Crazy - 40
PIKIRANNYA yang tidak keruan membuat pekerjaannya berantakan. Rein pun terpaksa harus mengambil lembur untuk menyelesaikan pekerjaan yang masih belum terselesaikan sebelumnya.
Rein mengirim pesan untuk memberi tahu istrinya jika dia akan pulang terlambat, tapi tak ada balasan apa pun yang dia dapat dari Irin. Sesuatu yang berhasil membuat Rein merasa sedikit kecewa.
Sekarang Irin pasti masih memikirkan soal Akram. Karena bagaimanapun juga, Irin sangat menyukai lelaki itu sejak mereka SMA. Setelah lama tidak pernah bertemu lagi dengannya, tentu saja Irin akan merasa sangat bahagia setelah bertemu kembali dengan cinta pertamanya, kan?
Apalagi sekarang Irin tahu kalau ternyata Akram masih berada di sekitarnya. Dia masih ada di tempatnya semula. Irin pasti masih bisa menemuinya lagi setelah semuanya.
Pemikiran itu membuat suasana hati Rein menjadi semakin gelap. Raut wajahnya yang sudah masam sejak siang, karena merasa kesal, marah, cemburu, dan masih ditambah pekerjaannya yang tidak kunjung selesai, kini ekspresinya tampak lebih mengerikan lagi daripada sebelumnya.
Rein bahkan tidak menyadari, kalau sejak tadi Freya masih berada di sana dan terus menerus memperhatikan gerak-geriknya. Wanita itu tersenyum lebar. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan yang berbanding terbalik dengan apa yang Rein rasakan.
Freya memang sengaja menunggu sampai semua orang yang ada di divisi mereka pulang, karena dia tahu Rein akan pulang terlambat. Freya bangkit dari kursi kerjanya dan mendekati Rein yang pura-pura sibuk dengan layar komputer di depannya.
"Rein," panggil Freya seraya mendaratkan pantatnya ke tempat duduk di sebelah Rein setelah menyeret kursi itu ke sisinya.
Rein akhirnya menyadari keberadaan Freya, dia menoleh dengan wajah menyeramkan miliknya. "Apa? Kalau bisa jangan gangguin gue sekarang, karena gue masih punya banyak kerjaan."
Freya tersenyum miring. "Lo yakin bisa kerja dengan keadaan lo yang kayak gitu?"
Tangan kanannya terulur, menyentuh lengan atas Rein dengan halus. Sedang tubuhnya semakin mendekat hingga bagian depan tubuhnya kini menempel di lengan Rein.
"Lo mau ngapain?" Rein jelas saja terusik oleh perbuatan Freya yang secara terang-terangan ingin menggoda hasratnya. Namun, dia berusaha untuk tetap memasang ekspresi tenang. Seperti setiap kali Freya menggoda dan mencari kesempatan darinya.
Freya tersenyum menggoda sambil menyentuh buah dadanya yang besar hingga rasanya seperti ingin melompat keluar. Rein berusaha keras untuk tidak melihatnya.
"Tergantung lo mau gue ngapain? Kantor udah sepi. Kita bisa main sebentar di sini. Kalau lo mau pergi ke hotel atau ke bar terdekat juga bisa, gue bakal nemenin lo malam ini, Rein."
Rein mendengkus pelan saat mendengar kode terang-terangan yang membuat Freya tampak sangat murahan di matanya.
Sejak dulu, dia selalu seperti itu. Jika hanya ada mereka berdua, Freya akan menjadi seperti ini.
Teman-teman mereka tidak ada yang tahu. Rein juga tidak ingin mengatakannya pada siapa pun, karena dia cukup kasihan kalau Freya sampai merasa malu. Namun entah kenapa ... setelah dia menolaknya berulang kali pun, kenapa wanita itu masih saja tidak tahu malu?
Rein menatapnya dingin. Secantik apa pun Freya, seseksi apa pun seorang wanita, Rein tidak bisa merasa tertarik pada mereka. Baginya, Irin saja sudah cukup untuk selamanya. Dia tidak butuh orang kedua ataupun ketiga dan seterusnya. Dia hanya butuh istrinya.
Apakah Rein memang pria yang setia?
