Crazy - 37

SEBUAH tangan mencengkeram pergelangan tangan Joan yang sedang memegangi tangan Irin secara tiba-tiba. Irin mendongak, dia tidak menyangka akan melihat wajah suaminya berada di sana. Irin hanya bisa mengerjapkan kedua matanya.

Tidak. Sepertinya ada yang salah. Rein sedang bekerja. Tidak mungkin dia bisa muncul di sini secara tiba-tiba. Apalagi menggunakan hoodie berwarna merah bata.

Jelas dia bukan suaminya. Lalu, siapa dia? Kenapa dia berwajah sama seperti suaminya?

"Bisa lo lepasin dia?" Suaranya terdengar terlalu berat dan mengancam. Walaupun cara dia bicara cukup mirip dengan Rein, tapi mereka jelas dua orang yang berbeda.

Joan mendengkus keras saat melihat Rein lah yang telah mengganggu kesenangannya. "Laki lo yang sok itu ternyata bisa muncul di mana-mana, ya?" sindirnya secara terang-terangan.

"Masalah buat lo?" Rein palsu itu menatap tangan Joan yang tak kunjung melepaskan tangan Irin. Dia pun mencengkeram tangan Joan lebih kuat lagi daripada sebelumnya. "Lo masih bisa bahasa manusia, kan? Kalau lo udah nggak bisa, biar gue kasih paham pakai bahasa binatang."

Joan melepaskan tangan Irin dengan cepat dan menarik dirinya menjauh dari jangkauan tangan Rein. Sedangkan Rein palsu itu melirik tangan Irin yang berwarna merah sampai nyaris berwarna biru. Joan benar-benar serius ingin menyakiti perempuan itu.

Rein palsu itu langsung menatap Joan tajam. Tatapan mata yang terasa begitu mengintimidasi, mencekam, dan teramat mengerikan. Kemudian kakinya mulai melangkah mendekati Joan yang tanpa sadar sudah mengambil langkah mundur untuk menjauh darinya.

"Kenapa mundur? Setelah lo berani mengintimidasi cewek sampai kayak gitu, lo masih bisa takut sama orang lain?"

Irin bahkan merasa bulu kuduknya meremang saat mendengar suara rendah yang sarat akan ancaman. Padahal dia hanya melihat dari jauh saja. Bahkan rasa-rasanya, bukan hanya dia dan Joan saja yang bisa merasakannya, melainkan seluruh pengunjung restoran yang kini turut melihat aksi mereka.

Lalu dalam satu gerak cepat, tiba-tiba saja Rein palsu itu sudah berada tepat di depan tubuh Joan. Tubuh mereka nyaris bersentuhan. Rein palsu mengeluarkan sesuatu dari balik jaket hoodie merah batanya yang terbuka sebagian.

Kepalanya merendah agar tinggi mereka bisa sejajar. Sembari menodongkan sebuah senjata, dia membisikkan sesuatu ke telinga Joan yang tak sanggup bergerak karena intimidasi luar biasa dari Rein palsu di seberang sana.

"Berani lo ngintimidasi dan ganggu dia lagi setelah ini, gue pastiin lo pulang cuma sisa tulangnya doang. Lo ngerti?!" Rein palsu itu mengembalikan senjatanya kembali di balik hoodie miliknya, kemudian mendorong Joan cukup pelan.

Dia berbalik, berjalan mendekati Irin dan berkata dengan penuh penekanan. "Ayo pergi!"

Walaupun dia merasa sangat ketakutan dan tidak bisa berkutik sebelumnya. Namun, entah mengapa Irin merasa ... pria itu bisa dipercaya. Siapa pun yang ada di balik wajah Rein palsu itu pasti akan melindunginya.

Irin yakin itu, karena satu detik berikutnya dia sudah menerima uluran tangannya dan membiarkan pria itu membawanya pergi dari sana menuju parkiran.

Sebuah motor besar berwarna merah tampak tidak asing dalam ingatannya. Warna merah ... saat itulah Irin menyadari siapa yang kini sedang menariknya pergi dan menyelamatkannya sekali lagi.

"Akram?"

Pria itu berhenti melangkah, kemudian dia mengembuskan napas kasar, sebelum kembali menariknya menuju motor merah kebanggaannya. "Hm."

