Crazy - 28

BIARPUN diminta untuk tidak jelalatan, tapi kalau tempatnya seperti ini sudah pasti tatapan matanya bakal jalan-jalan. Apalagi saat Rein melihat Irin mengambil beberapa potong pakaian dalam di depan matanya, dia bisa langsung membayangkan Irin dengan semua pakaian-pakaian dalam itu membungkus tubuhnya.

Rein menarik napas panjang, lalu mengembuskan napasnya secara perlahan. Berusaha menenangkan diri juga menenangkan isi pikirannya yang mulai tak keruan.

"Hei, Rein! Bagusan yang mana? Gue suka warna ungu, tapi warna pink juga lucu," kata Irin sembari menyodorkan dua pasang pakaian dalam itu ke depan wajahnya.

Dengan sebuah senyum cerah ditambah wajah tanpa dosa, Irin menggoyang-goyangkan pakaian dalam yang masih berada dalam gantungan itu di depan wajahnya.

Rein merasa wajahnya panas hingga merasa ada sesuatu yang meledak di atas kepalanya. Irin pasti sudah gila, kenapa dia malah memamerkan hal seperti ini tepat di depan wajahnya?!

Dia memang pernah melihatnya. Berulang kali dia melihat Irin hanya pakai bikini atau malah telanjang bulat saja. Namun kalau di tempat seperti ini, dia tidak mungkin bisa biasa saja!

Irin nyaris tertawa melihat wajah Rein yang tampak merah busuk, karena perbuatannya. Kalau hanya berdua, mungkin Rein bisa biasa saja dan sama sekali tidak terpengaruh oleh perbuatannya. Namun, kalau di tempat yang ada banyak orang seperti ini, Rein suka malu-malu kucing.

"Coba cari warna merah, kayaknya lebih bisa menggoda daripada warna kayak gitu, Nona!" Seorang pria asing berdiri di sebelah Irin dengan senyum kelewat lebar yang langsung berhasil membuat Rein menatapnya tajam.

"Merah, ya? Tapi gue nggak suka warna merah." Irin memasang wajah masam saat mendengarnya.

"Warna merah lebih kelihatan berani, apalagi di kulit lo yang putih bersih kayak gitu." Lagi, dia berkata dengan nada yang luar biasa sok ramah padanya. "Kalau nggak warna merah, mungkin bisa warna hitam."

Irin tidak suka mendengarnya. Dia tidak suka dua warna itu. Mungkin pria memang suka, tapi dia sama sekali tidak menyukainya. Irin menoleh pada Rein. "Rein, menurut lo bagusan yang mana?"

Rein mengembuskan napasnya kasar. "Lo suka yang mana dan nyaman pakai yang mana? Kalau soal bagus, apa pun pasti bagus kalau lo yang pakai, Rin."

Pria itu langsung tertawa. "Jawaban lo klise banget, man! Awas kalau pacar lo ngambek terus ninggalin lo abis ini," komentarnya sambil tergelak pelan.

Rein hanya menatapnya dengan muka kelewat datar. Lenyap sudah rasa malunya, diganti dengan rasa kesal yang kini menggerogoti hatinya. "Terus gue harus nyuruh dia ganti pakaian dalam dan pamerin ke gue sekarang juga gitu? Mendingan gue suruh dia beli semuanya, terus gue ajakin dia pulang, biar dia bisa cobain semuanya di rumah. Iya, kan, sayang?"

Irin mengerjapkan kedua matanya dan menatap Rein dengan tatapan polosnya. "Hah?!"

Sedang pria entah siapa itu juga turut melakukan hal serupa. "Anak zaman sekarang ternyata pada berani, ya? Belum nikah aja udah berani tinggal bersama."

Irin dan Rein langsung bertatapan. Keduanya seperti kompak saat mengatakannya secara bebarengan, "Emang lo umur berapa?"

"28."

Rein dan Irin bertatapan lagi, seolah saling bicara dengan cara bertelepati.

"Perasaan umurnya nggak beda jauh dari kita, ya, Rein?"

"Ya, tapi dia bilang anak zaman sekarang."

"Mungkin dia cuma iri aja kali, ya? Belum nikah, belum punya pacar, atau pacarnya nggak mau diajak tinggal bareng?"

"Mungkin."

Sedangkan pria di sana tampak syok saat melihat interaksi di antara mereka berdua. "Kalian bukan anak kembar, kan?"

Rein dan Irin langsung menatapnya tajam. "Bagian mananya yang kembar?!" bentak keduanya secara tidak wajar. Sepertinya, itu bukan kali pertama mereka dikira anak kembar.

"Ya ... biasanya yang bisa kayak gitu cuma anak kembar aja," katanya, lalu menelan ludahnya susah payah.

"Kita nggak kembar kok, cuma udah temenan dari kecil aja," jawab Irin sambil tersenyum manis.

"Ya, kalau kembar atau masih saudaraan, mana mungkin kita berdua bisa nikah. Iya nggak, Rin?" Rein meminta pendapat istrinya dan Irin langsung mengangguki ucapannya.

Pria asing itu langsung menghela napas kasar saat mendengarnya. "Kirain masin pacaran, nggak tahu udah nikahan. Gue langsung ngerasa kalah sama bocah-bocah kayak kalian."

"Kalau dua puluh lima tahun disebut bocah, apa kabar sama mereka yang nikah setelah lulus kuliah?" Rein mengatakannya juga.

