24. Mencari yang Hilang

Hai, selamat pagi

Aku flu nih, padahal besok mau mudik :(

"Yang ada itu ada, yang tidak ada itu tidak ada. Kenapa orang-orang terus menerus memperdebatkan sesuatu yang sudah jelas jawabannya."

Jangan lupa pencet bintangnya

Selamat membaca

Dan selamat jatuh cinta!!

***

Apakah cinta harus memiliki? Jawabannya tidak harus. Semua orang tahu akan hal itu. Akan egois sekali jika saat kita mencinta, kita memiliki obsesi untuk memilikinya. Cinta bukan satu-satunya hal di dunia ini yang patut untuk diperjuangkan mati-matian. Memang harus diperjuangkan, tetapi masih ada banyak hal yang lebih penting dari cinta. Masa depan.

Kaline sadar selama ini ia dan Jonathan sama-sama saling membohongi diri. Saling mencintai, saling memiliki rasa, saling terikat oleh cinta, tapi membohongi hubungan dengan terus bersahabat.

Kaline bukan bocah SD yang tidak tahu bahwa perhatian Jonathan selama ini karena dia memiliki rasa padanya. Dan Kaline juga terus dekat dengan Jonathan karena ia memiliki perasaan yang sama, tidak mau jauh.

Hanya saja, ada yang lebih penting dari perasaan mereka berdua.

Pernyataan Jonathan beberapa menit yang lalu membuat meja menjadi sangat lenggang. Bahkan meja di sekeliling juga mendadak terasa hening.

"Gu... gue gak salah denger kan?" awalnya Flora menatap Yogi lalu pada Fauzan dan berakhir menatap Kaline.

Pandangan Kaline masih tertuju pada pintu keluar kantin, tepat dimana ia terakhir melihat punggung Jonathan sebelum menghilang dari pandangan.

"Jonathan...."

"Lo sendiri tahu kan gak ada persahabatan yang murni antara cewek dan cowok?" potong Kaline sebelum sempat Flora menyelesaikan kalimatnya.

Flora tampak kaget sama halnya dengan Yogi dan Fauzan. Ia memaklumi hal tersebut. Karena selama ini hubungannya dan Jonathan sangat dekat bagai sahabat yang tak berbeda gender.

"Gue juga jatuh cinta sama dia." Seulas senyum Kaline terukir. "Mungkin gue yang lebih dulu suka sama Jonathan. Tapi, kita sama-sama gak bisa. Bukan karena kita beda, tapi emang kita gak bisa. Gak bisa sekarang. Atau mungkin sampai nanti gak akan pernah bisa."

"Sumpah." Fauzan memegangi dadanya. "Gue kaget."

Belum selesai Fauzan kembali menambahkan setelah tertawa kecil. "Tapi, gak tahu kenapa gue gak terlalu kaget juga. Gue seperti udah lama menduga hal ini terjadi. Gimana Jonathan jaga lo dan gimana lo juga jaga Jonathan. Kalian berdua saling melengkapi."

"Lo salah," tukas Kaline. "Justru Jonathan yang lebih banyak melengkapi kekurangan gue. Gue gak merasa pernah melengkapi kekurangan yang ada pada Jonathan."

"Apa karena itu lo dan Jonathan gak bisa sama-sama?" tanya Yogi setelah sekian lama diam.

Kaline menggeleng. "Bukan," jawabnya. "Alasan kita berdua gak bisa sama-sama karena hal lain. Masa depan. Kita takut sama masa nanti, takut saling membenci, atau mungkin karena hal lain. Entahlah, terlalu rumit. Yang pasti gue gak bisa sama dia."

Flora, Yogi, dan Fauzan tampaknya masih tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya. Tetapi Kaline tidak peduli. Ia tidak mau menjelaskannya. Karena terlalu rumit. Ia sendiri sulit untuk menjelaskan pada dirinya sendiri seperti apa. Hanya intinya yang bisa ia tahu. Kaline dan Jonathan tidak bisa.

