Crazy - 20
SEPERTINYA mereka memang harus bercerai secepatnya. Bukan karena masalah tidak akur, tidak cocok, beda pendapat atau apa pun itu, tapi karena Irin tidak sanggup mengimbangi nafsu Rein yang ternyata sangat luar biasa.
Minimal tiga kali, tapi mintanya sampai lima kali. Sumpah! Sudah gila apa gimana dia, sampai bisa melakukannya sebanyak itu?
Mana saat itu dia dalam keadaan kelelahan setelah lembur sampai tengah malam. Terus, bagaimana kalau dia dalam keadaan prima? Sepuluh ronde semalam gitu?!
Irin bergidik ngeri membayangkan malamnya bersama Rein setelah ini. Sumpah, Irin tidak pernah menyangka Rein punya performa menakjubkan dalam urusan ranjang. Pantas saja dia tidak pernah absen ke kelab malam untuk mencari wanita jalang.
Irin mendesis. "Pantes aja, kalau diem di rumah terus beneran bakal karatan kali itu burungnya."
Walaupun begitu, Irin akui kalau Rein memang ahli dalam urusan percintaan di atas ranjang. Dia melakukan sesuatu yang luar biasa bersamanya. Dan bukannya takut ataupun ragu, Irin merasa nyaman saat melakukannya bersama Rein.
Pipinya sontak saja bersemu. Dia yang baru bangun jam sebelas pagi, itu pun karena perutnya minta di isi, merasa sangat-sangat malu.
Dia tidak pergi ke mana-mana hari ini. Tidak seperti biasa saat ia pergi bersama Syila dan menuju restoran Tante Nayla untuk belajar memasak, dia hanya berdiam diri di rumah karena malu datang telat dan bakal ditanyai macam-macam oleh orang lain.
Irin tidak begitu ahli berbohong. Walaupun dia punya sebuah rahasia, tapi tidak lantas sanggup menutupi rahasianya dengan sebuah kebohongan belaka. Dia hanya bisa mengelak dan mengalihkan pembicaraan saja.
Jika Rein serius ingin mengetahuinya dan mulai mencecarnya, maka semua rahasianya pasti terkuak olehnya.
Untungnya Rein tidak mau melakukannya. Dia terlalu tak acuh atau mungkin dia memang peduli, tapi memutuskan untuk diam saja sampai Irin bersedia mengatakannya tanpa perlu dipaksa.
Apa pun itu, Irin merasa bersyukur atas sikapnya.
Suara ketukan pintu membuat Irin mengernyitkan dahi. Jangan-jangan Syila datang ke sini lagi?!
Walaupun dia cukup berteman baik dengan adik iparnya, tapi kalau Syila sampai bertanya soal apa yang telah terjadi padanya tadi malam sampai terlambat bangun dan ... mana mungkin dia bisa mengatakan alasannya!!!
Walaupun mereka kini bersaudara, tetap saja membahas masalah ranjang itu agak ... sedikit memalukan, bukan?
Irin berjalan menuju pintu, membukanya, dan ternyata mama mertuanya yang berdiri di depan matanya. Astaga! Ini lebih buruk lagi daripada si Syila!
Lagian, kenapa mama mertuanya datang ke apartemen anaknya? Mau lihat gimana perkembangan pernikahan anaknya atau gimana, gitu?
Irin meringis pelan dan meminta mama mertuanya masuk ke dalam. Komentar pertamanya sebelum duduk di sofa langsung membuat Irin terkena serangan jantung mendadak.
"Tempat ini nggak banyak berubah, ya? Masih sama aja kayak sebelumnya, masih kosong nggak ada hiasan apa-apa," katanya santai, tapi di telinga Irin terdengar berbeda sekali.
Ucapannya bak sindiran halus untuknya yang selama menikah dengan Rein, Irin tidak pernah memperhatikan rumahnya dengan Rein. Minimal menambahkan hiasan atau apa yang membuat tempat gersang itu terlihat lebih berwarna daripada sebelumnya.
"Rein-nya nggak mau, Tan, eh, Ma!" Irin merutuki latahnya yang masih suka memanggil Riri dengan embel-embel Tante, padahal sekarang dia sudah jadi mama mertuanya.
"Dia, sih!" Riri berdecak sambil mengibaskan sebelah tangannya. "Sama sekali nggak bisa diharapkan. Model dia gitu mirip banget sama bapaknya, susah banget diajak estetik kayak gitu!"
Irin mengakuinya. Kadang kala memang Rein terlihat mirip sekali dengan bapaknya. Namun entah kenapa kata ayahnya berbeda, Rein itu lebih mirip ibunya. Entah bagian mana Rein yang mirip dari Riri, Irin tidak mengetahuinya.
"Tapi dapurnya udah dipakai, kan? Nggak dianggurin kayak dulu lagi, kan?"
Pertanyaan itu sukses membuat Irin meringis. Memang sudah dipakai, tapi tetap dipakai seadanya, karena dia baru belajar memasak.
Irin mengangguk. "Udah, kok, Ma, tapi ya gitu ...."
Riri mengangguk mengerti. "Syukur kalau udah dipake, jadi tempat itu ada gunanya juga akhirnya. Bukan cuma buat nyeduh mie cup aja tiap harinya!"
