Hujan
🌧️🌧️🌧️
Memijakan kaki pada engawa* rumah, iris dark crimson menatap butiran hujan yang mulai turun membasahi kota Edo kala itu. Kanna tak suka hujan. Hujan membuatnya basah, dan basah buat sulit melakukan pekerjaan. Namun, bukan berarti Kanna membencinya. Di lain sisi, ia menyukai suara hujan, suara yang dapat merangsang tenang pikiran Kanna.
Setelah puas melihat hujan, Kanna berbalik masuk ke dalam rumah. Duduk pada kotatsu guna menghangatkan diri ditemani secangkir teh juga sepiring makaron kesukaan. Ini salah satu kegiatan yang paling disukai Kanna, suasana nyaman seperti ini membuatnya rileks sejenak dari beberapa kesibukan yang menyerang fisik.
Dagu ditaruh pada atas meja, mata hampir terlelap tidur dan kembali terbuka disaat telinga menangkap berkali-kali ketukan pintu. Mendengkus sebal tidurnya diganggu, Kanna berjalan gontai menuju depan;tangan bergerak menggeser shoji**, dan mata mendapati sosok jangkung yang Kanna kenal dengan keadaan basah, meski di tangan kirinya memegang sebuah payung. Pria itu terseyum lebar mengangkat setengah lengan ke atas-membentuk gestur menyapa. "Hai!"
Mata Kanna membola, tentu kaget melihat Gintoki-pria yang mengunjungi rumahnya pada hujan deras dengan keadaan seperti ini. Tak langsung menanyakan alasan, Kanna menarik masuk Gintoki ke dalam rumahnya.
"Kau sengaja, ya?" tanya Kanna mulai menyelidik.
Gintoki balas dengan kekehan halus, paham apa yang dimaksud Kanna, ia mengangguk mengiyakan dan menjawab berlawanan. "Tidak."
Kanna mencibir. "Jadi, mana yang benar?" Melepas genggaman lengan Gintoki, ia mencari handuk bersih lantas memberikannya pada Gintoki. "Cepat mandi air hangat dan keringkan dirimu, bisa-bisa kau sakit!" titah Kanna.
"Soal pakaianmu, keringkan saja di mesin pengering. Bajumu tidak terlalu basah, jadi pasti cepat kering." Tambah Kanna.
Setelah memberikan handuk dan membiarkan Gintoki memakai kamar mandinya. Kaki Kanna bergerak menuju dapur, menyiapkan satu lagi minuman hangat untuk tamu tak diundang. Di dapur, Kanna termenung. Untuk apa pria pengangguran itu datang kemari? Hubungan mereka tak lebih dari seorang penjual dan pembeliㅡbukan. Lebih tepatnya seorang penagih dan yang ditagih. Gintoki sudah sering nunggak bayar kue pada Kannaㅡya meski sebenarnya tak memungkiri keduanya memiliki rasa satu sama lain, hanya saja sang wanita masih meragukan perasaannya pada sang pria. Hingga Kanna berpikir mengapa Gintoki masih mengejarnya yang kerap menolak ribuan pernyataan cinta dari dia.
"Kanna." Sebuah panggilan mengudaraㅡmenghentikan lamunan Kanna seketika, ia menoleh dan kembali dibuat terkejut dengan apa yang ditangkap matanya.
Gintoki berdiri tak jauh dari Kanna hanya dengan handuk yang melilit bagian bawah, sedangkan bagian atas dibiarkan polos tanpa sehelai kain pun--memperlihatkan dada bidangnya. "Kanna? Kenapa kau terlihat sangat terkejut?" Gintoki bertanya sembari mendekat.
Kanna gelagapan. "Jangan mendekat!" jeritnya.
Gintoki sedikit tertegun melihat reaksi Kanna. Bukannya menuruti apa yang dikatakan oleh Kanna, Gintoki malah semakin mendekatinya. "Kenapa memangnya?"