"Cinta gak perlu saling memiliki. Gak perlu saling mengungkapkan juga. Cinta bukan soal memiliki atau mengungkapkan, tapi tentang bagaimana hati dua orang terikat oleh sesuatu yang ajaib bernama rasa."

Kaline merasa aneh sendiri dengan perkataannya. Terdengar alay. Tapi sudah terlanjur diungkapkan. Lagipula ia tidak mendapat protesan atau ejekan dari tiga orang ini karena perkataannya. Jadi ya sudahlah.

"Gue takut sama masa depan, takut kejadian seperti yang menimpa mama terulang. Gue juga takut kalau gue sama Jonathan jadian, antara gue pasti gak sama lagi. Seperti ombak, dia mungkin akan selalu kembali ke tepi, tapi yang kembali pasti gak akan sama lagi."

***

Walaupun situasi masih terasa aneh bagi Flora dan yang lainnya. Kaline dan Jonathan biasa saja. Bahkan mereka berdua pulang bersama setelah latihan dan masih sering saling ejek dan mejahili satu sama lain.

Memang selalu seperti ini. Kalaupun ada salah satu dari mereka mengungkapkan peraasaan, nantinya tidak ada yang berubah. Persahabatan, tidak boleh rusak karena ungkapan cinta.

"Seharusnya tadi lo gak bilang sama mereka." Omel Kaline sesaat setelah mobil hitam yang dikendarai Pak Iklas melaju meninggalkan pelataran parkir SMA Bumi Nusantara. "Gue jadi susah jelasin sama mereka."

"Tapi lega juga kan karena mereka akhirnya bisa tahu hubungan kita kayak gimana?" tanya Jonathan.

Kaline mengangguk. "Lega sih. Tapi, gue gak tega lihat muka mereka yang aneh banget. Lo gak tahu aja dari jam pertama sampai jam terakhir, bahkan sampai latihan panahan selesai, Flora terus lihatin gue. Nanya gue ini itu."

"Fauzan juga sama." Jonathan tertawa. "Dari jam pertama sampai terakhir dia terus melotot lihatin gue. Dia juga nanya apa gue selama ini ngetawain dia karena pernah ngejar-ngejar lo. Dia geleng-geleng terus sambil bilang rumit... rumit... gue gak paham."

Kaline tertawa melihat Jonathan yang mempraktekan bagaimana cara bicara Fauzan.

"Udahlah, jangan bahas itu lagi." Putus Kaline pada akhirnya. Membahas tentang perasaan memang tidak pernah ada habisnya. Perasaa selalu menjadi topik pembicaraan paling melelahkan yang ada di dunia ini.

"Yeji sama tante Tamara katanya pulang hari ini?"

Kaline mengangguk. "Tahu gak, tahu mereka mau pulang gue malah ngerasa aneh. Gue seperti udah terbiasa sama Yeji, sama ibunya juga."

"Lo gak mau mereka pulang?"

"Jujur iya." Kaline menghela napas. "Tapi kalau mereka gak pulang-pulang, Kak Lana yang bakalan jadi Neng Toyib. Dia yang gak bakalan pulang selama ada Yeji sama tante Tamara di rumah."

Tiba-tiba saja Jonathan merangkulnya. "Gue sayang sama lo."

Kaline terkekeh. "Gue juga."

***

Ada yang hilang. Atau mungkin tak pernah ada. Sesuatu yang penting tapi tak sebelumnya tak ia anggap penting. Setelah kepulangan Yeji rumah terasa amat sepi. Lana sudah pulang sejak dua jam lalu. Langsung masuk kamarnya.

"Kenapa?" Jonathan masuk ke dalam rumahnya, meletakan sekeresek di atas meja.

Kaline menatap ke arah keresek yang Jonathan letakkan. Pisang yang matang sempurna berwarna kuning kelihatan dari sela-selanya karesek yang sedikit terbuka itu.

"Ada kiriman dari nenek. Pisang sama duku."

Kaline mengambil keresek itu, mengeluarkan duku dan memakannya. "Masih manis, duku kiriman nenek lo selalu manis."

Jonathan tersenyum. "Lo juga manis," ucapnya lalu duduk di samping sahabatnya.

