Crazy - 38

REIN nyaris melupakan hal penting mengenai identitas yang selama ini sengaja tak disebutkan olehnya. Dia sudah bersiap dengan segala teriakan yang mungkin akan merusak gendang telinganya. Untung saja saat dia membuka pintu ruang divisi, dia bisa melihat atasannya sedang mengawasi mereka semua.

Rein hanya tersenyum sopan, kemudian berlalu menuju meja kerjanya sendiri. Tentu saja atasannya sudah tahu siapa dia, karena saat pesta pernikahannya tempo hari, orang itu berada di sana, menjabat tangannya, dan mengucapkan selamat padanya.

Jo dan Ferdi langsung mendesis saat melihat kedatangannya. "Awas aja lo ntar!"

"Kenapa? Pada mau minta traktiran, ya?" Rein menahan tawanya dengan susah payah saat menggoda teman-teman kerjanya itu.

"Harus, lah!"

"Sori, hari gajian masih lama! Kartu kredit gue dibawa sama istri tercinta!" Rein hanya tertawa tanpa suara dan membuat Jo maupun Ferdi langsung menimpuk kepalanya menggunakan kertas yang sudah diremas sampai berbentuk bola.

"Sumpah, sombong banget yang udah punya istri!"

"Gue jadi pengin nikah juga, kan!"

"Nikah aja kalau emang udah siap lahir batin." Rein hanya menyeringai sambil mengatakannya. Dia duduk dengan tenang seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya, padahal kini atasan mereka sedang mengawasi gerakan mereka bertiga.

"Batinnya udah siap, lahirnya belum siap. Duit buat kasih makan anak istri belum kekumpul, sialan! Enaknya yang punya bapak konglomerat!"

Rein hanya tersenyum masam. Bagaimana kalau mereka tahu istrinya berasal dari keluarga konglomerat bukan kaleng-kaleng?

Mereka pasti langsung mengumpatinya habis-habisan.

***

Rein memutuskan untuk kembali mengirim pesan pada Irin. Dia bertanya, apakah istrinya sudah selesai memilih pakaian untuk mereka atau belum. Sembari menunggu jawaban dari seberang, dia membiarkan teman-teman satu divisinya menguras isi dompetnya.

"Gue pikir lo bakal nikah sama Freya. Bukannya selama ini lo pacaran sama dia, ya?" Pertanyaan Jo sukses membuat Rein tersedak dan langsung menatapnya kesal.

"Perasaan gue udah bilang berulang kali, kalau gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia, deh."

Rein kembali menegaskan masalah itu sekali lagi pada mereka. Untungnya Freya memilih makan siang di luar, mungkin karena dia malu atau apa pun itu, Rein tidak mau memedulikan bagaimana perasaan wanita itu.

"Salah lo sendiri yang sering berangkat bareng atau pulang bareng sama dia, kita semua jadi mikir lo berdua ada apa-apa selama ini, kan?" Ferdi menambahkan.

Kalau dipikir-pikir lagi memang dia juga yang salah karena mau-mau saja menerima permintaan Freya untuk mengantar perempuan itu berangkat atau pulang, walau sebenarnya tidak sesering itu dia menerima permintaannya. Mungkin hanya satu atau dua kali dalam seminggu. Kalau setiap hari, Rein juga tidak mau.

"Tunggu, jangan bilang lo pada naksir sama dia selama ini?" Rein mengernyitkan dahi. Dia menatap dua teman terdekatnya di kantor itu dengan tatapan curiga.

Ferdi dan Jo langsung tersedak makanannya masing-masin dan sibuk mencari air minum dengan bantuan rekan kerja mereka yang lain.

Rein langsung mendelik ke arah mereka berdua. "Serius?! Kok gue nggak tahu?!"

"Udah kelihatan gelagatnya dari lama kali, Rein. Lo aja yang kurang peka, padahal kodenya jelas banget kayak lagi ngode di bawah lampu menyala!" tambah Ardi, salah seorang senior mereka yang belum menikah juga, padahal umurnya sudah tua.

Rein hanya tertawa mendengar sahutan Ardi, teman satu divisi yang sangat jarang mengajaknya bicara selama ini. "Lagian kenapa nggak ada yang mau bilang langsung—"

Jo langsung berteriak, "Mana gue berani!"

Untungnya kafetaria kantor hanya berisikan pria-pria yang rerata berasal dari divisinya dan divisi sebelah. Sisanya jangan ditanya, kebanyakan dari mereka lebih suka makan siang di luar. Antara gengsi atau mau mencari calon istri, apa pun itu Rein tidak peduli.

"Dia kalau ditanya selalu bilang lagi pacaran sama lo. Walaupun lo bilang nggak ada apa-apa, tapi kalau kalian suka berangkat-pulang bareng gitu, gue pasti bakal curiga juga lama-lama." Ferdi mendengkus pelan.

Rein hanya meringis pelan. "Sori, tapi sumpah gue sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Cuma teman waktu sekolah aja, nggak lebih."

"Bukan mantan pacar lo juga, ya?" Jo mendekat, hingga lengan atasnya menempel ke tangan Rein.