"Lo ... operasi plastik jadi Rein?!" tanya Irin. Wajahnya tampak luar biasa polos dan tidak punya rasa bersalah sedikit pun.

Akram yang mendengar pertanyaan itu sukses menghentikan langkah dan berbalik menatap Irin lalu berteriak keras, "HAH?!"

"Gue cuma nanya, kenapa lo operasi plastik jadi Rein? Kenapa harus Rein coba? Kenapa nggak operasi plastik biar mirip aktor Korea aja? Padahal muka asli lo udah ganteng, tapi masih mau operasi plastik juga?! Bener-bener nggak bersyukur lo jadi manusia!"

Akram langsung melotot mendengar soal penuh nada kepolosan luar biasa itu keluar dari mulut seseorang yang selalu mengomelinya sejak SMA. Namun, entah kenapa mendengar soal beruntun itu sedikit membuat hatinya merasa lega. Setidaknya, apa yang baru saja Irin alami tidak sampai menghantui seperti sebelumnya.

"Syukurlah, lo baik-baik aja." Akram tersenyum tipis, kemudian menarik lepas topeng wajah yang dikenakan olehnya. "Gue nggak pernah operasi plastik," jawabnya kemudian.

Saat itulah Irin merasa dunia pria itu tidak pernah berubah selama ini. Dia masih sama seperti dulu. Walaupun suaranya kini terdengar lebih berat dan lebih berbahaya, tapi wajahnya ... sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Akram yang dikenalnya sewaktu SMA.

"Lo ternyata nggak banyak berubah, ya?" Irin langsung mengatakannya sambil tersenyum saat melihat bagaimana rupa cinta monyetnya saat SMA.

Sedangkan pertanyaan itu berhasil membuat Akram terdiam cukup lama, sebelum dia berbalik dan berjalan menuju tempat motornya berada. Irin langsung mengejar langkah kakinya.

"Seiring waktu semua orang pasti berubah, kalau lo nggak bisa menemukan perubahannya, itu berarti ada yang salah," katanya seperti biasa, penuh petuah rahasia.

"Salah gimana?" Irin menatapnya tidak mengerti.

"Gue nggak mau jelasin apa-apa." Akram langsung naik ke motornya dan mengenakan helm miliknya. "Cepet naik, gue anterin balik!"

"Lo ...." Irin memutuskan untuk berhenti. Dia naik motor Akram yang langsung membawanya pergi.

Perempuan itu ingin bertanya banyak hal padanya. Seperti, ke mana saja pria itu pergi selama ini? Kenapa dia bisa menghilang secara tiba-tiba setelah lulus SMA?

Lalu kenapa ... dia bisa muncul di sana dan menyelamatkan dirinya? Sedang apa dia di sana? Apakah selama ini dia berada di Indonesia? Padahal kabar terakhir yang dia dengar, pria itu telah mendapat green card dan menetap di Amerika?

"Jangan banyak mikirin gue lagi, inget sekarang lo udah punya suami." Petuahnya itu langsung membuat Irin merasa dongkol bukan main.

"Harusnya lo aja yang jadi suami gue, biar gue bisa mikirin lo selamanya." Irin mengatakannya dengan keras agar Akram bisa mendengar suaranya yang tertelan suara bising kendaraan di sekitar mereka.

"Lo nggak akan bisa ngikat gue dengan sesuatu seperti itu, Irina. Bahkan Alea yang udah berjuang sekeras itu nggak bisa melakukannya."

"Iya juga, sih! Eh!" Irin kaget saat menyadari pernyataan terakhir pria itu yang tanpa sadar mengakui jika hubungan asmaranya telah kandas. "Lo beneran udah putus sama Alea?!"

"Mungkin sebentar lagi lo dapat undangannya." Motor Akram berhenti di pinggiran jalan yang mengarah ke bangunan apartemen milik Rein. Pria itu membuka helmnya. "Lo tinggal di sini, kan?"

Irin tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik. Bahkan Akram tahu di mana tempat tinggal barunya setelah menikah. Namun kenapa ... kenapa dia tidak mau datang ke pesta pernikahannya waktu itu?

Irin turun dari boncengan motor Akram kemudian berdiri di sampingnya. Kepalanya menunduk, tubuhnya bergetar pelan, menahan tangis yang entah sejak kapan ingin keluar.

