14. Sebelum Hari Peringatan
Hai, selamat pagi
Apa kabar?
Yang puasa lancar-lancar aja kan? Alhamdulillah
Jangan lupa vote sebelum baca biar berkah
Komen juga
Selamat membaca!!
Semoga semakin jatuh cinta
***
"Udah baikan sama Jonathan?" tanya Flora setelah berhasil menyenyajarkan langkah dengannya.
Baru saja Kaline berbelok setelah berpisah dengan Jonathan di ujung tangga karena kelas mereka berada di arah yang beralawanan.
"Udah dong."
Flora memeluknya dari samping. "Gue seneng dong dengernya."
"Yang marahan kan gue sama Jonathan, kenapa elo yang seneng gue baikan."
"Ya seneng lah. Lo gak tahu kalau seorang sahabat biasanya merasakan perasaan sahabatnya berkali-kali lipat. Lo sedih gue juga ikut sedih. Lo bahagia gue juga ikut bahagia. Makanya gue seneng banget sekarang."
Kaline mengangguk-angguk. "Bulan lalu pas gue ditampar si burung hantu, lo yang nangis bombaynya. Gue baru inget."
Burung hantu adalah panggilan kehormatan Kaline pada Maudy, mantan Jonathan. Adik kelas yang punya nyali besar melabrak kakak kelas. Bahkan berani menamparnya di depan banyak orang.
Flora tersenyum lebar. "Gue seneng lo baikan sama Jonathan."
Kaline balas memeluk sahabatnya. "Gue juga seneng."
"Besok lo latihan gak? Ah... gue lupa." Flora berdiri menghalangi langkah Kaline. "Besok hari peringatan kematian papa lo kan?"
Seketika itu juga wajah Kaline berubah. Air mukanya yang ceria mendadak keruh.
Flora tampak menyesal sudah membahas hal tersebut. Gadis itu meringis. "Maaf."
Kaline tersenyum tipis. Melihat sahabatnya seperti itu membuat ia tidak enak. "Jangan gitu lah. Gue gapapa kok."
Kaline mencoba tertawa. Namun tawanya malah terdengar hambar itu justru malah membuat Flora menatapnya lebih khawatir.
"Udah sih." Kaline tersenyum lebih lebar untuk meyakinkan sahabatnya bahwa ia baik-baik saja. "Kalaupun Yeji sama ibunya dateng...."
Kalimat Kaline tidak selesai. Air matanya sudah lebih dulu meluncur. Selalu seperti ini. Menyebut nama Yeji membuatnya tidak kuat. Seolah di dadanya baru saja mendapatkan hantaman batu yang sangat kuat. Sakit, tapi ia tidak tahu bagaimana mendeskripsikan rasa sakit itu.
Luka lama ity selalu terbuka setiap ada yang menyebut anak itu.
"Kaline...." Flora memeluknya lagi. Lebih erat.
Tanpa Kaline sadari sejak tadi pria yang membuntutinya dari belakang tersenyum tipis melihatnya.
***
"Tumben lo pulang lebih cepet daripada gue." Kaline menghempaskan tubuhnya di jok belakang, di samping Jonathan yang juga kecapean sehabis latihan.
Sudah kebiasaan mereka, setiap pulang sekolah atau pulang latihan, atau kemanapun mereka pergi selalu pulang bersama. Kaline akan menumpang mobil Jonathan.
"Karena gue sekarang udah kelas 12, pelatih sedikit mengurangi jam latihan," jawab Jonathan.
Kaline mencebik, "Iri banget gue sama lo. Pelatih gue mah boro-boro. Mau kelas 10, kelas 11, atau kelas 12 yang bentar lagi ujian pun gak ada bedanya buat dia," keluhnya sambil mengelap peluh dengan punggung tangan.
"Jo," panggil Kaline pelan sambil menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu.
Jonathan menoleh sebentar, lalu kembali mengarahkan tatapan ke depan. "Kenapa?"
"Besok peringatan kematian papa," ucapnya pelan. Kaline merasakan jemarinya digenggam, sedikit di remas. Jonathan sedang mencoba untuk menyalurkan kekuatan padanya.
"Yeji besok dateng ya?" tanya Jonathan.
Kaline mengangguk pelan. "Tante Tamara juga bakalan dateng."
Remasan di jemarinya yang Jonathan genggam terasa kembali. Suasana mobil mendadak hening, seolah semua suara menghilang. Hanya suaranya dan Jonathan saja yang terdengar. Meskipun di luar baru saja turun hujan yang langsung deras.
Jonathan selalu tahu bahwa hari peringatan kematian papanya, dimana sekeluarga selalu rutin menjiarahi makan papanya setiap tahun selalu menjadi hari paling berat untuknya. Semua anak pasti merasakan hal yang sama. Merasa berat menghadapi tanggal dimana ayah mereka direnggut dari dunia ini, kembali pada penciptanya. Lebih-lebih Kaline, sebab pada hari itu, ia sedang dilanda rasa kecewa dan rasa akibat kenyataan yang baru saja ia ketahui dari sosok laki-laki panutannya.
