Crazy - 18

JIKA mereka memang serius ingin menjalani pernikahan ini untuk selamanya, maka langkah pertama Irin harus memberikan hak Rein sebagai suaminya.

Sesuatu yang sejak awal tidak pernah ingin Irin berikan padanya, karena dia takut hubungan mereka akan berubah setelah mereka berpisah.

Irin memejamkan mata, menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napas secara perlahan sebelum mulai bicara. "Rein!"

"Apa?" Rein menatapnya waspada. Sepertinya laki-laki takut jika Irin mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan perceraian di antara mereka.

Segitu takutnya dia sampai memasang wajah defensif dan siap menyerang balik kapan saja. Irin mengenal Rein dengan baik. Dia sangat yakin itu, karena selama ini mereka tumbuh bersama. Jadi dia bisa memahami apa yang sedang berada di pikiran laki-laki itu, setelah mengatakan semua itu padanya.

Irin tersenyum tipis, wajahnya memerah saat dia memutuskan untuk menanyakannya. "Lo masih mau tidur sama gue, nggak?"

Rein mengerjap, ekspresi wajahnya yang terlihat polos benar-benar menggemaskan sekali sejak dulu. Senyum Irin melebar, dia mengulurkan tangan dan menyentuh rahang laki-laki yang beberapa hari lalu resmi menjadi suaminya itu.

"Lo udah siap emangnya? Bukannya kapan hari lo bilang ke gue kalau lo butuh waktu?" Rein menatapnya serius.

"Kalau lo masih mau, gue siap, tapi dengan tiga syarat," katanya setelah memikirkan semua kemungkinan ke depannya, jika dia mau memberikan penawaran itu pada suaminya.

Rein mengerjapkan matanya sekali lagi, mencoba mengendalikan diri saat menjawab ucapannya. "Apa syaratnya?"

"Satu," Irin menarik napas, Rein pun tanpa sadar melakukan hal serupa, "gue nggak mau hubungan kita berubah hanya karena sex. Gue mau kita masih tetap kayak gini, walaupun kita udah nikah dan udah tidur bareng, gue nggak mau hubungan kita berubah jadi canggung sewaktu-waktu."

Rein memejamkan mata, sepertinya dia memahami apa yang dimaksud Irin dengan syarat pertamanya, karena dia pun memikirkan hal serupa. "Oke, gue ngerti."

"Dua," lagi, Irin menarik napas panjang dan Rein melakukan hal serupa, "pelan-pelan."

Rein menatapnya syok. "Lo masih perawan?" tanyanya terkejut.

"Maaf bikin lo kecewa, tapi gue udah nggak perawan." Irin menatapnya dengan wajah datar.

"Terus, kenapa harus pelan-pelan?" Dalam hati Rein mengumpat, kalau hanya pelan mana nikmat?

"Gue nggak tahu cara main lo kayak gimana dan gue nggak terbiasa. Gue takut bakal kenapa-kenapa, jadi pelan-pelan aja. Kalau udah terbiasa, itu terserah lo mau kayak gimana," jelasnya panjang lebar.

Wajahnya merona, tentu saja membahas sesuatu seperti ini bukanlah keahliannya. Dia bahkan tidak pernah melakukannya sebelumnya. Namun Rein harus tahu, jika dia bakal kesulitan mengimbangi pengalaman laki-laki itu.

Irin bukan pecandu seks. Dia memang pernah melakukannya, tapi bukan berarti dia sering melakukannya.

Rein mengangguk mengerti. "Oke, gue mengerti, terus apa syarat yang ketiga?" tanyanya mulai tidak sabar.

"Pakai pengaman."

"Hah?!" Rein langsung mengangakan mulutnya dan menatap istrinya dengan tatapan tidak percaya. "Bukannya gue udah pernah bilang kalau gue aman-aman aja? Kenapa gue masih harus pakai pengaman segala?"

"Karena gue belum siap hamil sekarang. Astaga?! Gue masih muda, sekarang hubungan kita juga masih belum jelas bakal kayak gimana. Kalau tiba-tiba aja gue hamil dan hubungan kita berantakan lagi, lo mau gunain anak sebagai alasan kita biar tetap bisa bersama?" Irin terpaksa mengatakan kemungkinan terburuk seandainya mereka benar-benar berpisah.

Rein tersenyum masam. "Gue juga belum mau punya anak sekarang, tapi gue nggak mau pakai pengaman."

"What?!" Irin menatapnya tidak percaya.

"Gue bisa keluarin di luar—"

"Jangan bercanda, kalau lo lupa gimana?!" Irin membentaknya.

"Nggak, gue nggak akan lupa." Rein menggertakkan gigi-gigi gerahamnya, menahan kesal yang tengah melingkupi hatinya. "Kalau lupa dan bikin kita punya anak juga nggak ada salahnya. Kita udah nikah, jadi sah-sah aja punya anak kapan aja, kan?"

Irin tersenyum masam. "Rein!"

"Kalau lo nyuruh gue pakai pengaman, gue nggak mau—"

"Jangan egois kayak gitulah, Rein! Lo kalau tidur sama cewek-cewek lo dulu emang nggak pernah pakai pengaman apa?" Irin menatapnya sebal.

"Rin, lo bukan mereka. Lo bukan cewek jalang yang cuma gue jadiin pelampiasan nafsu gue doang. Makanya gue nggak mau pakai pengaman, karena lo bukan mereka, lo istri gue, ngerti nggak?" jawabnya tegas.

Irin mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

"Oke, gue nyerah, tapi sumpah gue belum pengen hamil sekarang, Rein." Irin menatapnya lesu.

"Gue ngerti, tenang aja gue nggak bakal bikin lo hamil dini," Rein memejamkan matanya.

Walaupun dia sangat ingin punya anak dari Irin, tapi tentunya bukan sekarang. Saat dirinya dan Irin belum benar-benar siap menerima kehadirannya.

"Jadi ...." Rein menyentuh tangan Irin yang tak kunjung berhenti membelai rahangnya sejak tadi. "Kapan kita mau mulai?"

"Mulai apa?"

"Tidur bersama layaknya pasangan suami istri pada umumnya." Rein menyeringai tipis. "Kapan kita akan mulai bercinta?"

Irin menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Apa Rein mau melakukannya malam ini juga? Laki-laki itu serius? Sebentar lagi tengah malam, besok dia masih harus bekerja, tapi Rein nekat mau melakukannya?

Apa dia tidak takut tubuhnya lelah? Irin yang diam saja merasa lelah bukan main setelah melakukannya dulu?

"Emangnya lo nggak cape?"

"Gue?" Rein menyeringai lebar. "Tenang aja, kalau cuma buat muasin istri, gue yakin performa gue masih sanggup diakui."

Irin bergidik ngeri. Seriusan ini?

____

Pengen bikin adegan ++ buat cerita ini, tapi ntar gak jadi cerita romance-commedy lagi, tapi jadi cerita stensil. Ya udah, lupain aja dulu. 😝

Mungkin fans servicenya bakal aku post di KaryaKarsa aja kalau pada setuju.

Udah pada follow aku di sana, kan?

✌️🤣

/kabuurrr/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top