Crazy - 46
TIDAK mungkin. Irin menggelengkan kepala dan menatap Rein dengan tatapan tidak percaya.
"Nggak mungkinlah! Ngapain coba dia ngawasin gue? Apa untungnya buat dia? Temen akrab bukan, pacar bukan, apalagi bininya. Mana mungkin dia ngawasin gue sampai sekarang? Ngaco banget sih lo, Rein!"
Rein menatap istrinya dengan wajah serius. "Alea yang bilang kayak gitu."
Irin terkejut, dahinya mengernyit dan menatap Rein dengan ekspresi menyelidik. "Emang kapan lo ketemu sama Alea? Perasaan lo nggak pernah deket sama dia, kenal aja enggak, kan? Jadi, lo nggak mungkin tiba-tiba aja bisa ngobrol berdua sama dia, kan?"
Rein mematung sejenak, kemudian menarik napas panjang dan mengembuskan napasnya secara perlahan. "Lo inget kejadian beberapa bulan yang lalu waktu kita di restoran dan nggak sengaja lihat Alea sama orang lain di sebelahnya?"
Irin mengangguk. "Hm, kayaknya gue masih inget."
"Waktu itu ada Freya di sana. Dia nanya sama kita, apa cowok yang lagi sama Alea beneran Akram atau bukan dan lo jawab bukan. Inget, kan?" Rein melanjutkan. Kalau membawa-bawa nama Akram, Irin pasti bisa langsung mengingat semuanya dengan mudah.
Irin menganggukkan kepala. Dia ingat peristiwa itu dengan baik, karena setelahnya Freya menghampiri Alea dan pria yang saat itu sedang bersamanya.
"Freya terus nyamperin mereka, sedangkan kita langsung pulang. Di situ Freya nanya ke Alea di mana Akram dan gimana hubungan mereka selama ini. Alea jawab sejujurnya kalau hubungan mereka udah lama berakhir. Alasannya karena Akram nggak pernah perhatian lagi sama dia, tapi malah terus ngawasin cewek lain saat masih bersamanya."
Irin mengerjapkan matanya. "Lo tahu dari mana soal semua itu? Apa Freya yang ngasih tahu?"
Rein mengangguk.
"Terus lo curiga, kalau cewek yang terus diawasin sama Akram selama ini itu gue?" Irin bertanya lagi dan Rein menganggukkan kepalanya.
Irin mengerjapkan matanya sekali lagi, kemudian menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Nggak mungkin lah! Apa untungnya buat dia coba? Lagian lo bisa-bisanya percaya sama omongan si Freya? Jangan bilang lo ada apa-apa sama dia lagi?!"
"Mana mungkinlah, Rin! Udah gila kali kalau gue ada main belakang sama dia sampai kayak gitunya?!" Rein langsung menjawab dengan cepat.
"Ya kali aja, kan? Siapa yang tahu!" Irin meleletkan lidahnya.
Saat itulah tiba-tiba saja Irin teringat suatu alasan yang mungkin membuat Akram tidak pernah bisa melepaskan pengawasan atas dirinya hingga sekarang. Alasan yang sama dengan rasa trauma yang pernah dialami olehnya.
Namun harusnya itu tidak mungkin, karena Akram tidak pernah melakukan kesalahan apa pun padanya. Trauma yang pernah dia alami juga bukan karena kesalahan yang pernah dibuat Akram padanya.
Selama ini, Akram tidak pernah salah. Namun kenapa dia masih terus merasa bersalah?
"Rin ...."
Akan tetapi semua itu cukup menjelaskan suatu hal padanya, seperti kenapa Akram bisa tahu banyak hal tentangnya walaupun Irin tidak pernah mengatakan apa pun padanya.
Juga, kenapa Akram bisa berada di sana dan menolongnya dari Joan yang berniat membahayakan dirinya.
"Irin!" Rein menyentuh bahu istrinya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Irin yang mendapat sentuhan itu pun tersentak dan refleks menggumamkan jawaban samar, "Hm?"
