kopi. Bahkan jika butuh seseorang yang ingin mentraktirmu ....

"Well, kau salah sasaran karena aku tidak punya uang sebab pencopet sialan itu mencuri semua barang berhargaku. Dengan kata lain! Aku turis miskin dengan kesialan beruntun.

"Akhir kata, jangan lagi menggangguku, pergi dari sini karena aku tidak ingin terlihat brengsek dengan bermain gila bersama lelaki asing di hari patah hati serta hari kesialanku. Sampai jumpa!" kataku panjang kali lebar sambil mendorong bahu Walter agar menjauh dan kembali melangkah.

Terus melangkah sampai hitungan ketiga puluh. Walter tidak menyusulku dan seharusnya, aku bernapas lega, tapi di waktu bersamaan juga ....

Bangsat! Perempuan pun bisa memecahkan masalah seorang diri, kok, dan aku sekali pun tidak mengharapkan bantuan Walter.

Menoleh ke belakang setelah sadar Walter tidak menggangguku lagi, kulihat lelaki itu benar-benar menghilang. Bahkan aroma citrus dan kayu manisnya pun menguap akibat musim panas yang nyaris berganti malam. Kalau seperti ini mungkin Paman Arya sudah repot mencariku di mana-mana. Terlebih aku juga tidak bisa lagi dihubungi.

Melewati jajaran pertokoan, hidungku refleks mencium aroma keju meleleh yang bercampur dengan potongan daging kemudian ditaburi oleh merica, sehingga ketika ditelan akan memberikan efek sedikit pedas di tenggorokan. Aku menelan ludah seiring dengan para cacing yang sedang mengadakan konser unjuk rasa di dalam usus lalu menoleh ke arah kanan--sebrang jalan--sambil memperlambat langkahku.

Refleks, tangan kananku memegang perut. Sisa uang seratus dollar yang sudah kubelikan air mineral rasanya mustahil untuk digunakan kembali demi membeli makanan, sebab jika salah langkah maka aku pasti akan menyesal. Bukannya pelit pada diri sendiri, hanya saja dalam situasi seperti ini kita harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Lapar bisa ditahan, tapi haus tidak. Kekurangan cairan akan berakhir dengan situasi tak sadarkan diri, sehingga jika aku keras kepala dan membeli pizza tersebut maka situasi mungkin akan menjadi lebih buruk.

Aku mengangguk pelan dengan kesimpulan ringkas yang dikirimkan dari pusat saraf barusan dan hanya bisa memandang, saat bagaimana para pramusaji mengantar makanan serta bagaimana para pengujung menyantap potongan-potongan pizza beraroma lezat tersebut.

For God's sake, I really hungry.

"Hi, Kirana." Panggilan dengan suara yang familier karena baru saja menghilang, tiba-tiba kembali terdengar hingga membuatku menoleh ke belakang dan disambut dengan senyum sehangat matahari musim panas di hari senja. "Syukurlah kau belum berjalan terlalu jauh. Ternyata gadis kecil sepertimu memang memiliki langkah kaki yang pendek, hingga aku tidak perlu berlari terlalu jauh," katanya dengan sesuatu yang menenangkan jika disantap saat pekerjaan sedang menumpuk.

"Kau lagi?" tanyaku, sambil mengalihkan pandangan agar tidak berfokus pada apa yang dia bawa. "What do you want, eh?"

Walter menggeleng. "Nothing. Hanya ingin memberikan ini dan jangan khawatir karena gratis dengan catatan kau harus mengobrol denganku sebab kisah pilu yang--entah kau sadar atau tidak--telah menarik perhatianku." Sambil memberikan segelas minuman penenang yang selalu kunikmati di kala kerjaan menumpuk, Walter mengedipkan sebelah matanya dan aku membalasnya dengan pandangan penuh tanya.

Ngomong-ngomong, dibagian mana kisah piluku yang berhasil menarik perhatiannya? Sepertinya aku hanya menceritakan tentang nasib sial akibat kecopetan? Apa aku telah melupakan sesuatu?

"Kau mau membantuku?" Akhirnya kalimat itu keluar juga setelah mengganjal di dalam hati, akibat gengsi dan rasa hati-hati terhadap orang asing. "Aku tersesat dan hanya memiliki ini sebagai petunjuk. Jika kau berkenan, aku ingin meminjam ponselmu untuk menelepon pamanku." Kuperlihatkan secarik kertas bertuliskan nomor telepon Paman Arya, setelah mengambil segelas kopi hangat yang Walter berikan untukku kemudian menyesapnya.

Walter melepas kacamatanya, memerhatikan nomor yang tertera di kertas kemudian mengangguk tanpa bicara. "Oke," katanya singkat kemudian mengenakan kembali sepasang kaca berbingkai tersebut dan meminum minumannya. "Bukan hanya meminjamkan ponsel, tapi juga akan mengantarkanmu pulang ke rumah pamanmu hanya jika kau mau makan pizza denganku dan ...." Walter menggantungkan kalimatnya.

Ia menatapku dengan pandangan menyelidik atau lebih tepatnya tatapan memindai, hingga aku merasa risi akibat dinilai dalam diam.

"Lanjutkan kalimatmu, Walter!" tukasku bernada tinggi, sampai-sampai aku yang tersadar dengan keras suaraku langsung menutup mulut kemudian melirik ke arah kiri dan kanan.

"Wow, akhirnya kau menyebut namaku," kata Walter, "baiklah, aku akan membantumu jika kau mau makan pizza denganku dan ...."

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

... nyaris sepuluh detik dan dia masih menggantungkan kalimatnya hingga aku--

"You are a fake hero!" ujarku ketus akibat kesal bukan main dan membalikkan tubuh untuk kembali melanjutkan perjalanan super panjang ini.

Namun, lagi-lagi--seperti kejadian sebelumnya--Walter menghalangi langkahku dengan senyum merekah seperti bunga-bunga di Toko Bunga Dahlia.

***

Sudah chapter 4 yang baca tolong kasih komentar ya.

Terima kasih ❤


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top