blind drunk.

Gelas kecil dalam genggaman dimainkan. Terdengar sedikit suara benturan di kala cairan bening berbenturan dengan dinding gelas. Sang empunya memutarkan benda tanpa henti. Kelereng sewarna sea green nampak kosong-melamun-sampai suara berat milik insan di seberang mengembalikan fokus.

"Hei, kau benar tidak apa-apa berada di sini?"

Sang perempuan tersinggung, kentara jelas dari bagaimana dia membanting gelas secara kasar ke permukaan meja kayu; buat percikan air tersebar ke mana-mana.

"Memangnya kenapa?" Sosok hawa menaikkan nada bicara. Kerutan pada dahi bertambah, sedangkan sorotan mata semakin tajam ditujukan kepada pria bernetra darah. "Aku tidak suka berada di sana."

Sejenak Riesha menghentikan ucapan. Dalam jeda waktu tersebut, retakan pada gelas di tangan mulai menyebar. Gintoki di satu sisi khawatir kalau Riesha akan memecahkan gelas itu dan melukai tangannya sendiri, tetapi dia juga memikirkan bagaimana jika setelah gelas pecah, mereka tidak mempunyai cukup uang untuk membayar ganti rugi. Namun untung saja keduanya masih menjadi sebuah kemungkinan, sebab remasan Riesha berhenti tak lama kemudian.

"Capek tahu jadi orang yang tidak pernah diperhatikan."

Ah, mulai lagi.

Gintoki seketika sadar ke mana arah pembicaraan ini berlanjut. Selama berperan sebagai teman minum, keluhan Riesha tidak pernah jauh-jauh dari perlakuan si manusia gila kerja yang kerap kali mengabaikan dirinya.

"Si brengsek itu, melirik padaku saja tidak. Laporan ini, laporan itu, dasar lelaki maniak mayones jelek!"

Seruan Riesha mengudara seraya meneguk isi gelas sampai bersih. Rupanya kesabaran Riesha terhadap gelas kecil terkikis habis. Tangan kini beralih menggapai botol sake, menenggak mentah-mentah dari mulut botol layaknya para pemabuk. Rasa heran tidak tercantum dalam kamus Gintoki kala menengok kebiasaan Riesha. Sebuah hal wajar mengingat mereka sering menghabiskan waktu bersama dalam berbuat dosa. Karena uang pertemanan mereka mencapai tahapan seperti sekarang.

Gintoki menepuk pundak Riesha, ungkapkan simpati mengenai permasalahan yang dihadapi, "Sudah-sudah jangan dipikirkan, lebih baik kita bersenang-senang di sini."

Ajakan Gintoki membuai Riesha dengan mudahnya. Memang, jika pendosa dipersatukan, menceraikan mereka akan sangat mustahil. Terlena ucapan si keriting, Riesha menyunggingkan senyum; mengangkat tinggi-tinggi botol kaca mengandung minuman beralkohol, lalu dengn semangat berujar.

"Ayo minum sampai mabuk!"

Dua jam berlalu semenjak suara dentingan kaca beradu. Situasi ruangan benar-benar kacau. Gelas—baik terisi maupun kosong—berserakan di sekeliling, ditemani botol sake yang saling timpang tindih. Beberapa di antaranya bahkan masih berisi, sayang dibiarkan tumpah begitu saja. Riesha dan Gintoki masih di sana, setia menggenggam wadah berisi air keras sambil saling tertawa menanggapi lelucon masing-masing.

Ketika lawannya itu tengah bercanda bersama para geisha cantik, Riesha merangkak mendekati bagian pojok, berniat mengganti botol kosong miliknya dengan yang baru. Akan tetapi sebelum sempat memperoleh sasaran, pergelangan tangan tertahan.

"Berhenti minum, kau sudah mencapai batas!"

Insan perempuan menoleh pada sumber suara, dapati sosok yang sangat dikenali olehnya. Hijikata Toshiro, berdiri di sana dengan napas tersengal-sengal, kentara jelas baru saja berlari kemari sebab khawatirkan keadaan sang wanita tak tahu diri yang malah asyik menikmati setiap tegukan dari botol minuman keras bersama si pucuk silver.

Mulut dibuka, dengan pandangan sayu serta wajah memerah akibat mabuk, suara panggilan bernada menggoda berhasil diloloskan, "Toshi--"

"Iya, aku di sini." Jawaban langsung diberikan sebelum lawan bicara sempat menyelesaikan perkataan, "Sekarang aku akan membawamu pulang." Toshiro mendekati Riesha yang nampak berantakan, berniat menggendong gadis tersebut pulang. Namun uluran tangannya malah disambut dengan tepisan kasar.

