Chapter 1
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
"Hei Chou Tsu Yu, sudah ribuan kali aku bilang untuk tidak datang lagi ke sini jika tidak ada hal penting yang mau dibahas."
Suara melengking disertai dengingan microfon membuyarkan lamunanku. Seluruh pandangan pengunjung yang hanya segelintir itu tertuju ke kursi pojok tempatku duduk. Untung cafe ini belum ramai, jika tidak mau ditaruh mana mukaku. Padahal aku sudah sengaja duduk di meja paling jauh dari stage tetap saja dia mengetahuinya.
"Kenapa hari ini masih aja kamu menunjukkan mukamu ha?" umpat gadis berambut pendek sebahu dari atas stage. Dia lalu meletakkan microfonnya, turun dengan tergesa dan berjalan menuju aku yang sedari tadi duduk diam seperti anak penurut.
"Hello, aku ga ngelakuin hal memalukan atau apa, kan? Kenapa kamu sewot gitu sih," gumamku ga habis pikir.
"Aku sudah bosan tiap hari ngelihat ekspresi fans fanatik yang kamu tebar-tebar." Penyanyi cafe cantik itu segera duduk di hadapanku, menyilangkan kaki sambil menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Ya ya ya, udah kebal aku diomeli sama nona Son Chae Young yang maha benar," jawabku malas.
Chae Young adalah sahabatku sejak SMA. Dia tahu benar luar dalam diriku. Saat ini dia mengomel juga memang salahku juga sih hampir tiap hari datang ke sini. Tapi hanya di sini aku bisa cuci mata. Di mana lagi coba bisa lihat cowok setampan itu. Kulit putih bersih, badan tinggi tegap, wajah sempurna nan menawan hati. Dengan apron melingkar di pinggangnya yang proporsional. Duh, benar-benar pujaan hati para jomlo seperti aku. Pemilik cafe ini memang sangat memikat, tak ayal cafe ini sangat laris manis di kalangan para pemudi.
"Bolos kerja lagi, dok?" Lagi-lagi suara itu kembali mengusik pendengaranku.
"Ish, enggak lah. Udah selesai kerja kok. Aku hanya mampir nih. Mau kasih sesuatu ke kamu," kataku sedapatnya. Berusaha mengalihkan perhatian gadis ini sebisa mungkin. Siapa juga yang mau diomeli terus, kan.
Chae Young nampak tidak percaya dengan kata-kataku. Matanya masih menatap sinis menunggu aku untuk mengucapkan hal yang sebenarnya sedang ku lakukan di cafe ini sekarang.
"Jadi apa itu?"
"Ha?"
"Apa yang mau kamu kasih ke aku?"
Ah, dengan sigap ku keluarkan selembar undangan berwarna coklat muda berhiaskan sulaman benang emas. Dengan simbol dua burung merpati yang saling tertaut.
"Apa ini?"
"Undangan lah."
Yap, tepat sekali, ini adalah undangan pernikahan tapi pernikahan sahabatku yang lain.
"Kamu mau nikah?"
"Ya maunya sih gitu. Apa lagi yang tertulis di sana namaku sama barista tampan itu mau banget lah."
Kulirik seorang lelaki yang menjadi satu-satunya alasanku datang ke sini. Lelaki itu terlihat sangat fokus melakukan pekerjaannya. Dia pasti sedang mengerjakan pesanan yang sangat penting.
Plak.
Sebuah pukulan mendarat di kepalaku, tidak sakit hanya kaget. Karena dia memukulnya saat aku sedang menaikkan tingkat kehaluanku.
"Apaan sih?"
"Ngimpi mulu sih. Barista itu sepupu sekaligus bos aku tahu. Mana mau orang selevel dia sama kamu cumi," ledek Chae Young.
Yah, yang ga aku sukai dari gadis ini memang karena omongannya selalu bener. Dia terlalu jujur mengutarakan isi hatinya.
"Woi cumi. Punya kaca ga di rumah."
"Bodo amat." Pandangaku segera ku alihkan ke Barista itu lagi. Ya kali mau mandangi Chae Young. Aku kan memang sengaja pilih duduk di sini untuk mengagumi lelakiku itu. Aah, andai dia memang lelakiku.
"Sadar non."
"Mengganggu saja, tidak tahu apa orang sedang berkhayal jadi istri Eun Woo. Emang ga boleh ya?"
