Crazy - 29

REIN terpaksa harus membuang rasa malu saat mengambil beberapa pakaian dalam yang ada di jejeran rak gantung di samping tubuhnya. Berani sumpah, dia tidak semesum itu. Rein bukan Jake yang memang terkenal playboy dan berengsek. Dia termasuk kategori pria yang biasa saja, tidak alim tidak juga bajingan.

Namun, demi istrinya dan demi kesehatan mentalnya, dia harus segera mengakhiri sesi belanja ini secepatnya.

Rein mulai merasa tidak nyaman saat melihat orang-orang di sana sedang melirik mereka berdua dengan wajah penasaran.

Ayolah! Dia bukan aktor tampan negeri ini seperti Jake, tapi kenapa mereka melihatnya layaknya Rein seorang aktor terkenal yang sudah biasa menjadi pusat perhatian media?

Irin keluar dari ruang ganti dengan pakaiannya sebelum ini. Jangan kira Irin keluar dari sana hanya menggunakan pakaian dalam saja, karena perempuan itu jelas masih tahu malu saat mau melakukannya.

Apalagi ada beberapa pria lain yang sedang menemani istri atau pacarnya belanja, kini sedang menatap mereka berdua secara terang-terangan. Irin tidak mungkin keluar dari ruangan ganti hanya mengenakan pakaian dalam.

"Mau langsung pulang?" tanya Rein, begitu selesai membayar semua tagihan belanja istrinya.

"Terserah, sih. Emangnya mau ke mana lagi kalau nggak langsung pulang sekarang?" Irin baluk bertanya dengan nada suara yang terdengar sedikit heran.

"Hm ... kali aja lo mau nonton dulu atau mau beli sesuatu lagi gitu?" usulnya yang sedikit berharap.

Jujur saja, Rein masih ingin membeli sesuatu, tapi dia takut Irin tidak setuju. Apalagi alasannya terlalu norak dan malu-maluin, Rein takut langsung kena mental saat mendengar penolakan istrinya nanti.

Namun, karena mereka sudah saling kenal lama dan saling memahami satu sama lain. Irin sepertinya menyadari keinginan terpendam Rein saat itu.

"Lo mau beli sesuatu?" tanyanya balik, dengan nada suara yang disampaikan dengan sesantai mungkin.

"Hm ...." Rein terdengar ragu.

"Mau beli apa lagi?" Irin menatapnya penasaran.

"Gue pengin punya baju couple sama lo," akunya jujur. Walaupun dia harus merasa malu setengah mati saat mengatakannya, tapi apa boleh buat, kan?

Mumpung sudah ditanyakan, lebih baik dia ungkapkan sekalian. Toh, kesempatan tidak akan datang dua kali. Mungkin saja Irin mau menuruti permintaannya ini, walaupun dia lebih takut jika perempuan itu langsung menolak keinginannya dengan keji.

Irin terperangah saat mendengarnya. "B-baju c-couple?" ulangnya dengan nada terbata-bata. Dia bahkan langsung menelan ludahnya susah payah setelah mengatakannya.

"Lo nggak mau, ya?" Rein bertanya dengan nada yang diselipi rasa kecewa.

Irin jadi tidak kuasa untuk menolaknya. "Mau aja, sih, tapi baju buat apa? Buat jalan, buat kondangan, apa buat tidur?"

Rein mengerjapkan kedua matanya. Dia tidak menyangka Irin bakal menerima permintaannya secepat ini. Padahal Rein sudah berpikir mereka akan bertengkar sedikit, minimal berdebat lima belas menit sebelum memutuskan sepakat satu sama lain.

"Apa aja," jawabnya sekenanya.

"Ya jangan gitu lah, Rein! Lo yang pengen masa jawabannya apa aja, sih?" Irin jadi kesal sendiri mendengar jawaban Rein tadi yang terkesan seperti tidak niat.

"Rencananya gue ikut aja lo mau yang mana. Kalau gue sih, mungkin baju tidur aja, atau em ... buat kondangan juga bisa, soalnya bentar lagi si Syila sama Jake nikahan." Rein tiba-tiba ingat soal adiknya yang sebentar lagi akan menikahi sahabatnya.

"Oh, iya!" Irin pun sepertinya hampir melupakannya, kalau mereka berdua belum juga menikah hingga sekarang. "Ya udah, kalau gitu kita beli baju buat kondangan sekalian piama couple buat tidur, oke, kan?"

Setelah itu mereka mendatangi sebuah toko yang menjual pakaian untuk acara formal. Irin sudah mencari, bahkan karyawan dan pemilik tokonya pun sudah ikut membantu. Namun, keduanya sama sekali tidak menemukan pilihan yang tepat.

Irin pun ditawari untuk datang langsung ke butik pemilik toko dan memesan langsung pakaian seperti apa yang mereka inginkan di sana. Mungkin harganya memang sedikit lebih mahal, tapi Irin langsung menyanggupi tawaran pemilik toko itu tanpa mempertimbangkan harganya sama sekali.

