10. Jogging
Hai, selamat siang!! Ketemu lagi sama Kaline dan Jonathan!!
Apa kabar?
Gimana hari Seninnya, menjengkelkan atau malah sebaliknya?
Jangan lupa vot sama komentarnya ya, biar gue gak sia-sia nulis tanpa ada apresiasi wkwk
***
Berbicara tentang Yusuf, sebenarnya semalam setelah Kaline bertemu dengannya di bioskop, pria itu mengirimkan pesan padanya. Ia tidak tahu persisnya ia masih dimana saat pesan itu masuk. Apakah saat baru keluar dari mall, di perjalanan pulang, atau saat ia sudah sampai di rumah. Kaline tidak tahu. Karena masalah kekesalannya akibat pulau super bau yang Jonathan buat di bahu kirinya, ia jadi melupakan hal keduniaan seperti handphone.
Ia baru menyadari bahwa Yusuf mengiriminya pesan tadi pagi saat bangun dan mengecek ponsel. Hal yang membuat ia langsung terbangun saat itu juga padahal jam masih menunjuk angka 4. Terlalu pagi baginya yang biasanya baru bangun pukul 5 lebih, itu pun jika mamanya menggedor-gedor pintu kamar seperti debt collector yang mau menagih utang.
Dan karena pesan itu juga mamanya yang baru bangun pukul empat lebih lima belas terkejut melihat dirinya sudah nangkring di meja makan sedang minum susu.
"Mama gak salah lihat kan?" takut-takut Vina mendekat dan duduk di kursi seberang. "Ini Kaline, anak mama kan?"
Kaline meletakan gelas susunya yang masih tersisa setengah dan menatap mamanya gemas. "Iya, siapa lagi kalau bukan aku."
"Ada ilham apa lo bangun subuh? Eh, bahkan adzan subuh juga belum berkumandang. Ada apa nih?" Lana kali ini yang menatapnya heran, bahkan dia yang hendak menguap tidak jadi ketika melihat Kaline sudah duduk di meja makan.
Kalana kakak perempuannya, yang biasanya memang selalu bangun pagi untuk membantu Vina beres-beres dan masak sarapan. Mahasiswa semester akhir yang akhir-akhir ini membuat rumah tegang karena sering marah-marah tak jelas dikarenakan stress menyusun skripsi.
Bahkan kakaknya itu tak segan-segan mendekat dan meletakan punggung tangannya pada dahi Kaline. Memeriksa suhu tubuhnya.
Kaline mulai kesal saat Lana menangkup wajahnya dan mendongakannya secara paksa. Membuat ia terpaksa harus bertatapan dengan mata bulat besar mengerikan Lana. Mata yang dengan tatapan biasa pun selalu terlihat seperti melotot.
"Apaan sih?" Kaline melepaskan diri tadi Lana. Menatap sebal Lana.
Lana menghiraukan kekesalannya, beralih menatap Vina yang juga masih menatap Kaline penuh keheranan. "Dia gak kesambet kan ma?"
"Diam deh lo!" protes Kaline karena dirinya dijadikan objek yang mengherankan. Tatapan Vina dan Lana seolah mereka baru menemukan sebuah benda langka.
Oke, Kaline yang bangun jam empat, bahkan sudah duduk minum susu saat mama dan kakaknya baru bangun memang sesuatu yang langka. Seharusnya hal seperti ini patut untuk dirayakan, bukannya malah terus menatapnya seolah mereka sedang melihat orang idiot melakukan hal menakjubkan. Heran, kagum, dan aneh dalam waktu bersamaan.
"Lo bukan jin yang nyamar jadi adik gue kan?" tuduh Lana, masih belum percaya bahwa makhluk yang baru saja menghabiskan segelas susu tanpa sisa itu adalah Kaline.
"Ini gue, gue! Kaline! Adik lo yang paling berharga, lebih berharga dan intan berlian. Bukan jin atau sejenisnya." Balas Kaline ketus pada Lana. Lalu menatap mama dan kakaknya secara bergantian. "Seharusnya mama sama Kak Lana seneng lihat aku udah bangun tanpa harus digedor dulu. Seharusnya bersyukur!"
Mama menggeleng. "Mama sih aneh aja gitu. Gak biasanya."
"Makanya karena gak biasanya aku bangun pagi, mama harusnya bersyukur udah lihat anak mama yang suka bangun siang ini udah nangkring di dapur."
Masih merasa aneh, Vina dan Lana saling bertatapan.
Kaline berdecak, "ya ampun kenapa harus tatap-tatapan lagi sih."