"Mau main aja besok seharian sama gue? Gak ke usah ke makam?"
Kaline menggeleng."Gue kangen papa," ucapnya terlihat ragu. "Tapi bingung juga, gue gak mau ketemu Yeji sama Tante Tamara"
"Tapi, gak mungkin juga menghindari Yeji kan?" tanya Jonathan.
Kaline diam. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Hari kematian papanya yang selalu bersangkut paut akhirnya pada Yeji membuatnya amat sangat lelah, sakit, tak berdaya. Ingin menghindar, tapi tak bisa. Yeji tak bisa ia hindari.
"Jo," panggil Kaline pelan.
"Hm?" Jonathan hanya berdehem.
"Malem ini main yuk semaleman."
"Lo mau kemana emang?"
"Kemana aja." Kaline sendiri tidak tahu ia ingin kemana. Ia hanya tidak ingin berada di rumah malam ini. Dan Jonathan sepertinya mengerti perasaan Kaline.
"Yeji sama Tante Tamara bakalan dateng hari ini ya?" tanyanya.
Kaline mengangguk.
Jonathan mengatupkan bibirnya, alisnya menyatu, dia sedang berpikir keras. "Nonton mau gak?"
"Boleh. Asal lo gak tidur."
Lima menit kemudian mobil pribadi Jonathan sampai di depan gerbang rumah Kaline. Gadis itu keluar dengan lesu, membuka pagar, lantas masuk ke dalam rumah. Mama menghampiri dari dapur, mengenakan celemek hello kitty, menyambutnya yang baru pulang.
"Kok Jonathan gak mampir?" tanya mama. Senyum lebar yang terlihat dipaksakan.
"Kak Lana belum pulang?" menghiraukan pertanyaan Vina, ia mengajukan pertanyaan lain. Mengalihkan senyum terpaksa tersebut.
Vina menggeleng. "Katanya ada kerja kelompok, pulang malem katanya."
Kaline hanya ber-oh saja kemudian naik tangga menuju kamarnya.
Di bawah mamanya berteriak. "Mandi, ganti baju, habis itu makan."
Ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya yang terlihat bekas-bekas tempelan benda yang bisa menyala di dalam gelap. Benda yang ia copot satu-satu seminggu sebelum kematian papanya. Itu masih memperlihatkan bekas, karena ia sengaja tidak mencat ulang kamarnya. Walaupun kecewa, rasa rindu terhadap papanya terlampau besar. Kaline tidak ingin hal terakhir yang ditinggalkan papanya hilang juga, termasuk cat langit-langit kamar yang penuh bekas stiker glow in the dark itu. Kamarnya bahkam tak pernah di cat lagi. Dinding, langit-langit kamar, dan semuanya yang ada di sini adalah satu-satunya yang ditinggalkan papanya.
Senyum mengembang. Terbayang saat usianya 6 tahun, saat ia dan papanya mengecat dinding kamar bersama-sama.
Namun, saat itu juga terbayang kejadian saat jasad yang sudah tak bernyawa papanya diantar ke rumah oleh banyak orang.
Menghela napas.
Suasana rumah menjelang hari peringatan kematian papanya memang selalu aneh. Vina yang biasanya tidak menyambutnya di depan pintu, mendadak menyambut, bahkan menyuruhnya mandi. Lana juga selalu pulang malam menjelang hari peringatan kematian laki-laki satu-satunya dalam keluarga mereka. Dan mungkin besok Lana tidak akan ke makam bersama Kaline dan yang lainnya. Sudah tujuh tahun, namun suasananya selalu terasa aneh seperti ini.
Sudah tujuh tahun.
Dan semua juga masih merasakan hal yang sama.
Kecewa tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sakit tapi tak tahu mengobatinya dengan cara apa. Ingin lari tapi tak tahu harus kemana. Hanya bisa tinggal bersama sesal dan rasa sakit.
***
Tepat setelah shalat maghrib Jonathan datang. Mengenakan kaos putih dan celana jeans dengan dilapisi jaket merah untuk mencegah dari dinginnya udara malam. Kaline juga sudah siap. Setelah berpamitan pada Vina ia langsung keluar bersama Jonathan.
Selama perjalanan Jonathan tak melepaskan genggaman tangannya sama sekali. Hangat sekaligus menenangkan.
Tak butuh waktu lama, mobil yang mereka tumpangi sampai di depan mall. Mobil yang disupiri Pak Iklas itu langsung melesat menuju tempat parkir saat ia dan Jonathan melangkah ke pintu masuk.