"Ada yang lo pikirin?"

"Ada." Kaline melempar asal kulit duku ke atas meja. Membuat Jonathan geleng-geleng kepala sambil memungurt satu suwir kulit duku tersebut yang jatuh ke bawah meja.

"Tentang?"

"Yeji, papa, tante Tamara, mama, Kak Lana, dan gue."

"Maksud lo?"

Kaline mengangkat bahu. "Gue juga gak tahu apa. Serasa ada yang hilang. Tapi gue gak tahu apa itu pernah ada atau enggak. Gue ngerasa itu sesuatu yang penting tapi selama ini gak dianggap penting." Jeda, Kaline kali ini memakan pisang raja yang Jonathan bawa.

"Mungkin itu penting. Mungkin itu yang buat keluarga gue selama ini terasa aneh. Yang penting tapi tak pernah dianggap penting. Seperti terlupakan begitu aja. Gak tahu letak salahnya ada di siapa. Gue gak tahu. Terlalu rumit. Gue udah mencoba buat menerima Yeji, dan gue berhasil melakukannya. Tapi, gue masih ngerasa ada yang aneh, kayak ada sesuatu yang kurang. Mama, Kak Lana, dan Tante Tamara mungkin juga ngerasa hal yang sama."

"Masalah keluarga lo emang salah satu masalah rumit selain hubungan kita. Jujur, gue juga ngerasa hal yang sama. Mama sama papa gue kayaknya juga merasakan hal yang sama."

"Tapi, lo sama mama-papa lo gak pernah nunjukin. Lo bahkan selalu terlihat baik-baik aja setiap Yeji ada. Lo bahkan gak kelihatan keberatan diajak main sama Yeji. Lo selalu ketawa-ketawa aja." Bantah Kaline.

"Karena gue sendiri gak tahu harus bersikap seperti apa. Gue mungkin kelihatannya suka ketawa tiap main sama Yeji. Tapi lo gak tahu." Jonathan menunjuk dadanya. "Di dalam sini gue juga ngerasa ada yang ganjal selama ini. Gue selalu bilang sama lo tentang penerimaan Yeji sebagai keluarga lo, sebagai adik lo, dan tante Tamara sebagai ibu tiri lo. Tapi, gue juga selalu ngerasa ada yang ganjal. Kayak...."

Kaline memperhatikan wajah Jonathan yang tengah menerawang. "Kayak menerima aja gak cukup. Mengikhlaskan?"

"Apa yang harus gue ikhlaskan?"

Jonathan menggeleng. Pertanda dia juga tidak tahu. Kaline dibuat bingung lagi. Walaupun begitu ia sangat berterimakasih karena Jonathan sedikitnya membuat apa yang mengganjal sedikit terangkat.

"Mengikhlaskan?" ulang Kaline.

Jonathan mengangguk. "Lambat laun lo pasti tahu apa yang selama ini ganjal di hati lo. Jawaban dari semuanya. Jawaban buat lo, tante Vina, Kak Lana, tante Tamara, mama-papa gue, dan gue."

Kaline tersenyum. "Gue harap secepatnya gue menemukan jawabannya."

"Gue yakin lo bakalan dapetin jawabannya. Kadang jawaban ada dalam pertanyaan itu sendiri."

***


Aku cek lagi chapter ini sambil dengerin soundtracknya Aladdin wkwk

Curhat aja sih

 

Kira-kira apa jawaban dari pertanyaan Kaline?

Adakah yang mengerti seperti apa Kaline selama ini?

Ternyata bukan cuma hubungannya sama Jonathan aja yang rumit, hubungan Kaline sama keluarganya juga rumit. Ada yang pernah mengalaminya?


bintangnya jangan lupa dipencet. Komen juga. Tag temen kamu supaya ikut baca cerita ini yaa

Sampai jumpa Senin depan

Doakan aku besok aku mau mudik semoga selamat sampai tujuan. Aamiin

Follow ig boleh dong

iistazkiati

_flowerflo


Sending Hug

Iis Tazkiati N

310519

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top