Crazy - 47
"GUE sebenernya heran, deh! Kalian itu aslinya belum dikasih momongan atau emang sengaja mau nunda buat punya anak sekarang?"
Pertanyaan dari adik iparnya langsung membuat Irin tersedak minuman yang baru saja dia telan dengan perlahan. Kepalanya menoleh, menatap wajah Syila yang kini mulai terlihat bulat lantaran berat badannya terus bertambah setiap bulannya.
"Kalau emang sengaja mau nunda nggak masalah sih, asal jangan kelamaan aja. Ntar anak gue udah mau enam, lo berdua baru mau punya anak pertama, kan nggak lucu juga buat gue jadinya, kan?"
Irin sontak memelototi adik iparnya yang mulutnya sungguh tidak tahu aturan itu. "Hah, anak keenam? Emang lo mau lahiran tiap tahun apa?"
Syila sekarang sedang hamil anak pertama, tapi malah mikir soal kelahiran anak keenamnya. Memangnya dia mau beranak tiap tahun atau bagaimana? Apa nggak takut suaminya macam-macam di luar sana, lantaran istrinya selalu menjadi bola setiap tahunnya?
Lagian mana mungkin mereka bakal menunggu sampai selama itu untuk punya anak? Karena bulan lalu, Irin sudah mengizinkan Rein untuk menanamkan benih dengan leluasa di rahimnya.
Ya, walaupun sampai sekarang belum ada tanda-tanda kehamilan juga, tapi harusnya tidak akan selama itu juga, kan?
"Rencananya sih emang gitu," Syila membelai perut bulatnya yang tampak bergerak-gerak dan itu sungguh lucu sekali di mata Irin, "tapi nggak tahu ntar jadi atau enggak. Si Jake bilangnya pengen punya kesebelasan, gue sebagai istri yang baik kan harus lahirin anak-anaknya."
Irin langsung meringis saat mendengarnya. Padahal hanya mendengar saja, bukan dia yang akan mengalaminya. Namun membayangkan hamil setiap tahun sampai sebelas kali sukses membuat Irin bergidik ngeri.
"Emang lo nggak takut dia sampai ninggalin lo, karena tiap tahun lo hamil mulu, Syil? Kalau dia tiba-tiba aja bawa pulang calon istri barunya gimana?" Irin menatapnya penasaran.
Syila langsung mendelik ke arah kakak iparnya itu. "Kalau dia sampai berani bawa pulang cewek lain waktu gue hamil gede? Awas aja! Gue potong sekalian burungnya biar nggak kegatelan lagi jadi manusia!" jawabnya penuh emosi.
Irin langsung meringis. "Emang lo nggak pernah ngerasa takut atau apa gitu sama Jake selama ini, Syil? Secara, suami lo diem-diem gitu cukup temperamen kan orangnya?"
Syila terdiam cukup lama, tampak menimang sesuatu sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya. "Takut sih ada, tapi lebih ke rasa takut kalau sampai ditinggalin aja. Dia emang kelihatan temperamen, kasar juga orangnya, tapi aslinya nggak gitu, kok. Kalau sama gue dia nggak berani main kasar, kecuali kalau emang lagi kelewat emosi aja."
"Kelewat emosi kayak gimana maksudnya?" Irin mengernyitkan dahinya heran. Dia tidak paham.
"Ya, kalau dia lagi cemburu gitu. Dia pasti jadi agak kasar mainnya. Bibir gue aja pernah dibikin robek sama dia, tapi orangnya nggak sadar, kan beneran minta dimaki-maki itu orang?"
Irin hanya bisa meringis mendengarnya. Dia baru tahu masalah itu sekarang dan dia agak tidak menyangka, seorang Jake yang penampilan luar dan gayanya macam preman itu ternyata tidak sekasar kelihatannya.
"Sebentar, lo nanya gini bukan karena abang gue selalu ngelakuin hal kasar ke lo selama ini, kan?" Syila mendekatkan wajahnya dan tampak menatap kakak iparnya dengan tatapan menyelidik.
"Rein?" Irin mengernyitkan dahinya heran.
Syila mengangguk mantap. "Dia pernah kasar sama lo atau nggak?"
Irin langsung menggeleng dengan cepat. "Nggak lah, mana ada! Dia baik banget malahan. Terlalu baik, lembut, dan penuh kasih sayang. Mana ada dia sampai kasar ke gue?"
"Ehm, iya juga sih, kalau dia sampai ngelakuin hal yang kasar ke lo bilang aja sama gue, Kak." Syila tersenyum manis sambil menunjukkan jari jempol kanannya. "Ntar gue bantu buat ngeratain muka jeleknya itu sampai jadi kaleng remuk."
Irin langsung melotot mendengarnya. "Ya jangan, dong! Gitu-gitu juga dia laki gue sekarang!" larang Irin cepat-cepat.
"Ciyee, kayaknya ada yang udah mulai naksir, nih?" Syila menatap kakak iparnya dengan tatapan menggoda.
