Crazy - 41

JIKA bisa memilih, Rein tidak akan pulang untuk malam ini. Dia tidak ingin pulang, karena dia sudah tahu apa yang sedang menunggu kepulangannya, yakni Irin dengan segala curhatannya tentang seorang Akram Hardiansyah Putra.

Bukan berarti dia tidak penasaran dengan pertemuan mereka sebelumnya, tapi sedikit demi sedikit sepertinya Rein bisa menerka, bagaimana cerita yang telah terjadi di antara mereka.

Irin kembali bertemu dengan Joan. Entah sengaja atau hanya kebetulan belaka, Rein tidak mengetahuinya. Pertemuan itu jelas bukan jenis pertemuan biasa, karena sama seperti sebelumnya, Irin lebih suka menghindar jika memang dia bisa melakukannya.

Joan memang masih terlihat menyukai Irin dan ingin mengejar layaknya dia tidak akan pernah melepaskan istrinya sampai kapan pun. Hampir mirip seperti obsesi, mungkin itu pula yang membuat Irin lebih memilih mengakhiri hubungan mereka sebelumnya.

Rein sih merasa bersyukur, karena dengan berakhirnya hubungan mereka, Irin bisa masuk ke pelukannya.

Namun, bagaimana cara Akram muncul dan menyelamatkan Irin, itulah hal yang membuat Rein merasa penasaran.

Jika hanya menyelamatkan biasa, kemungkinan Akram muncul dan menyeret Irin menjauhi perkara. Ya, itu memang bukan pertama kalinya.

Sejak mereka masih SMA, rumor seorang anak laki-laki berwajah manis dari SMA Nusantara yang menyelamatkan anak-anak perempuan dari bahaya memang sudah merebak sejak lama. Bukan hanya Irin saja, ada banyak korban lainnya, bahkan salah satu di antaranya adalah Alea.

Namun kenapa ... apa alasannya ... apa yang mau diperbuat Joan pada istrinya sampai membuat seorang Akram yang biasanya selalu bersembunyi kali ini memilih untuk turun tangan sendiri?

Pada akhirnya, Rein pulang juga. Dia tidak mungkin lari, tidak mungkin pula pergi, apalagi pulang ke rumah orang tuanya sendiri, karena sekarang Rein sudah punya istri. Rumahnya adalah tempat di mana Irin berada, bukan cuma di apartemennya atau rumah orang tuanya lagi. Rumahnya adalah Irin.

Namun, tidak ada apa pun yang menunggu kepulangannya. Sejenak, Rein mengerjapkan mata. Kemudian tatapannya berpindah ke arah jam dinding yang jarumnya menunjuk angka sebelas.

Di saat itulah dia merasa sangat bodoh seharian ini. Tentu saja. Sekarang Irin pasti sudah tidur. Dia tidak mungkin begadang hanya untuk menunggu Rein pulang. Lalu, untuk apa rasa takut dan bimbang saat perjalanan pulang tadi?

Rein mengembuskan napas panjang lalu berjalan menuju kamar. Dia butuh mandi, tubuhnya lengket sekali.

Saat Rein membuka pintu, dia menemukan istrinya sedang tidur dengan nyaman di atas ranjang mereka. Rein mengulum senyum tipis melihat Irin yang tampak kelelahan sedang tidur dengan pulas.

Andai saja Rein tidak melihat lelah yang begitu kentara, mungkin dia akan membangunkan Irin untuk menemaninya mandi malam ini—

Tunggu, sepertinya dia melupakan sesuatu.

Irin kelelahan? Memangnya apa yang sudah Irin lakukan? Bukannya dia sudah pulang sebelum matahari tenggelam?

Rein mencoba mengabaikannya sejenak. Dia berjalan menuju lemari dan menemukan keadaan pakaiannya yang sudah tertata rapi.

Pria itu mengerjap. Jangan bilang ... Irin sejak tadi membersihkan apartemennya? Kemudian saat dia melihat dinding di kamarnya, barulah dia sadar ada cukup banyak hiasan juga foto yang terpajang di sana.

Bukan hanya itu saja, beberapa pot serta bunga segar terlihat ditata dengan rapi menghias apartemen Rein yang biasanya kosong melompong seperti tak berpenghuni.

"Irin ...." Padahal gue kira lo masih kepikiran soal Akram seharian ini, tapi ternyata ....

Rein tersenyum manis. Dia langsung berjalan mendekati istrinya dan mengambil tempat duduk di samping tubuhnya. Tangannya terulur, membelai wajah cantik istrinya yang terlelap begitu nyaman.

