Crazy - 27

KALAU dipikir-pikir lagi, ini memang pertama kalinya Irin pergi ke mall bersama Rein. Walaupun mereka berteman baik sejak dulu, tapi sebelumnya Rein belum pernah menemaninya belanja.

Irin menarik napasnya panjang, kemudian mengembuskan napasnya secara perlahan. Dia merasa gugup, cemas, khawatir, juga takut. Rein tidak suka buang-buang waktu, tapi Irin kebalikan dari itu.

Irin suka kalap dan kadang sampai lupa waktu ketika sedang belanja. Orang tuanya saja sampai marah-marah soal ini, terutama ayahnya. Ini masih belum soal tagihan kartu kredit yang akan membengkak setelah dia menggunakannya. Satu alasan lain yang membuat ayahnya semakin khawatir saja soal dirinya.

Irin menggigit bibir bawahnya dan berdoa dalam hati, semoga kali ini dia bisa menahan diri atau Rein akan menyetujui rencana mereka yang akan bercerai dua bulan lagi.

Rein sepertinya menyadari kecemasan istrinya itu, karena detik berikutnya dia bertanya, "Lo kenapa?" Tanpa menghentikan langkah kakinya yang sedang berjalan menuju mall.

Irin langsung menoleh, dia tersenyum masam. "Gue bingung mau beli apa," katanya. "Apa kita pulang aja sekarang, ya? Terus balik lagi kapan-kapan?"

Rein langsung memasang wajah masam saat mendengarnya. Percuma sudah dia putar jalan tadi kalau akhirnya mereka langsung pulang tanpa sempat beli apa-apa di sana.

"Rugi gue putar jalan tadi kalau kita balik sekarang, Rin!"

"Ya, gimana? Gue beneran bingung mau beli apa." Irin mencoba mencari alasan agar mereka bisa pulang sekarang juga, tapi sepertinya bakal sia-sia.

"Beli apa aja, deh. Ntar kalau lo udah lihat gimana barangnya, lo pasti kepikiran mau beli apa," putus Rein secara sepihak. "Oh, apa jangan-jangan lo malu jalan bareng gue, ya?"

Irin langsung memasang wajah dongkol saat mendengarnya. Hanya orang bodoh yang merasa malu jalan bersama Rein. Bagaimanapun juga Rein itu tampan, dia sempurna, dan yang jelas tidak malu-maluin. Kalaupun sampai ada yang salah, itu pasti berasal dari pasangannya.

"Kenapa lo bisa mikir kayak gitu?" Irin menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

"Karena lo tiba-tiba aja berubah pikiran dan kelihatan ogah banget jalan sama gue." Rein mendengkus pelan. "Jujur aja kalau lo emang malu jalan sama gue," tekannya sekali lagi.

"Dih, nggak gitu juga kali, tapi ...."

"Tapi apa?" Rein menunggu jawabannya.

Irin tidak mau mengakuinya. Jadi, dia memeluk sebelah tangan Rein dan berjalan di sampingnya. "Kayak gini berarti gue nggak malu jalan sama lo, kan?"

"Ya ...." Rein menelan ludahnya susah payah. "Tapi lo nggak perlu sampai kayak gini juga ...," katanya yang terdengar sedikit tidak nyaman.

"Kenapa? Lo nggak suka? Mentang-mentang payudara gue biasa aja, makanya lo nggak suka gue giniin, iya?"

Rein meringis pelan. "Bukan gitu juga maksudnya, Rin." Dia mengambil tangan Irin yang memeluk tangannya, lalu dia genggam tangannya dengan erat. "Kalau kayak gitu malah kelihatan malu-maluin, mending gandengan tangan biasa kayak gini, kan?"

Irin cemberut. "Gue malu-maluin, ya?"

Rein berdecak pelan. "Kok malah jadi serba salah gini sih dari tadi?" Dia mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Lo nggak malu-maluin, sama sekali nggak malu-maluin gue, ngerti?"

Irin mengangguk dengan senyum lebar menghias bibirnya. "Iya. Omong-omong lo pernah ke mall nggak, Rein?"

"Soal apa itu?" Rein mendengkus pelan. "Ya jelas pernah lah, Rin. Minimal sebulan sekali gue ke sini."

"Sendirian?" tanya Irin sambil menatapnya curiga. Mungkin saja Rein datang ke sini bareng teman kencannya atau bagaimana, kan?

"Sama mama," jawab Rein tanpa beban.

"Hah?!" Irin menoleh dan kontan menatapnya syok.

"Gue biasanya belanja ke mall bareng mama. Karena gue suka nggak pede sama selera fashion gue yang biasa aja, jadi gue bawa mama belanja. Biar mama yang pilihin gue baju dan segala macam keperluan gue selama ini."