"Apa yang lagi lo pikirin sekarang?" Rein menatap lurus kedua matanya, berharap bisa menemukan sebuah jawaban walaupun istrinya enggan mengatakan apa pun padanya.
Namun, dia hanya berhasil menemukan sebuah rahasia. Dia tidak bisa menguak apa pun dari rahasia yang disimpan rapat oleh istrinya.
Irin terdiam cukup lama, menimang apakah dia perlu mengatakannya atau tidak. Kemudian dia menghela napasnya panjang.
Sejujurnya dia sangat ingin mengatakannya. Dia ingin menceritakan semuanya pada Rein. Namun, dia takut membuat Rein terluka. Dia takut membuat Rein merasa bersalah padahal semua yang pernah terjadi bukanlah salahnya.
Lagi pula hubungan mereka sekarang baik-baik saja. Semuanya pun sudah lama berlalu, sudah menjadi masa lalu yang harusnya tak dapat lagi mengganggu hubungan mereka ke depannya. Jadi, lebih baik Irin simpan saja semua itu kembali.
Biarlah kenangan buruk itu menjadi ingatannya sendiri agar Rein tidak pernah merasakan perasaan bersalah apa pun padanya setelah ini.
Irin tersenyum tipis. "Nggak ada."
"Jangan bohong." Rein mendesis pelan.
"Gue nggak bohong."
Rein berdecak pelan, kemudian merebahkan tubuhnya kembali ke ranjang dan langsung memejamkan matanya rapat-rapat.
Irin mengikuti jejak suaminya, rebahan sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Rein yang kini sengaja ditutupi menggunakan sebelah tangan. "Lagi marah, Rein?" tanyanya dengan nada menggoda.
"Enggak." Rein mendengkus pelan. Dalam hati dia mengumpat, sudah tahu dia sedang marah dan merajuk, bisa-bisanya Irin masih bertanya seperti itu. "Gue mau tidur."
"Tidur apa tidur?" Irin mencium pipi suaminya, gelagatnya layaknya sedang berusaha keras menggoda suaminya. "Ngambek, ya?"
"Rin!" Rein langsung merengek sambil menjauhkan tangan dari wajahnya. Dia menatap istrinya kesal.
Namun Irin tampak menahan tawanya sekarang, karena entah mengapa Rein terlihat sangat menggemaskan. "Apa?"
Rein tersenyum masam. "Jangan rese kayak gitu, gue lagi badmood. Ntar kalau gue marah, lo juga yang bakal sakit hati nanti!" peringatnya serius.
"Ya kalau gitu, sebelum lo marah mending gue kasih jatah lo dulu, kan?" Irin mengedipkan sebelah matanya.
Rein langsung mengerjap berulang kali. "Apa?"
"Dih, mendadak jadi sok polos banget sih lo, najis!"
"Ya ... jatah," Bak sudah mengerti apa maksud istrinya, Rein langsung bertanya, "emang lo mau ngasih?"
Bukannya menjawab, Irin malah balik bertanya, "Emang gue nolak?"
Rein berdecak pelan. "Kan biasanya lo sering nggak mau—"
"Tapi kan akhirnya tetap gue kasih juga," potongnya cepat-cepat.
Rein meringis pelan. "Iya, sih." Itu pun karena Rein terus merengek dan sedikit memaksa agar Irin mau memberikan jatah hariannya.
"Jadi mau atau nggak?" Irin bertanya sekali lagi.
Rein tersenyum tipis. "Gue malah ditantangin gini, jadi serem! Nggak dulu, deh. Rasa-rasanya ada yang nggak beres. Jangan-jangan abis itu lo mau nyari gara-gara lagi?"
Irin mendengkus keras. "Dih yaudah kalau nggak mau!" Irin bangkit dari kasur, berniat pergi saat Rein langsung memegangi sebelah tangannya.
"Lo mau ke mana?" Rein menatap reaksinya dengan tatapan tidak suka.
"Nonton TV sampai tidur. Gue lagi males banget nemenin suami yang nggak mau ngasih jatah bininya malam ini," sindirnya terang-terangan.