"Gue nggak punya mantan pacar." Rein menjawabnya dengan santai.

Jawaban yang sukses membuat mereka kompak meneriakinya, "BOHONG BESAARRR!"

"Terus yang bulan lalu jalan sama lo itu siapa, heh?! Setan?!" Jo memakinya dengan semangat.

"Yang waktu itu lo bawa ke hotel juga siapa kalau nggak pacar lo, hah?!" Ferdi ikut-ikutan menimpali.

Ardi hanya bisa geleng-geleng kepala. Sedangkan yang lainnya hanya diam saja, antara tidak mau komentar atau tidak berani komentar, karena mungkin saja mereka sudah tahu apa jawabannya.

"Dibilangin, pada nggak percaya." Rein mengangkat bahunya santai. "Kalau temen jalan banyak, kalau mantan pacar, nggak punya."

"Anjing, gue nggak nyangka lo dulu seberengsek itu!" Jo mengumpat.

"Harusnya gue berguru dulu sama lo, sebelum lo nikah, kan?" Ferdi ikut-ikutan.

Rein hanya menyeringai mendengar ucapan teman-temannya. Kalaupun mereka mau meniru pergaulan liarnya, tidak mungkin bisa semudah itu juga. Kalau mereka tidak punya uang, minimal masih punya tampang. Karena rerata wanita suka mencari hal-hal seperti itu dari pria yang bakal dia ajak jalan.

"Biasanya yang udah nikah masih ada yang berani nakal juga, kan?" Ardi tiba-tiba saja berkomentar.

"Rein!" Jo dan Ferdi kompak menatap Rein dengan tatapan penuh harap.

Berharap Rein menjadi suami nakal yang bermain api di belakang istrinya? Oh, selamanya itu tidak mungkin terjadi! Rein sangat menyayangi dan mencintai istrinya. Dia cinta mati pada Irina. Tidak mungkin dia main api apalagi sampai mendua, gila aja!

Apalagi Irin begitu-begitu galaknya melebihi mamanya. Bisa langsung diceraikan dia, kalau sampai berani macam-macam di belakangnya.

Rein langsung menggeleng cepat. "Nggak, gue bukan tipe cowok kayak gitu. Kalau belum nikah, okelah kalau mau main-main, tapi kalau udah mutusin buat serius gue nggak mau macam-macam lagi."

Keduanya langsung berdecak kesal.

"Lo sampai kayak gini, berarti bini lo emang cantik banget, ya?"

"Dia pasti baik banget, seksi pula, lebih-lebih dari si Freya, iya?"

Rein memutar bola matanya saat teman-temannya mulai membandingkan Irin dengan Freya. Jelas mereka berbeda dan sampai kapan pun tidak akan ada yang sama.

"Cantik sih iya, seksi biasa aja, kalau baik ...." Rein terdiam cukup lama dan membuat teman-temannya langsung memelototi tingkahnya.

"Buset!"

Bahkan Ardi yang sejak awal tidak begitu ingin komentar pun turut menatapnya tajam. "Nggak nyangka gue, sumpah!"

"Ternyata dia masokis, woi!"

Rein hanya tertawa menanggapi seruan kaget teman-temannya. "Bini gue termasuk galak, ati-ati kalau dia sampai dengerin omongan lo semua."

"Dia bakal ngapain?" Jo menatap Rein khawatir.

"Jangan bilang dia bakal langsung mutilasi gue lagi?" Ferdi ikut-ikutan menambahi.

Rein memasang muka horor saat mengatakan, "Nggak sampai mutilasi, paling-paling lo semua pulang cuma sisa tulangnya doang!"

Mengingat Irin memiliki mulut yang sangat tajam. Dia yakin teman-temannya bakal merasakan betapa sadis mulut istrinya yang tidak ada duanya itu. Pulang dalam keadaan kering kerontang dan tidak bisa bicara secara terus terang.

"Serem banget, sialan!"

"Lo ada fotonya nggak?" Ardi tiba-tiba saja bertanya, karena dia cukup penasaran dengan wanita yang berhasil meluluhkan hati Rein yang terkenal dingin di perusahaan mereka.

Walaupun dia sering jalan bareng sama wanita di luaran sana, tapi untuk wanita dari kantor mereka, kebanyakan Rein pasti menolaknya dengan dingin dan tegas.

"Adalah, masa foto istri sendiri gue nggak punya?" Rein mengatakannya dengan bangga. Senyum yang mengembang dengan sempurna menandakan betapa bahagianya dia sekarang.

Rein mengambil ponsel yang dia simpan rapi di saku kemeja. Nama Irin dan sebuah notifikasi balasan dari istrinya membuat Rein membuka pesan itu terlebih dulu sebelum mencari foto Irin untuk dia tunjukkan pada teman-temannya.

Namun, dari satu pesan itu saja sudah cukup untuk membuat Rein kehilangan senyumnya.

Kenapa?

Kenapa ... dia harus membalas pesannya dengan seperti itu?

Rein tidak ingin membacanya. Dia bahkan tidak ingin melihatnya. Cukup satu nama itu saja sudah sanggup membuatnya merasa khawatir luar biasa.

Irin : Gue tadi ketemu sama Akram.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top