"Lo serius?" Irin masih tidak percaya. Rein yang terlihat dewasa dan mandiri ini ternyata masih anak mama soal urusan belanja baju-bajunya.

Rein mengangguk tanpa sedikit pun merasa malu. "Lo bisa tanya sama papa kalau masih nggak percaya. Dia orang pertama yang bakal ngomel waktu mama gue bawa jalan ke mana-mana."

Irin tersenyum tipis. "Jangan bilang Om Raffa cemburu sama lo lagi?"

"Iya, dia kan emang cemburuan gitu orangnya." Rein tersenyum tipis, kemudian dia melihat toko langganannya setiap kali datang ke sana. Dia pun menunjuk ke arah toko itu berada. "Mampir sana bentar mau, ya? Gue mau beli setelan buat kerja."

Irin melirik toko itu, kemudian dia mengangguk setuju. Itu memang toko yang menjual setelan kerja milik wanita dan pria. Irin pernah masuk ke sana sewaktu membelikan dasi untuk kado ulang tahun ayahnya. "Gue ikut, ya?"

Rein mengangguk. "Bantuin gue pilih-pilih baju sekalian kalau bisa."

"Ya bisalah kalau cuma gitu doang! Masa gue nggak bisa, sih?" sombongnya.

Dan benar saja, baru dua puluh menit masuk ke sana, Rein sudah selesai memborong semuanya. Untungnya Irin benar-benar jago memilih pakaian yang cocok untuknya, bukan cuma asal ambil dan memasangkannya ke tubuh Rein agar terlihat sedap dipandang saja.

Saat Rein membayar tagihannya, Irin tiba-tiba bersuara. "Kalau kerja inget yang di rumah! Mentang-mentang udah ganteng dan modis, lo jadi tengil di luaran sana!" peringat Irin pada suaminya.

Rein tersenyum tipis. "Takut ya, neng?"

"Iyalah, kalau lo kepincut sama mereka terus—"

"Nggak bakal," potong Rein dengan percaya dirinya.

"Yakin banget, bang?" cibir Irina.

"Yakinlah! Udah punya istri cakep kayak lo gini, masa masih mau cari yang lain lagi? Nggak tahu diri itu namanya!" Rein tertawa pelan.

"Iyain aja! Abis ini rencananya lo mau ke mana? Mau beli sepatu baru sekalian, nggak?" Irin bertanya, karena dia memang tidak punya tujuan lagi sekarang.

Sebenarnya dia punya banyak tujuan, tapi dia tidak berani melakukannya. Takut bila Rein sampai terkena serangan jantung saat melihatnya.

Rein menggelengkan kepala. "Sepatu kerja gue masih ada lima pasang, sepatu biasa ada beberapa, dan semuanya masih layak pakai. Lo sendiri mau beli sesuatu mungkin?"

"Hm ...." Irin terdiam, tampak sedang menimang-nimang apa yang mungkin bisa dia beli sekarang. "Sebenernya gue pengen bikini, tapi nggak tahu kapan bakal kepakai."

Rein langsung mengerling begitu mendengar kata bikini keluar dari mulut istrinya. Otak kotornya langsung bekerja dua kali lipat lebih cepat. "Mau beli lingerie aja? Bisa langsung dipakai ntar malam."

Irin langsung melotot tajam. "Gila! Gue nggak mau! Malu banget pakai begituan tahu!"

"Ngapain pakai malu segala? Padahal gue udah pernah lihat lo nggak pakai baju, kenapa masih harus malu?" Rein mengedipkan sebelah matanya dengan tatapan menggoda.

Irin menggeleng tegas. "Nggak, nggak! Enak aja lo! Lagian lingerie hadiah kemarin belum pernah dipake, ngapain beli lagi kalau endingnya nganggur juga, kan?"

"Ya ... salah lo sih nggak mau pakai. Padahal gue nggak keberatan lihatnya," jawabnya santai dengan muka tanpa dosa.

Irin memukul pelan bahu suaminya. "Itu mah emang mau lo, Rein!"

Rein tertawa pelan. "Terus lo nggak mau beli apa-apa sekarang?"

"Emm ... kayaknya gue mau beli celana dalam ...."

Rein mengangguk mengerti. "Mau ditemani?"

"Lo nggak malu emangnya?" Irin tersenyum menggoda. "Kalau nggak malu, boleh-boleh aja! Tapi matanya jangan jelalatan, ya!"

Rein tersenyum masam. "Gue bakal berusaha sebaik-baiknya!"

Irin tersenyum manis, lalu menarik Rein menuju toko yang menjual pakaian dalam khusus milik wanita. Di mana sebagian besar isi pengunjungnya adalah wanita.

____

Jangan lupa komen!

Yang mau masuk grup WA aku, chat aku ya!
0881-7977-007

Grup masih sepi, sangat2 sepi 😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top