Crazy - 07

"RIN!"

"Kenapa?" Irin membalas tatapannya.

"Lo yakin mau beli ini semua?"

Rein menatap horor peralatan memasak yang dipilih Irin dan siap dibawa pulang ke apartemennya.

Dia tidak masalah membeli semua itu, tentunya jika barang-barang itu memang berguna untuk mereka, kenapa tidak?

Masalahnya, baik dia maupun Irin jelas-jelas tidak ada yang bisa memasak. Lalu untuk apa membeli semua peralatan dapur ini? Mau dibuat koleksi atau buat penghias dapurnya yang kosong melompong gitu?

Jangan bercanda dengannya ....

"Yakinlah! Nanti beli telur, sayur, dan rempah-rempah juga, ya."

"Lo mau masak?" Rein mengernyitkan dahi, menatap istrinya curiga. "Emang bisa?"

Irin mengatupkan bibirnya. "Mau bilang bisa, sih, kayaknya kecepatan. Gue baru belajar soalnya. Nggak boleh emangnya?"

Rein tidak berkomentar. Dia membiarkan istrinya mengambil apa saja yang Irin perlukan dan berharap keduanya lekas pulang dari sana. Rein mulai merasa tidak nyaman akan pandangan ibu-ibu yang tengah melirik mereka tanpa suara.

"Rein!"

"Hm?"

"Lo mau makan apa nanti?"

Pertanyaan itu sukses membuat Rein mematung. Dia tidak terlalu pemilih, apa saja, asal bisa dimakan dan membuat perutnya kenyang, itu sudah lebih dari cukup untuknya.

"Apa aja, asal bisa dimakan," komentarnya.

Irin terlihat mengangguk, mereka membawa troli yang sudah penuh itu ke meja kasir, saat matanya melihat seorang pria dengan setelan kemeja rapi dan berjas sedang berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.

Rein merasakan firasat buruk kali ini.

"Irin!"

Irin menoleh, matanya membelalak melihat pria terakhir yang berkencan dengannya datang dan langsung memeluknya erat. Irin memandangi Rein yang sedang melotot sembari menghunjamkan tatapan mematikan ke arahnya.

"Sumpah, akhirnya gue bisa ketemu lo lagi!" Pelukannya semakin erat bahkan terasa seperti sedang berusaha meremukkan tulang-tulang di tubuh kecilnya.

Irin mencoba melepaskan diri, tapi pria itu semakin mengeratkan pelukannya, sampai Rein menarik paksa pria itu agar menjauh dari istrinya.

"Sori, Bung, dia bini gue. Lo boleh bahagia karena kalian bisa ketemu lagi, tapi bukan berarti lo boleh peluk-peluk dia seenak jidat lo sampai mau ngeremukin badannya kayak gitu. Nggak sopan dan nggak punya etika."

Irin langsung berlari ke belakang tubuh Rein, bersembunyi seandainya Joan menariknya lagi, lalu memeluknya kembali sampai dia nyaris mati. Kenangan terakhirnya dengan mantan pacar satu itu sudah jelek. Dia tidak mau menambah memori buruk lagi tentang Joan yang bisa menambah trauma hidupnya.

"Lo suaminya?" Pertanyaan itu membuat Rein menatap pria itu dengan ekspresi menantang.

"Iya, gue suaminya."

Joan mendengkus keras. "Gue nggak habis pikir, kenapa Irin mau sama lo? Dilihat dari mana-mana juga gue lebih baik dari lo yang ...," Pria itu menatap Rein dengan ekspresi meremehkan, "jelek, miskin, nggak punya etika."

"Lo nggak pernah ngaca, ya? Muka kayak kaleng remuk gitu ngatain gue jelek? Dan lagi, sejak kapan gue miskin dan nggak punya etika? Lo kali, yang miskin dan nggak punya etika."

Rein mendengkus. Tentu saja, kalau keluarga dia miskin, mana berani keluarganya melamar keluarga Irin yang konglomerat itu.

"Halah, dijodohin doang bangga!"

"Kenapa enggak bangga coba? Gue bisa nikah sama dia," Rein menunjuk Irin dengan dagunya, "nah lo, pacaran doang diputus kemudian."

Irin menarik kaus yang Rein gunakan, meminta perhatian suaminya. Saat Rein menatapnya, dia berbisik, "Ayo pulang!"

"Bentar." Rein kembali menatap pria asing yang tiba-tiba mengganggu acara belanja istrinya dengan senyuman miring. "Satu lagi, gue lebih lama kenal Irin daripada lo. Waktu kita masih sama-sama bayi, bahkan saking seringnya kita bareng-bareng dari kecil, gue nggak pernah sekalipun mikir kalau Irin bakal pergi ninggalin gue demi cowok lain. Apalagi cowoknya sejelek lo."

Rein menyeret Irin segera ke kasir, meninggalkan pria yang masih ternganga di tempat mereka berdiri tadi.

"Siapa?" tanya Rein begitu mereka selesai mengantre.

"Joan."

"Yang nelepon kemarin itu?" Rein menyipitkan matanya.

Irin mengangguk, desahan kasar ia keluarkan dari mulut. "Moga aja nggak pernah ketemu dia lagi!"

Rein hanya melirik istrinya dari samping. Ada yang disembunyikan darinya. Jelas, Rein bisa melihatnya dengan jelas. Namun, dia tidak berani bertanya.

Lebih baik menunggu Irin terbuka padanya, daripada dia harus memaksa dan berakhir Irin menjauhinya, kan?

***

Rein memandang horor telur dadar di depannya. Warnanya yang menghitam sebagian besar nyaris membuatnya lupa kalau yang ada di depannya adalah makanan, bukannya pantat panci yang pernah dia gosongkan.

Rein menelan ludahnya susah payah. Dia menatap Irin yang memandanginya dengan menggigit bibir bawah.

"Pasti nggak enak, ya?" katanya dengan suara lemah.

Rein segera memakan telur itu daripada melihat Irin menangis di depan wajahnya, tapi mulutnya berhenti bergerak begitu telurnya masuk ke dalam mulut dan mulai mencecap rasa.

Dia menatap Irin dengan mata melotot.

Sudah tidak ada rasa telur sama sekali, rasanya pahit dan rasa asinnya sedikit tidak normal. Dia menatap Irin yang tengah menunggu pendapatnya dan Rein hanya bisa menggeleng, sebelum lari ke wastafel dan memuntahkan telur dadar yang ada di mulutnya.

"Mendingan pesan aja, Rin. Gue nggak siap sakit perut abis makan masakan lo."

Rein menoleh ke belakang, Irin sedang memajukan bibirnya, merajuk. Perempuan itu mencicipi telur dadar yang ia buat dengan hati-hati dan apa yang Rein katakan memang benar, lebih baik mereka memesan makanan daripada sakit perut kemudian.

Rein mendekat, dia mengusap kepala istrinya dengan perlahan. "Belajar dulu yang rajin." Irin langsung membuang muka. "Apa buka tutorial masak telur dadar di You**** aja?"

"Emang boleh?"

Rein mengangguk. "Tapi sekarang pesan makan dulu, abis itu lo boleh eksperimen lagi."

Irin cemberut. "Ntar nggak ada yang makan dong!"

"Gue yang makan nanti, janji, deh. Asal rasanya normal, gue makan abis semuanya."

"Serius, ya?" tanya Irin dengan tatapan penuh harap.

Rein hanya mengangguk seraya berdoa, semoga besok dia masih baik-baik saja!

____

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top