Crazy - 34
SEJAK pagi Irin memang merasa malas melakukan apa-apa. Terlebih setelah Rein berangkat kerja. Bukannya dia lelah setelah seks panas yang mereka lakukan sebelumnya. Irin lebih curiga kalau tamu bulanannya sudah hampir tiba.
Irin memang biasanya merasa malas melakukan apa pun saat tamu bulanannya datang. Dia yang setiap hari selalu dilayani pembantu rumahnya jadi semakin malas bergerak setiap kali tamu bulanannya hampir tiba. Namun, kini dia tidak lagi tinggal di rumah megah milik orang tuanya.
Dia memutuskan pergi. Tidak. Dia memang mau melarikan diri.
Rumah mewah itu laksana sebuah penjara yang sengaja mengurung Irin di dalamnya. Menjadikannya seekor burung yang disembunyikan di balik sangkar tanpa adanya sebuah pintu keluar. Entah sejak kapan semuanya bermula, tapi sayapnya telah tiada sejak dia meninggalkan bangku SMA.
Tidak. Irin tahu pasti kenapa semuanya bisa jadi seperti ini. Kenapa dia bisa kehilangan kendali dan tidak pernah sekali pun bisa menjadi mandiri.
Setelah peristiwa itu terjadi, semuanya seperti pergi. Irin merasa selalu sendiri, diam, dan tak seorang pun yang mau peduli.
Tidak. Sekalipun ada yang ingin memedulikan dirinya, dia sama sekali tidak bisa merasakannya. Dia tidak menganggap semua itu ada. Dia sengaja membuangnya dan mengabaikan semua yang datang padanya, karena dia merasa ketakutan.
Hingga rasa takut itu mulai mereda secara perlahan, membuat dia berani sedikit demi sedikit membuka kembali hatinya yang telah tertutupi kegelapan. Namun, pada akhirnya dia kembali kecewa karena semuanya tak berjalan sesuai keinginannya.
Irin tahu, banyak yang salah dari dirinya. Banyak yang hilang dan terenggut paksa dari hidupnya. Dia menginginkan semua itu kembali, tapi tentu saja ... semuanya tidak mudah.
Pertama dia harus pergi. Tetap berada di rumah itu hanya akan membuatnya terus diawasi. Irin tidak mau terus diawasi, sekalipun oleh kedua orang tuanya sendiri.
Dia ingin bebas. Dia ingin mandiri. Maka dia harus pergi.
Menikah menjadi satu-satunya solusi agar dia bisa pergi dengan bebas dari sangkar yang selama ini mengurung dirinya. Siapa yang akan menjadi pasangannya bukan perkara yang besar, tapi Irin pikir orang itu haruslah orang yang dia kenal.
Nama Reinhart yang keluar dari mulutnya saat itu sungguh seperti malapetaka. Dia mengatakannya bukan karena dia ingin memanfaatkan satu-satunya sahabat yang tidak ingin dilukainya.
Dia hanya bicara secara asal-asalan pada ayahnya saat Verga membahas masalah calon suami yang sebenarnya diinginkan oleh Irin.
"Ya, mungkin lebih baik kalau orangnya kayak si Rein," katanya saat itu. "Rein itu penurut, nggak aneh-aneh, cuma katanya dia jadi bajingan aja sekarang." Irin meringis setelah mengatakan kalimat terakhirnya itu.
Namun, tidak lama kemudian, Irin mendengar kabar kalau keluarga Gunawan benar-benar melamar dirinya untuk dinikahkan dengan Rein.
Irin mendapat kesempatan untuk keluar. Dia bisa bebas, sebebas-bebasnya. Apalagi Rein dengan tegas menolak untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya. Rein juga sangat memahaminya. Dia sangat baik dan begitu memanjakannya dalam artian yang berbeda.
Walaupun Rein memanjakannya, tapi dia tidak pernah mengekangnya. Rein membiarkan Irin bebas melakukan apa pun yang dia inginkan. Walaupun soal bercinta sedikit di luar dugaan dan keinginan Irin untuk cerai tidak terkabulkan, tapi pernikahan mereka sama sekali tidak terasa buruk.
Tidak. Irin bahkan merasa jika memang beginilah hubungan dua orang yang seharusnya. Inilah yang selama ini ia cari di kehidupannya.
Irin menarik napas panjang dan mengembuskan napasnya secara perlahan. Dia mengirim pesan pada Rein yang ingin dikirimi kabar kalau dia mau berangkat. Walaupun terkesan posesif, tapi tidak ... keinginan Rein itu malah terasa manis.
Irin mengunci pintu rumah barunya bersama Rein sebelum turun untuk memesan taksi.
Hari ini dia akan pergi mendatangi butik. Demi Rein ... demi mereka, dia akan melakukan yang terbaik.
***
Ini bukan kali pertama Irin mengunjungi sebuah butik. Berulang kali dia pergi ke tempat sejenis ini, bahkan ibunya juga punya bisnis serupa. Namun, ini memang kali pertama dia datang ke sana.
Irin disambut oleh pakaian-pakaian yang luar biasa. Rein memang sudah menyerahkan kartu kreditnya semalam, tapi Irin belum mau menggunakannya. Apalagi alasannya kalau bukan dia yang mudah tergoda dan takut kehilangan akal sehatnya saay melihat semua yang terpampang di depan matanya.
"Selamat datang!" sambut salah seorang pegawai wanita di sana.
Irin tersenyum manis. Dia harus menuntaskan keinginan pertamanya saat mendatangi tempat itu, sebelum mengelilingi semuanya, melihat-lihat dan memutuskan untuk memborong semua pakaian yang ada di sana.