"Aku tidak mabuk!"

Kalimat protes mengudara dari insan hawa, nampak jelas menantang pria yang dijuluki sebagai Wakil Komandan Iblis tersebut karena tidak mau dibawa pulang.

"Mana ada orang mabuk yang mengakui dirinya mabuk." Toshiro mencoba menahan diri. Aroma sake menguar kuat dari tiap hembusan napas Riesha, tanda bahwa dia telah hilang kendali diri sepenuhnya.

"Akan aku buktikan kalau aku tidak mabuk!" Riesha bersikeras membantah fakta. Dia kemudian menarik dasi sang pria, membuat dirinya berjarak kurang lebih lima sentimeter dari wajah Riesha.

"Kiss me, my demon."

Ketika permintaan dilontarkan, Toshiro nyaris hilang akal. Bagaimana dia bisa tetap mempertahankan kewarasan jika yang berada di hadapannya adalah sang pujaan hati—dengan wajah serta tampilan menggoda—jelas sekali pasrah ingin diserang tanpa perlawanan.

Toshiro harus menancapkan kesadaran dalam diri, bahwa ini adalah tempat umum, bukan ruang pribadi di mana mereka diperbolehkan berlaku sesuka hati. Lagipula sang hawa bertindak bukan dengan kesadaran, buat Toshiro merasa enggan walaupun kesempatan diberikan secara cuma-cuma.

Toshiro jelas ingin. Dia ingin abai terhadap kondisi sang perempuan, tetapi setengah dirinya masih meyakinkan diri untuk teguh. Maka dia mengendurkan jarak, meraih tangan Riesha supaya dapat terlepas dari cengkeramannya.

Sayangnya, Riesha semakin tidak tahu diri. Kesal sebab Toshiro tidak memberikan respons sesuai keinginan, Riesha bertindak egois. Wajah dimajukan secara sepihak, mempertemukan bibir dengan milik lawan jenis, lalu sedikit melumatnya tanpa tahu buah dari hasil perbuatan.

Toshiro mengerang. Dia tidak suka dicobai. Permainan halus semacam ini bukan gayanya. Kesabarannya tidak mampu bertahan. Walaupun mengerti jika Riesha berada dalam kondisi sanggup mengontrol tubuh, Toshiro tentu tidak akan melewatkan momentum langka seperti ini. Oleh karena itu tangan yang bebas beralih ke tengkuk Riesha, mendorong paksa kepalanya agar kegiatan yang dilakukan ada dalam kontrol sang lelaki.

Toshiro membalas aksi Riesha tanpa ampun. Meminta akses melumat balik dengan lembut, baru kemudian mengabsen setiap celah bibir Riesha dengan agresif, seolah menandai apa yang menjadi miliknya, sebab tentu dia tidak rela orang lain memberikannya pada orang lain. Salahkan sang wanita yang memicu dirinya bertindak kasar. Untung saja orang lain sibuk terhadap urusan masing-masing, tidak memperhatikan dua insan yang mulai tenggelam dalam nafsu. Bahkan si keriting ubanan yang menjadi pelaku utama mengapa Riesha berakhir di tempat ini pun lebih memfokuskan atensinya pada para pelayan cantik.

Meskipun cita rasa sake tertinggal nyaris di seluruh bagian bibir Riesha, Toshiro tidak keberatan. Justru baginya, bibir Riesha adalah sebuah objek candu dengan rasa manis yang tak terbatas. Andai Toshiro bisa memilih untuk menyantap bibir sang wanita setiap hari dibanding menghisap batang rokok, sudah pasti akan dia lakukan. Jarang sekali Riesha memperbolehkan Toshiro bersikap sewenang-wenang sehingga kesempatan mendominasi sungguh dimanfaatkan telak.

Sedangkan di sisi lain, napas Riesha mulai habis. Sekadar melepaskan pagutan sekilas untuk menghirup oksigen tambahan pun tidak dibiarkan. Toshiro tidak akan berhenti. Tidak sampai dia puas mendapatkan apa yang seharusnya dapat dia peroleh dari Riesha.

Ciuman penuh gairah itu berakhir dengan Riesha yang mati-matian mendorong pundak sang lelaki demi meraup udara segar sebab diri telah mencapai ujung tanduk. Benang saliva yang terbentuk berujung putus karena jarak memisahkan. Namun tatapan buas Toshiro masih belum hilang dari raut wajahnya.

Lebih.

Dia masih mendambakan kenikmatan duniawi dari Riesha.

