Crazy - 30

"RIN, lo mau bulan madu, nggak?"

Irin yang berniat memejamkan mata dan beristirahat begitu mereka sampai apartemen pun sontak membuka kembali matanya lebar-lebar. Irin menatap Rein.

Rein sedang duduk di lantai menggunakan kaki sebagai tumpuan, sambil menyangga kepala menggunakan kedua tangan yang berada di atas ranjang, dan menatap Irin dengan tatapan menghanyutkan.

Rein tersenyum manis. Senyuman yang malah membuatnya terlihat layaknya sedang mengejek Irin yang gagal beristirahat lagi hari ini.

"Harus gitu lo nanyanya sekarang? Kenapa nggak besok-besok aja? Kenapa harus sekarang coba?" tanyanya dengan rasa kesal menggerogoti hatinya.

Irin lelah. Dia cape luar biasa setelah semua yang mereka lakukan hari ini. Sejak pagi sampai siang, Rein terus mengajaknya bercinta. Lalu setelah itu, dia mengajak Irin pergi, masuk mall, belanja, makan siang, dan mereka tak kunjung kembali hingga petang.

Irin hanya ingin merebahkan badannya, memejamkan matanya, dan mengistirahatkan tubuhnya sebelum Rein kembali menggila dan mengajaknya bercinta. Bukannya dia tidak suka, tapi jujur dia tidak sanggup jika harus mengimbangi energi suaminya yang luar biasa.

"Mumpung gue inget dan lagi ada kesempatan. Jawab aja, lo mau atau enggak?" tanya Rein masih dengan senyum mengembang yang kelewat lebar di bibir seksinya.

Irin terdiam, menarik napas panjang, lalu mengembuskan napas secara perlahan. Bulan madu, ya? Mereka memang sudah menikah, pun sudah melakukan hubungan badan. Wajar saja jika Rein ingin mengajaknya bulan madu ke suatu tempat yang indah.

Irin pun sebenarnya punya banyak waktu luang. Dia hampir tidak punya pekerjaan lain selain kelayapan. Walaupun dia sudah dewasa dan anak satu-satunya di keluarganya, tapi baik ayah dan ibunya tidak pernah memaksa Irin untuk pergi bekerja. Bahkan mereka cenderung melarang Irin melakukannya.

Urusan perusahaan keluarga bisa diserahkan kepada siapa pun nantinya. Toh, keluarga mereka sangat kaya raya. Jadi tanpa Irin harus pergi bekerja atau mengurus perusahaan itu pun, kekayaan keluarganya masih lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya bahkan anak cucunya kelak.

"Emangnya lo mau bulan madu ke mana?" Irin bertanya serius.

"Lo pengin ke mana?" Rein balik bertanya.

"Gue pengin keliling dunia." Irin memutar bola mata saat mengatakannya. "Bercanda."

"Serius juga nggak apa-apa." Rein tersenyum tipis. "Kita bisa mulai yang dekat-dekat dulu, terus ke luar negeri. Satu per satu kita kunjungi, mungkin setahun sekali bisa pergi bulan madu. Bisalah diatur kalau kayak gitu!"

Irin langsung mendelik mendengar ucapan Rein padanya. "Mau bulan madu apa liburan itu, hah?! Masa perginya setiap setahun sekali?"

"Ya, nggak apa-apa, kan? Mumpung masih muda dan masih punya kesempatan, jadi berangkat aja, ngapain ditahan?" Rein meresponnya dengan sangat santai.

Irin jaci ingin memukul kepala Rein untuk menyadarkannya, jika hal seperti itu tidak akan bisa berlangsung selamanya. Kalau mereka sudah punya anak atau ada masalah yang tidak bisa ditinggal, mana mungkin mereka bisa pergi bulan madu di tahun itu, kan?

Apalagi stamina tubuhnya yang sangat pas-pasan. Irin yakin, dia tidak akan sanggup melakukannya lagi di usianya yang sudah menginjak angka sekian.

Irin menggeleng tegas. "Gue cuma bercanda aja tadi, Rein. Gue mana sanggup jalan sejauh itu setiap setahun sekali. Astaga! Lo juga tahu sendiri stamina gue payah banget kalau urusan kayak gini."

"Nah, itu yang bikin gue penasaran!" Rein berdiri, lalu duduk di atas ranjang dan menatap Irin dengan wajah penasaran. "Sejak kapan stamina lo jadi payah banget gini? Perasaan dari dulu fisik lo selalu digembleng sama bokap lo yang galak itu, deh."

Irin terdiam. Jujur saja, dia tidak bisa mengatakannya. Akan tetapi Rein pasti tidak akan menyerah begitu saja. Jadi, dia harus mencari alasan lain yang lebih masuk akal dan sanggup membuat laki-laki itu percaya.

"Gue juga nggak inget, tapi sejak kuliah gue emang males ngapa-ngapain. Abis kuliah juga gue di rumah, nggak kerja dan nggak ngelakuin apa-apa. Semuanya juga ada yang layanin gue di rumah," jawabnya, setengah jujur.