Entahlah, tapi dia tidak pernah berpikiran untuk mendua barang sekali pun setelah dia menikahi Irin. Bukan karena ancaman yang istrinya buat untuknya, tapi memang begitulah keinginan hatinya.
"Gue sama sekali nggak tertarik sama tawaran lo, Frey. Jadi lebih baik lo pulang dan jangan gangguin gue lagi sekarang. Apa lo masih nggak ngerti maksud gue ngomong ke lo tempo hari, kalau gue udah punya istri? Lo juga kenal siapa istri gue, kan?" katanya tajam.
"Gue kenal, tahu banget malahan. Bini lo, temen masa kecil lo yang bahkan nggak sadar kalau lo suka sama dia dan malah cinta mati sama cowok lain yang nggak ada apa-apanya. Gue deketin lo, karena gue tahu sekarang lo lagi mikirin masalah itu, kan?" Freya menyeringai. Raut terkejut Rein sudah cukup membuktikan jika perkiraannya tadi memanglah benar.
"Asal lo tahu, cewek yang gue lihat tempo hari beneran Alea, tapi cowoknya bukan Akram. Dia sama cowok lain dan kata dia itu memang calon suaminya. Waktu gue tanyain di mana Akram sekarang, lo tahu Alea bilang apa?" Freya mulai memprovokasinya.
Rein menatapnya tajam. "Dia bilang apa?"
"Dia nggak tahu, tapi Alea bilang kalau Akram selalu ngawasin Irina dari dulu. Cewek mana yang bakal tahan kalau cowoknya nggak pernah ngasih kepastian, tapi malah ngawasin cewek lain setiap harinya?" Freya menatap Rein dengan tatapan mencemooh.
"Bukannya tinggal nunggu waktu aja? Kalau Akram sampai berani muncul di depan Irina, lo pasti bakal didepak juga jadi suaminya, kan?"
Setelah itu, Freya bangkit dari kursinya. Dia berdiri, menenteng tasnya dan bersiap pergi. Namun, sebelum dia benar-benar pergi wanita itu kembali bicara.
"Ah, kalau lo butuh pelampiasan, gue siap kapan aja nerima lo di kamar gue, Rein!"
Rein hanya mendengkus pelan, tangannya mengepal, wajahnya memerah, dengan ekspresi wajah yang tampak semakin menyeramkan.
Informasi ini semakin memperburuk keadaannya yang sudah terpuruk. Sial! Rein bisa lepas kendali kapan saja. Bahkan mungkin dia bisa menjadi orang gila, jika semua yang Freya ucapkan memang benar adanya!
***
Sedangkan Irin memutuskan untuk menghias apartemen Rein agar menjadi lebih terlihat hidup dari sebelumnya.
Setelah foto pernikahannya diantar tadi sore, dia memutuskan untuk membeli hiasan lain seperti tanaman dan beberapa lukisan agar apartemen Rein itu tidak terlihat hampa.
Irin bahkan menyiapkan satu petak kosong agar bisa ditempati hadiah dari Akram di pesta pernikahannya yang masih bersembunyi entah di mana.
Irin jadi ingin merutuki suaminya. Omong-omong, kenapa suaminya masih belum pulang juga? Padahal sekarang sudah hampir jam sepuluh malam? Jangan bilang dia selingkuh dan keluar dengan wanita lain di luar sana lagi?
Irin beranjak menuju kamar, tepat di atas nakas dia menemukan ponselnya tergeletak tidak berdaya. Irin berusaha menyalakan ponselnya, tapi ternyata baterainya habis. Jadi, dia mengisi dayanya dulu sambil menyalakan ponsel dan melihat pesan yang masuk.
Rein mengirimkan kabar beberapa jam yang lalu. Pria itu bilang kalau malam ini dia bakal lembur. Irin langsung memasang wajah masam saat membaca pesan dari suaminya itu.
Padahal, dia berharap Rein bisa pulang cepat sore ini agar dia bisa menceritakan semua yang telah terjadi padanya tanpa terkecuali. Walaupun mungkin dia merasa sedikit tidak enak hati, tapi Rein pasti bisa mengerti.
Seperti dulu ... saat Irin masih sering membagi cerita padanya soal Akram.
Sebelum peristiwa itu terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top