"Mau nonton apa?" tanya Jonathan saat mereka sudah berada di balik meja tempat pemesanan tiket bioskop.
Kaline mendongak, menatap layar-layar yang menampilkan film-film yang sedang tayang dan juga jam tayangnya. Kemudian memutuskan menonton film komedi yang tayang pukul 7 dan film horror pukul 9 malam.
"Serius lo mau nonton film horror?" Jonatha menatap tiket film horror di tangannya.
Kaline sendiri tidak yakin. Ia dan Jonathan sama-sama penakut. Tapi suasana hatinya sedang ingin.
"Pengen nyoba aja nonton film horror."
"Gak takut?"
"Enggak, ada lo." Kaline tersenyum. "Yang sama-sama penakut kayak gue. Jadi, nanti gue ada temen teriak-teriak di dalem sana."
Jonathan menghela napas. Memasukan empat tiket itu ke saku jaket. Menggenggam tangan Kaline kembali. "Yaudah lah terserah lo. Ini hari lo. Apapun mau lo gue turuti. Walaupun besok suara gue bakalan ilanh gara-gara teriak-teriak."
"Gue belum makan," rengek Kaline.
"Makan dulu yuk. Masih ada setengah jam lagi sebelum mulai."
Mereka berdua pun memasuki KFC, memesan makanan. Jonathan bergidik melihat betapa banyak makanan yang Kaline pesan. Tapi tak protes juga. Hanya bisa meratapi uang papanya yang terkuras banyak malam ini. Sudahlah, lagi pula ini harinya Kaline. Galih juga tidak pernah marah jika ia mengeluarkan banyak uang untuk Kaline.
Suasana hati memang mempengaruhi nafsu makan seseorang. Lihat saja Kaline yang baru saja menyelesaikan pesanannya yang banyak dalam waktu dua puluh menit. Jonathan juga sudah selesai memakan makanannya. Mereka berdua pun menuju bioskop, tepat saat mereka sampai pintu teater dibuka.
Sepanjang film komedi diputar, bukannya tertawa Kaline malah menangis. Jonathan menatapnya cemas. Hari peringatan kematian papanya selalu menjadi hari yang paling berat untuk Kaline. Jonathan tidak mau mengganggu, berpura-pura fokus saja menonton, dan membiarkan gadis itu menangis sambil Jonatahan mati-matian menahan kantuk. Jonathan sudah berjanji tidak akan tidur selama film di putar dan ia akan berusaha menepati janji tersebut.
Saat mereka nonton film horror juga Kaline menangis sepanjang film di putar. Tidak berteriak-teriak seperti dirinya dan yang lain. Dan lagi-lagi Jonathan berpura-pura tidak tahu bahwa Kaline menangis. Hanya membiarkan bahunya menjadi sandaran sambil merangkulnya. Berkali-kali Jonathan melayangkan senyum pada orang di sampingnya yang menatap heran pada Kaline karena disaat orang-orang berteriak ketakutan, Kaline malah meraung keras.
"Makasih." Kaline hendak turun dari mobil. Namun Jonathan menahan tangannya.
"Kenapa?"
"Mau nginep di rumah gue gak?"
Kaline diam, tangannya yang hendak membuka pintu mobil terhenti. "Gue gak mau ngerepotin."
Jonathan tertawa. "Sejak kapan sih lo ngerepotin. Mama gue pasti seneng lo nginep. Lo sendiri tahu dari dulu mama gue pengen banget punya anak perempuan."
"Tapi...." Kaline menatap ke arah rumahnya. Jonathan mengerti tatapan itu.
"Gue udah minta izin sama mama lo kok." Sedetik kemudian Kaline mengangguk.
***
Cerita ini sebernya hampir selesai aku tulis di laptop. Waktu itu pas ngetik chapter ini perasaan aku biasa aja, malahan lagi happy banget. Tapi, barusan pas aku edit sebelum post, kok aku sedih. Seperti aku mendadak menjelma jadi Kaline, ngerasain apa yang Kaline rasakan menjelang peringatan kematian papanya. Dan juga ngerasain gimana perasaan Kaline sama Yeji dan Tante Tamara.
Btw, siapakah Yeji dan Tante Tamara?
Sejauh ini cerita ini gimana menurut kalian? (komen dong, pengen tahu aku)
Sekian
Sampai jumpa di hari Jumat, di chapter baru
Kalau kalian suka sama cerita ini share ke temen-temennya ya
Dan kalau ada qoutes menarik dari cerita ini dan kalian post di ig jangan lupa tag aku [at]iistazkiati sama [at]_flowerflo. Sertakan juga hashtag #CSC #flowerflo dan #KalineJonathan
Kaline Nafeesa
Jonathan Chaanakya
Terima kasih sudah membaca
Follow
Iistazkiati
_flowerflo
Wa: 085314206455
Salam hangat
080519
Iis Tazkiati N
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top