Irin meringis. "Dia segitunya emang, Ma? Bukannya dia suka pesan online gitu, ya?"
"Kalau cuma sendiri, mana mau pesan online dia, Rin?" Riri geleng-geleng. "Paling juga nunggu pagi, sarapan di kafetaria kantor sekalian."
Irin menatap Riri dengan tatapan tidak percaya. Riri menunjukkan jari jempolnya. "Valid infonya, ada banyak saksinya, kok."
"Nggak nyangka aja kalau dia biasanya kayak gitu," Irin tersenyum simpul. Kemudian ia meringis saat mengingat roti yang dia temukan di atas nakas begitu bangun tidur tadi.
"Kalau kamu udah bisa masakin dia setiap hari, mama kan jadi tenang nyerahin anak nakal itu sama kamu, Rin." Riri tersenyum manis.
Irin meringis. Dia berpikir untuk cerai, ini mama mertua malah berencana nyerahin anaknya begitu saja untuk diurus. Astaga?!
"Kenapa muka kamu masam gitu? Dia bikin ulah sama kamu?" Riri menatapnya penasaran. "Jangan bilang kalau dia selingkuhin kamu?!"
Panik, Irin langsung menjawabnya dengan cepat. "Nggak, Ma! Bukan masalah itu—"
"Iya, sih, dia itu setipe sama Raffa. Kalau udah nikah, dia bakal tobat dan langsung jadi setia. Apalagi kamu istrinya, mana mungkin dia selingkuhin kamu, kan?"
Emangnya ada hubungannya aku istrinya atau bukan, ya? batinnya tidak paham di mana hubungannya Rein jadi setia dan dia yang menjadi istrinya.
"Terus kenapa?" Riri dengan cepat mendekatkan wajahnya ke Irin yang duduk di sampingnya, tatapannya jadi horor saat memandangi menantunya itu. "Jangan bilang kalau dia ejakulasi dini?"
"Hah?! Ya enggaklah, Ma! Astaga!" sangkal Irin cepat-cepat, bahkan refleks dia menyangkalnya sampai seperti itu.
Lagian mama mertua gue ajaib banget! Masa iya nanyain masalah kayak gini ke gue? Terus kalau anaknya beneran ejakulasi dini gimana? Dia mau nganterin Rein berobat gitu?
"Iya juga sih, bapaknya aja kuat sampai sepuluh kali, masa anaknya kena ejakulasi dini. Nggak bisa mama terima sama sekali!" Riri mengatakannya dengan ringan, tapi Irin sontak saja menatap mama mertuanya dengan horor.
"Sepuluh kali?"
Riri mengangguk dengan wajah tanpa dosanya. "Rein nggak sanggup?"
"Bukannya nggak sanggup ...." Mereka belum mencobanya sampai sebanyak itu, karena mereka baru mulai melakukannya semalam. "Mama sendiri, emang sanggup setiap hari harus layanin Om Raffa, eh papa mertua sampai sebanyak itu?"
"Kalau nggak sanggup, kasih aja obat tidur di makanannya, Rin." Riri menunjukkan jari jempolnya. "Abis makan, dia tidur, kita selamat, aman sampai besok pagi."
Irin mengerjapkan matanya polos. Seriusan ini mama mertuanya? Kok dia jadi kasihan sama papa mertua, ya?
"Mama saranin kamu juga kayak gitu, kalau Rein beneran sama kayak bapaknya itu. Bisa remuk kalau kamu digarap sama dia setiap hari." Riri tersenyum manis, lalu berbisik pelan. "Ini rahasia kita aja, ya? Syila jangan dikasih tahu! Dia kan nggak tahu rasanya jadi menantu cowok keturunan Gunawan yang kayak gitu."
Irin mengangguk paham. Syila kan keturunan Gunawan, dia bakal menikah dengan putra sulung dan pewaris keluarga Adytama. Beda, nasib mereka beda, tapi nasib Riri dan Irin sama.
"Omong-omong, mama ngapain ke sini? Jangan bilang karena emang pengen ngasih tahu masalah obat tidur itu tadi?" Irin bertanya sambil menatap mama mertuanya heran.
"Di rumah nggak ada kerjaan, katanya kamu biasanya nongkrong di restoran, tapi pas mama sampai sana, kamunya nggak ada. Ya udah, mama ke sini aja, nyamperin kamu! Sekalian lihat gimana keadaan kamu dan pernikahan kalian selama ini, kan?"
Riri tersenyum manis. "Lain kali, mama datang bawa sayur atau buah-buahan aja, biar bisa kamu bisa masak sendiri atau kamu camilin setiap hari. Sehat-sehat ya, Rin! Biar bisa cepet kasih mama cucu!"
Irin mendelik. Nikah baru seumur jagung, bercinta baru semalam, ini mama mertua udah request cucu aja!
Padahal Irin berencana pisah karena nggak sanggup melayani nafsu liar suaminya. Apa ... dia beli obat tidur juga buat jaga-jaga kalau Rein tidak tahu aturan main, ya?
___
Part yang sungguh 🤧🤧🤧 membagongkan 😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top