Gadis berambut putih di depanku memasang muka masamnya. Kenapa sih kalau ada aku dia selalu bawel begini. Siapa tau kan aku bakal jadi sepupu iparnya.
"Menurut kamu? Tiga puluh menit lagi jam pulang kantor. Cafe ini bakal ramai, mending kamu cepat pulang. Jangan ganggu Eun Woo."
"Kenapa sih ngusir mulu? Kan aku udah jarang ke sini juga."
Chae Young menghembuskan napasnya dengan kasar, "seminggu 5 kali, kamu bilang jarang? Kamu kayak ga ada kerjaan aja."
"Kerjaanku banyak kok," jawabku tak kalah sengit.
"Nah kalau banyak cepat pergi gih. Hus hus hus."
Sudah dua tahun. Selama itu aku memendam kekaguman sekaligus perasaan menyebalkan ini kepada Cha Eun Woo, sepupu Chae Young. Sudah satu setengah tahun pula aku terus menghalu di cafe ini tanpa pernah mengusik dia yang aku puja. Hanya mandang dari jauh. Dan berharap suatu saat dia akan memandang ke arahku juga.
Sakit?
Iya sakit tapi engga juga. Entah kenapa, perasaan bodoh ini selalu membungkam apapun yang otakku perintahkan.
"Pintu keluarnya di sebelah sana."
Ih, ni sepupu over protektif banget dah. Aku kan ga ngapa-ngapain hanya menghalu dengan imajinasiku sendiri memangnya salah.
"Salah," ujarnya tiba-tiba.
"Wow, dia bisa tahu apa yang aku pikirkan. Ga mungkin juga sih, paling kebetulan saja," batinku.
"Bukan kebetulan. Semua tergambar jelas di wajahmu itu dasar dokter bucin. Sudah pergi sana. Udah diusir juga, bego namanya kalau tetap di sini."
Sobat ku satu ini memang cukup bermasalah dengan mulutnya yang terkesan cukup tidak sopan saat bertutur kata.
"Kamu aja yang pergi sana. Nyanyi sana, ngapain sih di sini mulu. Aku kan bayar, bego kalau pergi begitu saja. Aku punya hak penuh dong berlama-lama di sini."
Tapi jangan khawatir mulutku juga tidak kalah pedas jika harus adu mulut dengannya.
"Ada apa ini?"
Suara berat yang sangat sexi terdengar begitu dekat. Lelaki itu sekarang sudah berdiri di sampingku dengan kemeja coklat mudanya dan celana panjang hitam serta celemek coklat tua yang melingkar rapi di pinggangnya. Rambut hitam tersisir dengan sempurna.
Ternyata di belakang sana banyak mata memandang kami dengan tatapan terganggu. Mungkin suara perdebatan kami membuat sebagian besar pengunjung merasa tidak enak hati. Aku sedikit merasa bersalah akan hal ini. Tapi apa boleh buat. Jika bertemu dengan Chae Young kami selalu melakukan hal ini. Memalukan sekali.
"Ini nih, dokter ga ada kerjaan ini lagi-lagi ngabisin duit sembarangan."
"Kamu jangan ngomong yang gak gak dengan pelanggan Chae Young bisa-bisa semua pelanggang lari nanti." Lelaki itu menarik telinga gadis yang sedari tadi menggangguku.
"Tapi, tapi, tapi."
"Cepat naik ke atas stage dan hibur pelanggan lagi. Atau mau aku potong gajimu?" kata Barista pujaanku itu. Keren sekali memang orang ini. Bisa dengan mudah menyingkirkan si keras kepala Chae Young dengan sekali ucap.
"Mampus, wek," ledekku dengan lidah terjulur ke arah gadis berbaju abu-abu yang berjalan dengan menggerutu.
Level persahabatan kami memang sudah bukan lagi yang suka cari muka di depan satu sama lain. Saling ejek sudah menjadi keseharian kami, dan tidak ada satupun yang akan sakit hati.
"Maafkan ketidaksopanan karyawan saya. Sebagai gantinya semua makanan dan minuman ini gratis," tambah Eun Woo.
"Tidak perlu. Saya juga punya andil dalam menciptakan keributan ini. Maaf jika membuat suasana cafe anda menjadi tidak nyaman."
"Tidak masalah."
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Chou Tzu Yu
Son Chae Young
Cha Eun Woo
Hai, baru mulai bab 1 nih, semoga terhibur semuanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top