"Lo nggak masalah, kan?" Irin menatap Rein, meminta bagaimana pendapatnya.

Rein hanya menganggukkan kepala. "Ya, daripada lo maksa apa aja yang ada dan malah tampil nggak pede, mendingan kita pesan aja."

Irin pun meminta alamat butiknya yang ternyata tidak cukup jauh dari sana. Setelah itu mereka pindah toko lagi untuk membeli beberapa piama couple untuk pria dan wanita.

"Gue kayaknya bakal malu banget kalau harus pakai piama yang sama kayak lo setiap hari deh, Rein." Irin tiba-tiba saja bicara setelah Rein membayar semua belanjaan mereka.

"Kenapa harus malu coba?" Rein mendengkus pelan. "Padahal sama suami sendiri. Cuma gue juga yang lihat setiap hari."

Irin tidak bisa menjawabnya lagi. Memangnya sama suami sendiri tidak boleh merasa malu lagi? Apalagi untuk kasus mereka yang menikah bukan atas dasar saling mencintai.

Irin yang telanjur bicara dan Rein yang terpaksa melakukannya. Pernikahan antar dua orang teman lama yang tak lagi saling dekat sebelumnya. Tidak ada cinta, hanya ada masa-masa kebersamaan mereka yang begitu dekat dan akrab layaknya dua orang saudara.

Rein melirik jam di tangan kirinya, kemudian menatap istrinya. "Abis ini lo mau makan dulu, nggak? Biar nanti bisa langsung istirahat waktu sampai rumah."

"Hm." Irin hanya menganggukkan kepala dan menggumam samar menjawab pertanyaannya.

Rein merasa ada yang salah dengan istrinya. Dia ingin bertanya, tapi tahu pasti kalau hasilnya bakal sia-sia. Jadi dia hanya mendiamkan Irin hingga mereka sampai parkiran.

Rein membukakan pintu untuk Irin yang terkejut melihat perbuatannya. Irin pun menatapnya dan membuat mereka saling bertatapan.

Rein hanya tersenyum manis lalu berkata, "Masuk, gih!"

"Tumben lo mau bukain pintu buat gue," komentar Irin sembari masuk mobil.

Rein ikut memasukkan sebagian tubuhnya hingga mereka saling bertatapan dari dekat.

Irin hanya bisa menelan ludahnya susah payah saat Rein menatapnya begitu lekat. "Rein!" panggilnya tercekat.

Rein hanya mengerjap, lalu menghela napasnya pelan. "Syukurlah, gue pikir lo kenapa-kenapa."

"Emangnya gue kenapa?"

Irin balik bertanya, tapi Rein tidak menjawabnya. Dia malah menarik kembali tubuhnya dan keluar dari mobil lalu menutup pintu mobilnya dengan sedikit keras.

"Rein!" teriak Irin, karena Rein mengabaikan pertanyaannya sebelumnya.

"Apa?" Rein masuk ke kursi kemudi dan menjawab teriakannya tadi.

"Gue nanya, kok malah didiemin?!" Irin menatapnya sebal.

Rein hanya tertawa pelan. "Gue cuma pindah tempat bentar. Jadi lo nanya apa tadi?"

"Emang gue kenapa? Kok lo bisa mikir yang enggak-enggak sebelumnya?" Irin mengulangi pertanyaannya, kali ini dia memperjelas soalnya.

"Lo diem terus dari tadi. Gue kira lagi ngambek atau lagi marah mungkin," jawabnya sambil mengangkat bahunya pelan. "Padahal niatnya gue mau minta maaf biar lo nggak marah lagi tadi."

"Dih, minta maaf sini lo! Udah bikin gue kesel sampai pengin nyambelin lo ntar malam!" ucap Irin berapi-api.

"Salah gue apa sampai bisa bikin lo kesel kayak gitu?"

"Salah lo ... banyaaakkk! Siapa suruh lo bilang kayak gitu tadi, hah?!"

"Bilang soal apa?"

"Soal nggak boleh malu sama suami sendiri," jelas Irin sambil menekankan kalimat Rein tadi dengan suara yang sedikit dibuat-buat.

"Oh soal itu, tapi kan emang bener? Ngapain lo ngerasa malu couple-an sama gue, kalau yang bakal ngelihat cuma gue? Lagian couple-annya sama suami sendiri, bukan sama suami orang, kan?"

"REIN!"

Irin benar-benar semakin kesal setelah mendengar jawaban Rein. Ngapain juga dia couple-an sama suami orang? Ntar malah dikira selingkuhannya lagi! Bahaya!

Sedangkan Rein hanya tertawa mendengar teriakan Irin sebelumnya. Dia menyalakan mesin dan membawa mereka pergi meninggalkan mall menuju salah satu restoran di dekat sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top