"Maafin gue karena udah mikir macam-macam soal lo dari siang, Rin." Rein meninggalkan satu kecupan di kening istrinya, tepat saat mata terpejam itu mulai terbuka secara perlahan.

"Rein?" panggil Irin masih setengah sadar.

"Iya?"

"Lo baru pulang?" Irin mencoba bangun dan Rein membiarkan istrinya bangkit secara perlahan. "Sekarang udah jam berapa?"

"Jam sebelas malam. Yakin mau bangun, lo nggak lanjut tidur aja?" Rein menahan bahu Irin yang berniat beranjak meninggalkan ranjang kamar mereka.

Irin menggeleng pelan. "Makan malamnya—"

"Gue udah makan tadi di kantor. Tidur aja, lo pasti cape, kan?" Rein tersenyum tipis saat melihat Irin mengembuskan napas panjang dan kembali merebahkan tubuhnya dengan cepat.

"Iya juga, ya? Lo pasti udah makan di kantor, ya?" gumam perempuan itu dengan pelan yang masih sanggup Rein dengar dengan baik.

"Kecewa?" tanya Rein memastikan.

"Sedikit," Irin tersenyum tipis, "tapi kalau nggak makan lo pasti bakalan sakit."

Rein membelai kepala istrinya. "Udah tidur lagi sana! Gue mandi dulu, nanti gue susul."

Irin yang patuh langsung kembali memejamkan mata. Sedangkan Rein beranjak menuju lemari, mengambil pakaian, dan pergi ke kamar mandi. Dia akan tidur setelah selesai membersihkan diri.

***

Irin terbangun karena suara alarm yang dia pasang agar bisa bangun tepat waktu setiap harinya. Saat membuka mata, dia bisa melihat Rein yang masih tertidur lelap di samping tubuhnya. Dengan kedua lengan kokoh yang melingkari perutnya, pria itu tampak lelap dalam mimpi indahnya.

Irin masih bisa mengingat sedikit percakapan terakhir mereka. Rein yang pulang hampir tengah malam dalam keadaan kelelahan, tapi ekspresi wajahnya semalam entah kenapa terlihat lega. Rein menyuruh menyuruh Irin kembali memejamkan mata alih-alih meminta Irin untuk menghangatkan makan malam yang sudah dingin untuknya.

Ternyata, Rein sudah makan malam saat dia masih bekerja. Irin memang sedikit kecewa saat mendengarnya, tapi dia mengerti apa yang dilakukan Rein adalah demi kebaikan pria itu sendiri. Rein tidak mungkin menahan lapar yang bisa saja membuatnya jatuh sakit. Jadi, Irin pun tidak mengambil hati.

Irin berniat melepaskan tangan Rein dengan hati-hati agar tidak mengganggu tidur lelap suaminya, tapi tiba-tiba saja Rein mengeratkan pelukannya.

"Jangan pergi," gumaman pelan itu disusul sepasang mata hitam yang terbuka secara perlahan dan langsung menatap ke arahnya.

Tatapan mata dipenuhi luka yang serasa menusuk siapa pun yang sedang melihatnya. "Jangan pergi," ulangnya sekali lagi.

Irin mengurungkan niatnya sejenak. Dia tersenyum tipis dan kembali merebahkan tubuhnya seperti posisi semula. "Gue cuma mau bikin sarapan aja, Rein." Irin mengatakan niatnya.

Namun bukannya melonggar, pelukan itu terasa semakin mengerat. "Nggak perlu. Lo tetap di sini aja, nemenin gue tidur."

Irin mengerjap, sepertinya dia tahu apa yang Rein inginkan darinya sekarang. "Kalau lo mau tidur yang itu, gue lagi nggak bisa, Rein. Gue lagi datang bulan—"

"Gue tahu, tapi lo tetap nggak boleh pergi." Rein mendekatkan wajahnya hingga bisa menghidu aroma Irin.  "Gue ngerasa lo bakal pergi jauh dari gue, Rin."

"Aneh banget, padahal gue cuma mau ke dapur bikin sarapan doang astaga!" Irin berdecak pelan. "Jangan kekanakan, dih!"

Rein menatapnya pedih. "Lo nggak tahu gimana rasanya—"

Irin terdiam beberapa saat. "Gue tahu." Irin tersenyum tipis. "Gue tahu gimana rasanya. Jadi ... gue nggak akan pernah ninggalin lo, Rein."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top