Mama sekarang mengangguk-angguk. Walaupun masih terlihat heran, ia bangkit dari duduknya menuju sudut dapur, tempat sapu, alat pel, dan alat kebersihan lain beserta cairan-cairan ajaibnya di simpan. Mengambil sapu ijuk dan mulai menyapu lantai dapur yang menyatu dengan ruang makan itu.
Lana menyusul mengambil alat pel dan kembali pada Kaline,satu-satunya perempuan di sana yang hanya duduk di kursi. "Ngapain masih duduk. Sana ke kamar mandi."
"Ngapain? Mandi?"
"Bersihin kamar mandi lah!"
Kaline menggeleng tegas. "Males!"
"Itu resiko yah sebagai cewe. Mau gak mau harus mau. Bersih-bersih buat cewe itu udah seperti identitas yang harus...."
Belum selesai Lana menceramahi Kaline sudah lebih dulu memotong. "Jangan besihin kamar mandi lah. Entar basah, dingin, masih pagi lagi."
"Atau mau ngepel?" Lana menyodorkan alat pel pada adiknya yang langsung mendapat gelengan tegas.
"Ngepel juga kena air. Dingin."
Lana yang memiliki batas kesabaran hampir sama sepertinya, gampang marah, bahkan kalau tidak lupa akhir-akhir ini lebih sering marah-marah daripada dirinya itu sudah menipiskan bibirnya. Bersiap untuk mengomel panjang lebar mirip mamanya.
Akan tetapi lantunan merdu adzan subuh dari speaker mesjid yang berjarak dua puluh rumah darinya terdengar. Kaline berlari keluar dapur. Merasa terselamatkan oleh adzan itu. "Gue shalat dulu."
Ternyata alasannya shalat subuh tidak cukup untuk membuat dirinya terhindar dari tugas bersih-bersih. Begitu membuka pintu kamar, hendak ke ruang TV menonton acara pagi, ternyata Lana sudah berdiri di depan kamarnya sambil tersenyum lebar dengan sebuah sapu lidi di tangannya.
Lana menyerahkan sapu lidi itu padanya. "Tugas lo." Tanpa bertanya apakah ia bersedia atau tidak, Lana sudah beranjak dari depan kamarnya menuju dapur.
Kaline menyesal, jika saja tadi ia menerima saja tugas yang pertama diberikan, membersihkan kamar mandi, mungkin sekarang ia tidak harus bergelut dengan udara dingin kompleks yang masih berkabut ini. Ia menyesal.
"Eh!" Seseorang berhodie hitam dengan earphone keluar dari tudung hodienya itu menyapa dari pagar rumah. Tangannya bertumpuk di atas pagar yang hanya setinggi lehernya. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengenali siapa pemilik senyum menjengkelkan itu.
Jonathan.
"Pertama kalinya pas gue jogging ketemu sesuatu yang langka." Jelas kalimat itu ejekan buatnya karena jarang sekali Kaline bangun pagi, apalagi terlihat menyapu halaman.
Kaline meletakan sapu lidinya di samping tubuh dan memasang gestur terkeren menurutnya. Kemudian berkata dengan angkuh. "Karena gue mau berubah. Sebagai cewek gue harus tahu cara bersih-bersih rumah. Biar nanti pas nikah bisa membuat suami takjub."
Kaline geli sendiri saat mengatakan kata-kata yang ia copy dari apa yang pernah Lana katakan padanya dulu. Ternyata mendengar omelan dan kata-kata penuh nada sombong Lana ada gunanya juga.
Jonathan malah tertawa terbahak-bahak. "Apa? Istri? Masih bocah lo mikirnya udah kemana."
"Eh, harus." Lagi-lagi yang terpikirkan oleh Kaline adalah apa yang pernah Lana katakan. "Karena cewek itu perjalanan untuk sampai ke jenjang pernikahannya lebih cepet di banding cowok. Bisa aja nanti lo yang cowok masih seneng-seneng gue udah punya anak dan menjadi istri yang membanggakan buat suami gue. Kalian cowok emang mengerti apa?"
Siapa sangka kopian kata-kata yang keluar dari mulut Lana malah membuat Jonathan membuka pagar dan masuk ke halama rumahnya. Dengan kesal merebut sapu dari tangannya dan melanjutkan pekerjaan Kaline yang belum selesai. Lebih tepatnya tidak selesai-selesai karena ia terlalu menghabiskan waktu untuk mengeluhkan dinginnya udara.
"Eh, ngapain lo?"
"Gue beresin. Lo lelet nyapunya."