Kendati diri meyakini secara penuh bahwa tindakan berdasarkan nafsu salah, tetapi memang hasrat sulit dikalahkan. Bagi sang wakil komandan, hal sebatas ciuman singkat belum sanggup memuaskan libidonya yang terlanjur naik. Sensasi kelembutan yang tersisa pada inderanya mendorong Toshiro untuk bersikap tamak, menuntut lebih dari Riesha.

Tatkala Toshiro memajukan kembali badan untuk menggapai kembali bibir milik sang hawa, Riesha lebih dahulu tempatkan telapak tangan tepat di hadapan wajah Toshiro; tunjukkan penolakan terhadap inisiatif sang pria. Tindakan Riesha menimbulkan tanda tanya besar dalam benak, maka Toshiro pun angkat bicara.

"Kenapa?"

"Sebentar-sebentar ..." lirih Riesha menjeda kata, kemudian nampak menoleh kepada figur pria untuk mengutarakan maksud.

Toshiro, berusaha keras menerka arti di balik iris hijau yang tengah mengisyaratkan sesuatu. Menilai dari gelagatnya menutup mulut dengan sebelah tangan, Toshiro mendapat firasat tidak enak.

"Oi, jangan bilang kau akan--"

"... sepertinya aku mau muntah."

Dalam sekejap air muka Toshiro berubah drastis. Seakan dihadapkan dengan krisis pertaruhan nyawa, ekspresi wajahnya menjadi pucat. Keringat dingin pun mulai mengalir dari sisi wajah, jatuh membasahi tatami tempat mereka duduk. Kepanikan mendadak melanda diri. Toshiro tahu, sangat tahu apa yang akan terjadi seandainya telat bereaksi. Ini bukan pertama maupun kedua kalinya Riesha berada pada kondisi mabuk berat sampai mengharuskannya keluarkan isi perut. Sang lelaki hapal betul bagian akhir dari runtutan peristiwa dan tentu dia tak akan merelakan baju kerjanya menjadi korban.

Oleh karena itu tanpa menunggu izin dari insan perempuan, Toshiro melingkarkan tangan pada pinggang mungil, sekaligus memindahkan tangan Riesha pada pundak miliknya; membantu tubuh yang hilang kendali akibat pengaruh alkohol menuju kamar mandi.

"Tolong tunjukkan arah kamar mandi!"

Usai beroleh balasan, Toshiro segera mengikuti instruksi. Sesekali memeriksa keadaan orang yang bersangkutan, takut-takut dia menyerah dengan keadaan dan memutuskan mengeluarkan semuanya sekarang juga.

Riesha sebagai kaum Yato memang terkenal memiliki kulit pucat melebihi manusia pada umumnya, tetapi dalam sekilas pandang pun, Toshiro paham kalau wanita di sebelah sedang mati-matian menahan diri. Saat ini Riesha bagai hamster dengan kedua pipi membulat penuh, hanya saja versi mengenaskan.

Setibanya di depan kamar mandi, Toshiro melepas rangkulan tangannya dari sang wanita, kemudian memberi sedikit dorongan kepadanya. Apakah Toshiro berniat membantu? Tentu. Namun dengan kesadaran penuh, dia tidak berani melangkahkan kaki lebih jauh. Bagaimanapun juga mereka ini berbeda jenis kelamin. Hal apapun itu jika mengenai pria dan wanita berada dalam kamar mandi yang sama, pasti berujung buruk. Maka guna mencegah kemungkinan terjadi, Toshiro putuskan dia hanya menunggu Riesha di luar.

"Kenapa tidak masuk?"

"Aku akan menunggu di sini."

Jelas Riesha tidak menerima keputusan tersebut, nampak dari keputusannya untuk memaksa Toshiro masuk dalam satu tarikan; mendaratkannya dalam posisi duduk di atas toilet dengan dirinya sendiri berada di atas pangkuan sang lelaki. Sebuah senyum seduksi dilukis pada bibir, berbanding terbalik dengan Toshiro yang melebarkan mata.

"Riesha, kau--"

"Aku tidak ingin muntah." Riesha memotong ucapan Toshiro sebelum sempat diselesaikan. Perempuan itu menunduk guna menyejajarkan tatapan, kemudian tanpa aba-aba membungkam mulut sang lelaki untuk yang kedua kalinya. Akan tetapi ciuman kali ini lebih singkat, hanya sebagai kode yang menyatakan bahwa Riesha telah memberikan akses seutuhnya kepada Toshiro.

Gadis itu berpindah posisi, mendekatkan bibir tepat pada indera pendengaran lawan bicara agar dapat berbisik pelan, sementara sebelah tangan mulai turun meraba area milik sang pria dari balik celana hitam.

"Shall we continue now, Oni no Fukuchou-san?"

━━━━━

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top