Rein tersenyum masam mendengar pengakuan istrinya. Dia jelas tahu siapa Irin, sang tuan putri dari keluarga konglomerat.

"Tumben bokap lo nggak ngamuk?" tanyanya, sedikit menyindir Verga yang dari dulu memang suka marah-marah.

Padahal istrinya selalu kalem-kalem saja, tapi mulut Verga bisa langsung berbusa setiap kali Irin dan Rein berbuat salah maupun dosa.

"Gue nggak tahu, tapi seingat gue papa udah jarang marah-marah lagi setelah gue lulus SMA." Irin mengangkat bahunya tak acuh. "Kalau lo penasaran, tanya aja sama bokap gue sana! Papa mertua lo juga kan sekarang?" godanya.

Rein langsung tersenyum masam mendengar kalimat terakhir Irin. Sedangkan Irin tertawa, tahu betul kalau suaminya sejak dulu agak sesuatu dengan ayahnya.

Rein mendengkus pelan. "Jadi gimana, lo mau bulan madu atau enggak?"

Irin mengangguk setuju. "Oke, tapi jangan setiap tahun dan jangan jauh-jauh. Gue males kalau jauh, takut nggak kuat."

"Lama nggak berhubungan lagi sama lo, sekarang beneran udah jadi kayak tuan putri aja lo, Rin! Jangan bilang lo mau ngembarin bininya Evan yang kayak Cinderella itu, ya?" Rein mendengkus pelan.

Bagai teringat sesuatu, Irin langsung terlonjak dan duduk di atas ranjang. "Ah, si Lilya?!"

Rein mengernyitkan dahi. "Kenapa?"

Seingatnya, Irin belum mengenal Lilya. Karena saat itu mereka belum menikah ketika pernikahan kecil-kecilan Evan digelar. Apa dia bertemu dengan Lilya di restoran tantenya?

"Dia beneran masih SMA, ya? Bukannya si Evan itu umurnya udah—" Irin menunjukkan ekspresi mau muntah. "Jangan bilang dia emang punya kelainan lagi?!" teriaknya penuh emosi.

"Kan gue udah bilang tadi, kalah dia kayak Cinderella. Ya kayak gitu kasusnya dia." Rein memutar bola matanya, lalu mengembuskan napas kasar, mencoba bersabar.

"Cinderella?" Irin menatapnya dengan tatapan tidak mengerti.

"Iya, diperbudak sama keluarganya, terus diselamatin sama pangeran tampan, tapi sadis dan sangat tak berperasaan." Rein memutar bola matanya sekali lagi.

"Gimana sih maksudnya? Gue masih nggak ngerti, sumpah! Jelasin coba!" tuntutnya serius.

Rein menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napas secara perlahan. Setelah itu dia mulai menjelaskan secara terperinci soal pernikahan Evan dan Lilya.

Pernikahan paksa yang terencana. Bukan karena saling cinta, bukan karena fisik semata, dan bukan juga karena harta. Evan menikahinya murni karena dia kasihan pada seorang gadis polos yang diam saja saat direndahkan oleh keluarga angkatnya.

Irin mengerjapkan matanya berulang kali setelah mendengar cerita Rein tadi. "Serius di dunia ini ada yang kayak gitu? Gue pikir cuma ada di sinetron aja!"

"Sebenernya ada banyak, cuma ada banyak juga yang nggak kelihatan, makanya nggak ada yang tahu." Rein mendesah panjang. "Gue cuma bisa doain semoga mereka sama-sama bahagia dengan pernikahan kayak gitu!"

"Ya kalau Evan-nya berengsek kayak lo sih, pasti dia nggak akan lama hidup sama cewek polos dan kelewat baik kayak dia gitu. Tipe kayak Lilya sih, dia pasti bakal diam aja waktu Evan selingkuh atau bawa istri baru pulang ke rumah."

Rein langsung tersenyum masam mendengar kata-katanya tadi. "Semua cowok keturunan Gunawan nggak ada yang punya dua istri, Rin."

"Masa sih?" Irin mengernyitkan dahi, tapi kalau dipikir-pikir sepertinya memang benar.

Om Raffa, papanya Rein yang kabarnya bajingan tingkat setan saja hanya menikah sekali dan tetap setia pada istrinya yang absurd itu.

Gitu-gitu juga mertua lo, Rin! batinnya mengingatkan.

"Bener, cuma Om Ethan yang pernah nikah dua kali. Itu pun karena istri pertamanya emang agak nggak beres." Rein berdeham pelan, semoga kata-katanya tadi tidak pernah sampai ke telinga Evan.

"Lagian, walaupun gue berengsek kayak gini, gue masih tahu diri buat nggak nikah dua kali, Rin. Lo tenang aja! Baik cinta, tubuh, dan harta gue selamanya cuma buat lo seorang!"

Irin mengerjapkan mata saat mendengar pengakuan Rein yang begitu tiba-tiba. "Emangnya lo cinta sama gue?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top