Dengan gelisah Kaline menengok ke pintu rumah, takut ada Lana berdiri di sana dan melihat pekerjaannya di kerjakan oleh orang lain. Mahasiswa semester akhir itu pasti marah.
"Kak Lana bakalan bunuh gue kalau gak gue selesaikan." Kaline mencoba meraih gagang sapu dari tangan Jonatahan. Namun Jonathan lebih gesit menghindar.
"Tinggal dikit lagi." Jonathan menatap sejenak ke pintu rumah. "Kakak lo juga gak ada. Gapapa biar gue beresin."
"Lo pasti ada apa-apa nih?" Kaline memicing curiga.
Jonathan tertawa. Tepat sekali tebakannya. Pasti ada alasan kenapa Jonathan tiba-tiba mau repot menyelesaikan pekerjaannya.
"Udah gue duga, lo gak pernah melakukan sesuatu gratisan."
Jonathan menyandarkan sapu pada pagar, sudah selesai dengan pekerjaannya. Daun-daun kering sudah terkumpul di sudut.
"Sekarang lo ke kamar, ganti baju, temenin gue jogging. Itu bayarannya."
Tidak mau menolak sama sekali. Karena jika Lana tahu ia sudah bersantai karena pekerjaannya telah selesai, ada kemungkinan bahwa Lana akan menyuruhnya yang lain. Secepat mungkin ia berlari ke kamar mengganti baju dengan hodie hitam mirip milik Jonathan hanya saja miliknya ada gambar kuping kelinci di tengahnya.
"Mau kemana lo? Nyapunya udah beres?" Lana melihat heran Kaline yang baru turun dari lantai dua dan mengganti bajut tidurnya.
"Selesai dong!" jawab Kaline dengan bangga. "Sekarang gue mau jogging. Bye!"
"Eh, kamar mandi belum di gosok ini." Benar kan, Lana berteriak menyuruhnya melakukan pekerjaan lain. Untung saja ia sudah berada di luar dan segera menarik Jonathan keluar.
"Lari! Sebelum Kak Lana yang kayak harimau lapar itu nyusul." Tanpa menutup gerbang ia menarik tangan Jonathan menjauh dari rumahnya.
Saat sudah jauh baru mereka menglambatkan langkah. Bukan mereka tepatnya, Jonathan yang lebih dulu melakukannya sehingga Kaline ikut-ikutan melambatkan langkah.
"Lo beneran mau nikah muda?" tanya Jonathan entah kenapa nada suaranya terdengar serius.
Sebelah alis Kaline terangkat, heran oleh pertanyaan Jonathan. "Emang kenapa?"
"Jangan lah."
"Lho kenapa? Suka-suka gue dong." Kaline membalas sewot.
"Ya jangan aja!" Jonathan juga tak kalah sewot. "Tungguin gue lulus S2 dulu."
Kalimat yang terlalu ambigu itu membuat Kaline bertanya masih dengan nada sewot. "Maksudnya?"
Jonathan kesal karena kalimatnya tidak langsung dimengerti itu juga ikut-ikutan kesal. "Ya tungguin gue, jangan dulu nikah."
"Iya maksudnya apaan?" Kaline mulai kehilangan kesabaran.
"Ya tungguin aja!"
"Tapi kenapa gue harus nunggu elo. Yang mau nikah gue."
"Karena kita nikahnya harus bareng."
"Lo mau gue nunggu lo lulus S2 yang gak tahu kapan itu. Mau gue akhirnya nikah pas udah jadi tante-tante gitu?"
Jonathan berdecak, "bukan gitu. Kok gak ngerti sih."
"Karena gak ngerti makanya gue nanya, bego!"
Kaline terus menimpali karena ia memang tidak mengerti maksud perkataan Jonathan, tapi kenapa pria itu malah menggeram, mengacak-ngacak rambut, kemudian lari sambil berteriak. Apa yang salah?
"Dasar lo! Aneh kok sampai sel terkecil sih!"
***
Aduh, makin gemes aja aku sama mereka.
Kaline gak peka udah dikode juga wkwk
Lagi-lagi aku gak akan bosen buat mengingatkan supaya jangan lupa pencet bintang sama ketikan komentar, gak mahal kok, gak ribet juga. Biar aku tampak semangat lanjutinnya. Karena aku bukan tipe orang yang suka melakukan hal secara cuma-cuma, gratisan, kayak Jonathan. Lebih seringnya aku perlu motivasi dari luar supaya semangat. Contohnya vote dan komentar dari kalian.
Sampai jumpa Hari Rabu!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top