Rein menarik tangan Irin agar istrinya kembali di ranjang yang sama dengannya. "Lagian lo tumben banget minta jatah duluan, kan gue jadi ngerasa heran. Kayak ada yang nggak beres gitu."
"Gue juga heran, tumben-tumbenan lo nggak ngajak mandi bareng, nggak ngajak tidur juga, dan belagak sok polos kayak masih perjaka aja! Jangan-jangan udah dijatah sama orang di luar sana, ya?" Irin menatap suaminya penuh selidik.
Rein tertawa pelan. "Mana ada yang kayak gitu, Rin! Gue cuma abis kerja panas-panasan, keringetan, bau, jadi nggak mau ngajak mandi bareng. Gue takut lo pingsan makanya nggak gue tawarin."
"Masa, sih?"
Rein mengangguk mantap. "Mau bukti?"
"Emang ada buktinya?" Irin mengernyitkan dahi dan menatap suaminya dengan tatapan tidak mengerti.
Rein mengangguk. Dia meraih ponselnya, kemudian membuka sebuah grup berisi dia dan rekan-rekan kerjanya. Mereka yang kurang kerjaan sampai mengabadikan momen saat Rein sedang bekerja dan mengolok-oloknya di sana.
Irin melihat bukti itu dengan mulut menganga. Bisa-bisanya Rein dijadikan bahan olok-olok teman kantornya sendiri? Seperti tidak punya harga diri saja suaminya ini. Padahal begitu-begitu, Rein itu termasuk calon pewaris perusahaan yang mereka tempati.
"Rein, lo mau resign aja, nggak?" tawar Irin tiba-tiba.
Rein mengernyitkan dahi. "Ngapain harus resign?"
"Iya pindah kerjaan gitu, ngurus perusahaan keluarga gue aja atau gimana. Sumpah, temen-temen kerja lo semuanya laknat gitu. Gue nggak ikhlas liatnya."
Benar, dia tidak ikhlas. Dia kesal sekali. Padahal Rein selalu baik hati selama ini, tapi bisa-bisanya dia dijadikan bahan olok-olok teman-temannya sendiri.
"Biarin aja mereka." Rein tersenyum tipis. "Mereka cuma bercanda, nggak pernah serius juga."
"Tapi—" Irin masih tidak rela, tapi Rein buru-buru menambahkan kata-kata.
"Serius, mereka cuma bercanda aja." Rein membelai puncak kepala istrinya, menenangkan sembari menatapnya dengan isyarat kalau semuanya baik-baik aja. "Mana berani mereka sampai olok-olok gue secara langsung, Rin? Emang mau dipecat apa?"
"Rein!"
"Sayang ...."
Irin merasa dadanya berdesir saat mendengar panggilan Rein padanya yang secara tiba-tiba itu.
"Udah, ya? Semuanya baik-baik aja. Lo nggak perlu mikirin mereka. Mending sekarang kita bikin anak lagi biar bisa nyusul Jake sama Syila."
"Idih!" Irin memukul pelan perut Rein yang kini sedang tertawa di tempatnya.
"Haha, gue tahu kok lo cemburu sama mereka, tapi mau gimana lagi, kan? Emang belum rezeki kita dikasih momongan." Rein mencium bibir Irin dengan lembut. "Jadi, mending kita rajin-rajin bikin anak aja biar cepet jadi momongannya."
"Bilang aja kalau lo pengen bikin anak terus tiap harinya," cibir Irin yang disambut tawa Rein yang begitu renyah dan bebas hingga sanggup menular kepadanya.
Irin memang masih menyimpan sebuah rahasia. Rein tahu itu, tapi dia tidak akan memaksanya. Karena sekeras apa pun dia memaksa, jika Irin tidak mau mengatakannya maka dia tidak akan mengetahui apa pun dari mulut istrinya.
Walau dalam hati dia merasa penasaran, tapi Rein percaya jika rahasia itu tidak ada hubungannya dengan pria lain.
Ya, dia yakin itu atau dia benar-benar akan mengamuk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top