"Bisa tolong tunjukkan jalan menuju tempat pakaian formal? Saya butuh baju formal pasangan." Irin tidak mau membuang waktu. Dia harus menyelesaikannya dengan segera atau dia akan pulang terlalu malam karena saking asyiknya dia berada di sana.
"Baik, bisa tolong ikuti saya, Bu!" Kemudian pegawai itu membawa Irin menuju deretan pakaian formal yang tampak begitu memanjakan mata.
Irin terdiam di sana, memilih beberapa yang menarik perhatiannya, saat pegawai itu tiba-tiba saja bertanya, "Buat pacar atau suaminya, Bu?"
"Ah, buat suami saya!" Irin tersenyum tipis.
"Suaminya nggak ikut, Bu?"
Irin meringis. Memang sebaiknya kalau Rein ikut, karena bisa sekalian mengukur ukuran bajunya. Walaupun sebenarnya tidak terlalu perlu, karena Irin sudah tahu pasti berapa ukuran bajunya. Apalagi selama beberapa hari ini dia selalu telanjang dalam genggaman tangan Irin setiap malam.
Pegawai itu tampak merasa bersalah. "Maaf, kalau saya tidak sopan dan terlalu ikut campur, Bu!" Dia terlihat sangat menyesal.
Irin pun merasa tidak enak padanya. "Ah, enggak, dia cuma lagi kerja aja makanya nggak bisa ikut." Irin tersenyum manis dan sopan. "Lagian dia payah banget kalau masalah milih beginian!"
Pegawai itu meringis. Sepertinya dia memahami maksud Irin dengan baik. Irin pun terus memilih. Dia bahkan meminta bantuan pegawai itu untuk membantunya memegangi kemeja dan membandingkannya dengan yang lain.
Irin menatap beberapa pakaian pilihannya yang sudah tersortir berulang kali sembari menggumam, "Hm ... bagusan yang mana, ya? Kalau gaunnya, aku suka yang merah. Kelihatan sopan dan elegan, cuma kalau dia yang pakai pasangannya kayaknya dia bakal keberatan, deh."
Pegawai itu mengerjap. "Suaminya suka warna khusus atau mungkin benci warna tertentu, Bu?"
Irin hanya meringis. Tidak, Rein tidak membencinya. Hanya saja warna merah itu sedikit ....
"Kalau lo emang suka, bukannya dia bakal nerima apa pun yang lo sukai, kan?"
Irin merasa tubuhnya membeku, kepalanya bergerak dengan pelan dan lambat saat menoleh ke arah pria yang kini berdiri tegap di belakang tubuhnya.
"Irina!"
Irin menelan ludahnya susah payah. Kenapa dia bisa ada di sini? Kenapa dia ....
"Selamat siang, Pak!" sapa pegawai itu sembari menunduk sopan padanya.
Pria itu hanya menjawab sapaannya dengan mengangkat sebelah tangannya saja. "Jadi, laki lo yang sok itu nggak ikut? Nggak takut apa dia ngelepasin bininya sendirian ke tempat kayak gini?" Dia tersenyum miring.
"Lo kenapa bisa ada di sini?" Irin mencoba untuk tenang, walaupun kini dia merasa sangat ketakutan. Dia sangat tidak menyangka akan bertemu dengan seorang Joan di tempat seperti ini.
"Tempat ini punya gue sekarang, tentu aja gue ada di sini." Joan tersenyum padanya. "Gue nggak nyangka bakal ketemu lo di sini. Bahkan lo duluan yang mendatangi gue setelah lo mutusin gue waktu itu."
Irin membuang mukanya. "Kalau gue tahu tempat ini punya lo, gue nggak akan datang ke sini."
Joan mendengkus pelan. "Masa? Bukannya kita jodoh? Ke mana pun kita pergi, kita bakal bertemu kembali, Irina."
"Bisa nggak sih lo berhenti? Sekarang gue udah punya suami. Hubungan kita juga udah lama berakhir! Harusnya lo berhenti ngarepin gue dan cari cewek lain yang lebih baik, kan?" Irin mulai emosi.
Pegawai yang sejak tadi berada di sana hanya bisa menjadi obat nyamuk tanpa bisa berbuat apa-apa. Kalau bisa, dia mau melarikan diri saja, karena bosnya itu sedikit temperamental. Namun, bagaimana cara dia bisa melarikan diri kalau keadaannya jadi sepanas ini?
Joan menyentuh rambut Irin pelan, tapi Irin langsung menepis dan memelototinya. "Apa gue udah nggak punya harapan lagi, Rin?"
"Nggak!" jawan Irin tegas.
Rein bisa begitu tegas pada wanita yang menyukai dan mengincarnya secara diam-diam, maka dia harus melakukan hal yang sama. Lagi pula, dia tidak mungkin terus melarikan diri dan menghindari Joan untuk selamanya, kan?
Tangan Joan tergantung di udara. "Setelah ini, lo mau makan siang bareng gue, nggak?"
Irin memelototinya. "Lo udah gila?"
"Untuk terakhir kalinya aja," Joan tersenyum tipis, senyuman yang membuatnya terlihat lebih tulus daripada sebelum-sebelumnya, "sebagai mantan yang masih cinta, nggak masalah kan kalau cuma makan siang aja?"
Irin mengembuskan napas kasar. Dia tidak menginginkannya, serius. Namun kalau dia menolak, Irin lebih takut kalau Joan menggila dan membuatnya serta orang lain berada dalam bahaya.
Jadi, dia pun menganggukkan kepalanya. "Cuma makan siang aja, kan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top