Irin langsung memalingkan wajah. "Naksir apa?"
"Ya cinta gitu, masa lo enggak pernah cinta sama dia, sih? Kalian udah nikah em ... satu tahun lebih, kan? Masa lo nggak pernah punya perasaan apa-apa ke abang gue selama ini?" Syila menatap Irin dengan tatapan penasaran sekaligus tidak percaya.
Irin terdiam, dia jelas memilikinya. Bahkan sejak lama, dia sudah memiliki perasaan seperti itu pada Rein. Hanya saja dia tidak mau mengatakannya. Dia tidak bisa mengatakannya, karena dia punya ketakutannya sendiri.
Dulu, dia takut persahabatan mereka akan tergadai jika dia mengatakan isi hatinya. Dia takut persahabatan yang sangat baik itu menjadi hancur lebur begitu saja karena sebuah kata cinta.
Dan sekarang, dia takut memberi tahu Rein, karena dia tidak ingin Rein menjadi terpaksa harus menerima pernyataan cintanya.
Setelah dia memaksa pria itu menerima pernikahan mereka, memaksa mereka terus bertahan walaupun mungkin Rein ingin pergi dan meninggalkan Irin secepatnya. Irin tidak mungkin membuat Rein merasa terpaksa menerima perasaan cinta sepihaknya ini, kan?
Walaupun sesekali Irin pun merasa kalau Rein juga menyimpan rasa yang sama dengannya, tapi dia tidak ingin mempercayainya. Dia tidak mau terlalu berharap, karena dia takut dirinya akan kecewa jika mengetahui hal yang sebenarnya.
"Halo halo, kakak ipar? Back to earth, jangan ngelamun di sini! Ntar kalau lo sampai kesambet gue juga yang bingung harus jelasin apa ke abang gue nanti?"
Irin tersenyum tipis. "Ya, nggak bakalan sampai kesambet juga, kok."
"Jadi, gimana? Lagi mikirin soal perasaan lo ke abang gue, kah?" Syila menyeringai saat melihat semburat merah di pipi kakak iparnya itu. "Jadi, bener, nih? Lo sekarang udah nggak suka sama si Akram lagi?"
Irin langsung menatapnya sebal. "Kenapa lo malah bawa-bawa nama Akram segala?"
"Ya gimana nggak dibawa coba? Kita semua tahu kalau lo udah cinta mati sama Akram dari dulu. Gue kan jadi penasaran, gimana perasaan lo sekarang?" Syila mengedipkan sebelah matanya menggoda.
Irin hanya bisa geleng kepala. "Gue emang suka sama Akram, tapi nggak sampai cinta mati juga kali!"
"Ah masaaa?!"
"Serius! Ya cuma suka biasa aja, kayak ngefans gitu doang, sih!" Irin memutar bola matanya malas. "Rein udah tahu masalah itu, gue udah pernah ngasih tahu dia dulu."
Syila langsung mengerjap. Lho, si Rein udah tahu?
"Terus reaksinya gimana?"
Irin mengangkat bahunya. "Gue lupa, udah lama soalnya."
"Cih!" Punya abang satu, beneran nggak bisa diandalkan nih orang! gerutunya dalam hati.
"Kenapa? Kayaknya lo kecewa?"
"Ya, sebagai adik dan adik ipar yang baik. Gue ngarepnya kalian itu bahagia dan saling mencintai selamanya. Walaupun kalian nikahnya karena perjodohan, tapi harapan gue tetap yang terbaik buat kalian."
Irin tak kuasa tertawa mendengar kata-kata Syila. "Emang kita kelihatan nggak bahagia, ya?"
Syila meringis. "Bukan begitu," tapi begini, lanjutnya dalam hati.
"Terus gimana?" Irin tersenyum. Jujur, dia enggan melanjutkan pembahasan ini lagi. Jadi dia memilih untuk memulai topik lain. "Gimana rasanya hamil, Syil? Enak, nggak?"
"Enaaak bangeeet, gue jadi dimanja terus tiap hari." Syila tersenyum lebar, tampak jelas dia sangat bahagia sekarang. "Terus kadang gimana gitu rasanya, waktu kita tahu kalau bayi kita sehat dan gerak-gerak terus di dalam perut kayak gini."
Syila mengelus perutnya, membuat Irin benar-benar merasa iri padanya sekarang.
"Pokoknya, rasa bahagianya itu nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Lo pas hamil ntar pasti tahu sendiri gimana rasanya." Syila tersenyum lebar.
Senyum yang tanpa sadar membuat Irin mengelus pelan dadanya. Apakah itu benar? Apakah dia akan hamil? Hamil anaknya dengan Rein?
Irin sangat mengharapkannya, tapi dia takut harapannya akan sirna begitu saja.
___
Selain misteri-misteri, sejujurnya cerita ini belum ada konfliknya, ya?
Iya nggak sih? 🤣
Apa aku yang nggak sadar?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top