Sosok pria asing itu mengerjapkan kedua matanya. "Kalian udah dua pulih lima tahun?" Sosok itu mendesah panjang. "Ternyata gue aja yang ngerasa udah tua, tapi nggak nikah-nikah juga."

"Lo yang sabar, ya!" Irin mencoba menghiburnya. "Nanti kalau udah ketemu yang cocok, langsung diajak nikah aja, biar nggak kelamaan jomlonya!"

Saat itulah Rein merasa ada yang aneh di sana. Jika pria itu memang masih belum berpasangan, lalu buat apa dia datang ke toko yang khusus menjual pakaian dalam wanita? Harusnya dia datang bersama ... kekasihnya?

Seorang wanita yang tampak lebih dewasa dari pria itu mendekati mereka. Dia langsung menyipitkan matanya dan menatap Irin dengan tatapan curiga. "Jangan bilang kamu kegenitan lagi sama cewek lain, Lang?!"

"Mana mungkinlah! Aku cuma kasih sedikit saran aja sama pasangan suami istri ini!" Pria itu tersenyum sopan pada Irin juga Rein. "Kenalin nama gue Galang, kali aja kita bisa ketemu lagi suatu hari nanti, kan?"

"Nama gue Irina! Panggil aja Irin. Salam kenal, ya!" Irin memperkenalkan dirinya dengan santai. Toh sejak awal pria itu tidak berniat menggodanya, dia hanya mau membantu dan sedikit ikut campur saja.

"Lo siapa?" Galang menoleh ke arah Rein.

"Reinhart, panggil aja Rein." Rein memperkenalkan dirinya.

Galang mengangguk mengerti. Dia bakal mengingatnya dengan baik. "Kalau gitu gue mau pamit undur diri dulu——"

Rein menepuk pelan bahunya, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Galang dan berbisik, "Maaf kalau kesannya gue ikut campur, tapi menurut gue, lo nggak cocok sama cewek lo ini."

Galang meringis pelan. Dia hanya melambaikan tangan dan pamit pergi dari sana. Irin langsung mendekatkan tubuhnya ke Rein. "Lo ngomong apa ke dia tadi, Rein?"

"Gue bilang mereka nggak cocok," jawabnya pendek.

Irin menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Jahatnya! Jangan bilang lo lagi balas dendam, karena dia udah gangguin kita berdua tadi, ya?"

"Enggak, tapi mereka emang nggak cocok." Rein kukuh mengatakannya.

"Kenapa lo bisa mikir gitu? Padahal kalian baru ketemu sekali, kan?" Irin menatapnya bingung.

"Lo liat ceweknya, kan? Umurnya harusnya lebih tua, tapi dia nggak lebih dewasa. Dia bahkan nggak mau repot-repot kenalan sama kita. Sedangkan Galang, dia aslinya masih kekanakan, tapi maksa buat jadi lebih dewasa dari ceweknya. Hubungan mereka kelihatan nggak normal," komentarnya terang-terangan.

Kalau dipikir-pikir, Irin sepertinya menyetujui ucapan suaminya itu. "Iya, kayak agak gimana gitu ...."

Rein langsung menoleh ke arah Irin. "Jadi, lo mau beli yang mana? Saran gue pilih aja semuanya, nanti baru dicobain di rumah."

"Kenapa nggak dicoba di sini aja, sih?" Irin menggembungkan kedua pipinya, tampak merajuk. "Apa karena warnanya nggak merah atau hitam, ya?"

"Kalau rencananya emang buat godain gue. Gue saranin lo beli lingerie aja, jangan pakai celana dalam sama bra," kata Rein blak-blakan.

Irin mengangakan mulutnya dan berjalan pergi menuju ruang ganti, meninggalkan Rein yang kini menyusul langkah kakinya dengan kepayahan.

**** bonus part ****

Galang meringis pelan. Bahkan orang yang baru bertemu sekali saja dengan mereka bisa berkomentar demikian.

Satu pesan muncul di ponselnya.

AHP : Ternyata setan kayak lo masih nggak banyak berubah, ya?

Galang : Lo ngawasin gue tadi? Di mana? Kenapa nggak nyamperin?

AHP : Ogah ketemu cewek lo.

AHP : Dan lagi, gue nggak pernah ngawasin lo. Gue cuma ngawasin mereka berdua.

Galang mengernyitkan dahinya.

Galang : Yang tadi? Lo kenal?

AHP : Temen sekolah gue.

"Siapa, sih? Kamu kelihatan fokus banget sama ponsel. Jangan bilang selingkuhanmu yang baru lagi," kata Gita yang berdiri di sebelahnya sambil mendengkus sebal.

"Bukanlah, Git! Cuma temen baik aja." Galang tersenyum tipis. "Adiknya Arash."

"Yang bener?"

Galang mengangguk. "Serius, kamu bisa nanya sama Arash, kalau aku lebih akrab sama adiknya daripada akrab sama dia selama ini."

"Ada gitu, temen kuliahnya siapa, akrabnya sama siapa?"

Galang hanya tertawa hambar saat mendengarnya. Dia belum pernah melihatnya saja. Kalau dia pernah melihat Galang dan Akram bersama, mungkin dia bakal salah mengira kalau keduanya kembar cuma beda orang tuanya saja.

____

Bonus part - bisa diabaikan - bisa dibaca - bakal jadi next project selanjutnya.

Digarap bareng Naga and The Princess, paling 😉 🤣

Di KaryaKarsa udah sampai bab 33, ya 😆🙏

Kalau yang di Wattpad sepi/gak banyak yang komentar mau update atau apa, kadang aku suka kelupaan buat update 😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top