"Ya kau pikir saja kenapa telanjang begitu!" jawab Kanna berusaha menutupi wajah dengan kedua tangannya, tak ingin kedua mata suci ini ternodai begitu saja melihat badan pria beruban itu.
"Mau bagaimana lagi? Pakaianku masih ada di dalam pengering, lagipula aku tidak sepenuhnya telanjang." Gintoki berujar santai.
Kanna sedikit mengintip dari bagian celah tangan yang menutupi wajahnya. "Kalau begitu tunggu di sana!" suruh Kanna menunjuk ruang tengah.
Gintoki tertawa kecil, tak biasanya Kanna bertingkah seperti ini di hadapannya. Padahal setahu Gintoki, Kanna sudah sering melihatnya setengah telanjang seperti ini di luar, dan respons yang diberikan Kanna adalah tatapan tak suka. Ya ... itu karena Gintoki sering kalah berjudi dan pakaiannya menjadi taruhan.
"Kau berpikir yang aneh-aneh ya, Kanna-chan?" goda Gintoki.
"Sudah gila!" pekik Kanna tak terima. "Cepat ke sana! Atau aku usir." Ancam Kanna.
"Tunggu! Sekalian bawa teh ini." Kanna menunjuk dengan dagunya pada secangkir teh di atas meja yang sudah ia siapkan untuk Gintoki.
Masih dengan tawanya, Gintoki menuruti apa yang dikatakan Kanna. Langkah kaki terdengar menjauhi dapur, Kanna segera menyingkirkan tangannya dari wajah. Ia menghela napas lega, namun suara hati masih terasa tak karuan.
Aneh.
Kanna merasa aneh.
Penampilan Gintoki tadi, sebenarnya hal biasa baginya. Bukan hanya Kanna, namun bagi Shinpachi dan Kagura--dua orang yang berkerja serabutan bersama Gintoki pun merasa bahwa Gintoki setengah telanjang adalah hal yang normal untuk mereka. Tapi, kali ini detak jantung Kanna terasa begitu cepat melihatnya seperti itu.
Apa ini tandanya Kanna mulai mengakui pria pengangguran itu?
Kanna menggeleng keras. Menepis pikiran konyol itu dari kepala. Ia tertawa sendiri, "Mana mungkin kan, aku suka dengan pria yang sering berhutang itu? Hahaha ..."
Setelah mencoba menenangkan diri, Kanna pergi menyusul Gintoki di ruang tengah. Di mana kotatsu yang Kanna gunakan berada di sana. Lagi-lagi, Kanna dibuat terkejut--dan lagi matanya menangkap sesuatu yang tidak diinginkannya. Tak lain Gintoki yang masih belum memakai pakaiannya dan malah mendudukan diri ke dalam kotatsu.
Kanna menyatukan kedua tangannya di dada, berusaha menahan diri agar tidak membalikan kotatsu miliknya. "Gin-san, kenapa kau masih belum memakai pakaianmu? Aku yakin, seharusnya sudah kering sekarang."
Gintoki menoleh pada Kanna yang berdiri di depan pintu penghubung ruang tengah dengan dapur. "Belum kering." Jawab Gintoki singkat.
"Masa sih! Bajumu tidak terlalu basah, harusnya sudah kering sekarang. Kalau kau tidak segera memakai pakaianmu, kau akan sakit! Apalagi di luar masih hujan. Hangatnya kotatsu saja tidak cukup tahu!" omel Kanna akhirnya.
Gintoki terdiam sebentar mendengar omelan Kanna. Tanpa sepatah kata pun, Gintoki bangkit mendekati Kanna. Kanna terlihat bingung, amarahnya soal pakaian Gintoki tertahan. "Gin-san?"
Gintoki berdiri di depan Kanna. Kedua netra dengan warna yang sama kini saling menatap satu sama lain. Kanna merasakan hawa dingin, entah karena hujan yang masih belum berhenti atau dari tatapan menusuk penuh arti dari pria di hadapannya.
"Kanna."