"Ram ...."

"Apa?"

Irin menggigit bibir bawahnya, menarik napas panjang, dan bicara, "Kenapa waktu itu lo nggak datang ke pesta pernikahan gue?"

Irin mendongak, menatap langsung wajah pria yang dicintainya sewaktu SMA. Matanya berlinang air mata yang siap jatuh kapan saja. "Waktu itu lo ada di sekitar sini, kan? Lo selalu ngawasin gue, kan? Kalau enggak, lo nggak mungkin bisa tahu di mana tempat tinggal gue sekarang."

Akram terdiam beberapa saat. Pria itu tersenyum tipis kemudian menghembuskan napas kasar. "Gue emang ada di sekitar sini, tapi gue nggak bisa muncul di sembarang tempat lagi. Gue udah nitip kado sebagai gantinya, kan?"

"Kado apa?" Irin membatu, memangnya ada kado dari Akram yang dia buka waktu itu? Sepertinya tidak ada ....

"Foto kelas kalian berdua." Akram langsung mengatakannya tanpa basa-basi lagi.

Ingatan Irin langsung terlempar pada foto berbingkai yang membuat Rein menggodanya habis-habisan hari itu. Foto yang entah mengapa bisa lenyap begitu saja tanpa disadari olehnya. Ke mana keberadaan foto besar itu sekarang, ya?

Akram yang melihat ekspresi terkejut Irin hanya bisa menghela napas, kemudian mendengkus sekali lagi. "Rein pasti udah nyembunyiin fotonya, ya? Padahal jarang-jarang gue mau bongkar aib orang."

"Aib apaan coba? Cuma foto kelas kayak gitu, emang ada aib apa?" Irin menatapnya tidak mengerti.

Namun, Akram sama sekali tidak menanggapi.

"Lagian foto itu bukannya udah hilang, ya? Kenapa lo bisa dapatin foto itu lagi setelah bertahun-tahun coba?" Irin semakin tidak mengerti. Foto itu kabarnya sudah hilang sebelum sempat diperlihatkan kepada semua anak-anak yang terlibat di dalamnya.

"Foto itu nggak pernah hilang. Gue minta Ken buat hapus foto itu dari data sekolah, karena ada aib orang di sana," jelasnya yang sukses membuat Irin menatapnya tajam.

"Aib apaan sih sebenarnya? Lagian apa hubungannya sama gue dan Rein sampai lo kasih foto itu sebagai kado hadiah pernikahan gue coba? Aneh banget sih lo, nggak jelas!"

Tanpa sadar Irin sudah mengatakannya. Lagi-lagi dia mengomeli perbuatan pria itu yang tidak jelas apa tujuannya. Padahal harusnya dia menanyakan hal lain yang lebih berguna, seperti misalnya sekarang dia tinggal di mana dan apa pekerjaannya, kan?

Irin menunggu respon Akram. Namun, Akram sama sekali tidak merespon kata-katanya. Dia semakin penuh rahasia. Semakin tidak terjangkau oleh tangannya. Semakin jauh darinya dan Irin merasa dunia mereka sudah berbeda.

Saat itulah Irin sadar di mana perubahan pria itu sekarang.

"Kalau gitu gue pamit, jaga diri lo baik-baik!"

Irin ingin mengatakan sesuatu sekarang, karena dia merasa ... itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka. "Ram!"

Akram tidak menggubris, dia mengenakan helmnya dan lantas pergi dari sana. "Mungkin, ini bakal jadi pertemuan terakhir kita, Irina."

___

Akram itu ibaratnya cuma masa lalu mereka. Dia cuma pemain figuran aja. Orang ketiga biasa yang siap membantu hubungan tokoh utama.

Ya, cuma kayak gitu aja perannya. Kalau berharap lebih kayak mengungkap masa lalu mereka lebih banyak, jelas berat.

Pada akhirnya cerita ini berisi banyak masa lalu yang terasa abu-abu, karena harusnya ada satu atau beberapa judul cerita lain yang membantu kemajuan alur.

Maaf karena keterbatasanku menulis sekarang, aku nggak bisa nulis kisah-kisah remaja yang lucu dan mendebarkan kayak dulu. 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top