Panggilan namanya dengan suara khas dari sang pria membuat sang wanita mencekat napasnya. Entah mengapa, suara yang memanggil namanya itu membuat Kanna tak dapat bergerak. Serasa terhipnotis masuk ke dalam tatapan intensif Gintoki.
"Tadi ... kau bilang, kotatsu tidak cukup menghangatkanku, ya?" lanjut Gintoki masih dengan intonasi yang menggoda.
"Bagaimana jika kau saja yang menghangatkanku?"
Napas Kanna semakin tercekat. Jika saja dalam kesehariaannya, Kanna sudah pasti menghina Gintoki karena mengeluarkan kalimat yang membuatnya merasa geli. Namun, kali ini jelas berbeda.
Kanna sama sekali tidak bisa menghina Gintoki maupun bergerak kabur. Kini Kanna tahu, tubuhnya merespons bahwa dirinya tidak bisa lari dari makhluk buas yang sudah merencanakan sesuatu jahat di sini.
"Gi-Gin-san ... sada--hmph!" Tak sempat melanjutkan ucapan, bibir Kanna dengan cepat disatukan oleh Gintoki.
Kanna mengerang, ia tidak suka dipaksa. Mencoba beberapa kali mendorong dada Gintoki agar melepas tautan bibir keduanya, namun apa daya perbedaan tenaga begitu terlihat jelas. Dan Gintoki sendiri malah makin memperdalam ciuman mereka, hingga napas tak dapat Kanna raih.
Kanna masih berusaha untuk mendorong jauh Gintoki, kali ini berhasil. Air liur keduanya menjuntai panjang--setelah ciuman sepihak itu selesai Kanna dengan cepat meraup banyak oksigen. Wajah sudah memerah padam, marah bercampur malu menjadi satu. Kanna tidak suka ini. Meski begitu Gintoki hanya melayangkan senyum sok polos dan sama sekali merasa tidak bersalah.
"Sudah gila!" teriak Kanna.
Gintoki terkekeh. "Memang ...,"
"Gila karenamu."
Kanna menggeram kesal. Bisa-bisanya Gintoki melakukan ini di saat keduanya tak memiliki hubungan lebih dari yang mereka miliki. Namun, tak tahu mengapa--Kanna tidak menolaknya. Ia hanya kesal karena ciuman tadi dilakukan secara paksa dan juga sepihak. Jika Gintoki mau, mengapa tidak bilang saja? Walaupun pria itu harus kena pukul dulu.
Kanna tersenyum sinis, tengkuk milik Gintoki di dorong mendekati wajahnya, kini giliran Kanna menatap intens pada netra milik Gintoki. Gintoki tertegun sedikit, ia pikir Kanna benar-benar tidak menyukai ini--jika iya, dia akan berhenti. Namun, pria itu salah. Tertanya sang wanita sama-sama menginginkannya juga.
Gintoki balas tersenyum nakal. Tangan mulai mendorong belakang kepala Kanna, keduanya kembali menyatukan dua bibir bersama--kali ini tanpa paksaan, jelas keduanya kentara menikmati.
Tak mau hanya di situ saja, tangan Gintoki mulai bergerak masuk ke dalam kimono milik Kanna--meraba semua yang tangan Gintoki temui termasuk payudara milik sang wanita. Kanna melepas tautan bibirnya, mengerang sedikit kala tangan pria dengan mahkota perak itu mulai meremas bagian miliknya. Menggigit ujung bibir, tak ingin langsung kalah mengeluarkan desahan dengan cepat.
Gintoki tahu, Kanna tipe wanita independen yang tak ingin kalah begitu saja. Tapi tetap, jika itu menyangkut hal mesum seperti ini, Gintoki juga tak mau kalah--ia mengeluarkan tangannya dari dalam kimono milik Kanna, dan mulai bergerak melepas satu persatu pakaian yang dikenakan Kanna hingga menghasilkan sang wanita tanpa sehelai kain pun.
"Sepertinya hari ini akan menjadi hujan yang panjang."
***
Engawa* : beranda
Shoji** : pintu geser pemisah halaman dengan beranda
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top