Cracked
Sesosok siluet hitam menarik engsel pintu secara perlahan. Membukanya dengan tenang sambil menggumamkan suatu nyanyian yang memanjakan telinga. Matanya menerawang, menatap sebuah pigura dengan ukiran indah yang tergantung di dinding. Meskipun begitu, cahaya redup di ruangan ini tidak turut membuat benda itu mengubah suasana suram yang ada.
Dari ruangan suram itu, terdengar suara hembusan napas yang naik-turun secara teratur. Namun hal itu tidak membuat siluet hitam yang sedang berdiri ini merasa senang, justru tatapan matanya yang tajam terlihat marah meski bibirnya tersenyum. Dengan kuat, ia mengetuk permukaan kaca.
Membuat yang di dalam sana tersentak kaget.
Tok! Tok! Tok!
"Kenapa kau terlihat tidak bersemangat? Bukankah dulu kau selalu tersenyum saat melihatku?" Tanya siluet hitam itu.
Namun tak ada jawaban.
Siluet hitam itu malah tersenyum semakin lebar, menyeringai lebih tepatnya. Ia kembali mengetuk permukaan kaca, perlahan.
"Ada apa? Apa kau bosan ada di dalam sana?" Tanyanya lagi.
Kali ini yang ditanya mencoba membuka suara, wajahnya menempel pada pembatas bening itu, ia terlihat frustasi. "Beginikah caramu membalas perasaanku?"
Dan pertanyaan itu dibalas dengan seringai serta anggukan. "Ya, beginilah caraku agar kita terus bersama, selamanya."
"Kau gila."
"Ya, memang gila," siluet hitam itu tertawa.
*~*~*~*
"Aku mencintaimu," ucap laki-laki itu kesekian kalinya. Matanya tertuju pada cermin di depannya, tapi bukan pada bayangannya.
"Aku juga mencintaimu, Angga."
Melainkan pada sesosok perempuan yang ada di dalamnya.
Mungkin ini terdengar gila, tapi Angga benar-benar mengalami hal ini.
Beberapa bulan yang lalu, ia menemukan cermin antik berukuran sedang ini di dalam gudang rumahnya. Entahlah, ia tidak pernah ingat kapan benda ini bisa masuk ke dalam ruangan berdebu di rumahnya. Yang jelas, saat itu ia sedang membereskan gudang, dan ia menemukan cermin ini. Kebetulan, Angga juga membutuhkan cermin yang baru.
Namun saat Angga sudah menggantung cermin ini pada dinding rumahnya. Tiba-tiba saja seorang perempuan dengan rambut ikal berwarna coklat muncul dari dalam sana, dengan senyumnya yang menawan.
Membuat Angga terkesima.
Dan terkejut, tentu saja.
*~*~*~*
"Kau siapa?" Tanya Angga spontan saat itu.
Gadis itu mengerjapkan mata merah darahnya beberapa kali, terlihat sama terkejutnya dengan Angga. "Aku ... Exa."
"Kau itu apa?" Tanya Angga lagi, kali ini lebih histeris, keringat mulai bercucuran pada keningnya, tanda bahwa ia mulai panik.
"Aku manusia."
"Tidak mungkin! Kau hantu kan?" Angga mengangkat kursi, bersiap membuat cermin itu hancur berkeping-keping.
"Aku manusia! Percayalah!" ucap gadis itu berusaha meyakinkan Angga yang semakin panik, "jangan panik, aku tidak akan menyakitimu."
Berulang kali Angga menggumamkan kata "tidak mungkin", mata hitamnya menatap horror pada Exa. Begitupun dengan Exa yang berulang kali mengatakan "tenanglah" dengan wajah paniknya.
Tiba-tiba Angga terdiam.
Begitupun dengan Exa.
Angga mendengus sambil menggeleng, diletakkannya kursi yang diangkatnya tadi. "Ini gila sekali."
Kemudian Angga menarik cermin itu dari paku yang tertancap di dinding. Tanpa basa-basi, ia membawa benda itu di antara lengan kirinya. Kemudian Angga berjalan kembali ke arah gudang.
"Kau mau apa?" Tanya Exa berkali-kali, tapi kata-katanya tak digubris sama sekali.
"Ada perempuan di dalam cermin, berbicara padaku. Aku pasti sudah gila," gumam Angga.
"Aku ini nyata! Percayalah padaku!" Seru Exa, tangannya memukul-mukul pembatas bening diantara mereka.
"Tidak akan!"
Bruk!
Angga meletakkan cermin antik ditangannya ke sudut ruangan, dihadapkannya permukaan kaca pada dinding, sehingga membuat suara Exa teredam.
Angga menatap tajam cermin yang mengeluarkan suara di depannya. "Besok, aku akan membuang benda ini."
Lalu ia berjalan meninggalkan gudang begitu saja dengan langkah gusar.
Namun barulah tiga langkah ia menjauhi ambang pintu gudang, ia mendengar sesuatu yang menyayat telinganya.
Suara tangisan seorang perempuan.
Sungguh, 30 menit baru saja berlalu sejak ia mengambil cermin itu dari gudang, dan kini ia sudah mulai gila rasanya.
Suara tangisan itu semakin kencang, membuat gendang telinga Angga terasa disayat-sayat. Namun hal itu tidak membuatnya menjadi iba atau bersimpati.
Angga mulai takut.
Tidak, aku tidak boleh takut.
Tangannya terkepal erat, dengan perlahan ia berjalan ke arah pintu gudang. Napasnya menderu perlahan, lain halnya dengan jantungnya yang berpacu cepat. Ia kembali mendekati cermin antik yang masih mengeluarkan tangisan itu.
Angga berusaha tenang meski keringat dingin masih bercucuran di dahinya. Bagaimana bisa ia tidak takut sementara dirinya hanya tinggal sendirian di dalam rumah yang cukup besar ini?
Akhirnya, setelah berbagai prasangka buruk berkecamuk dalam otaknya, Angga memutuskan untuk menarik napas panjang dan duduk di sebelah cermin itu—tanpa membaliknya.
Angga menelan ludahnya yang tertahan, perlahan mulutnya terbuka.
"Jadi ... Kenapa kau bisa ada di dalam sana?"
Tangisan itu berhenti.
Kini mahluk cermin itu malah tertawa kecil, justru membuat tubuh Angga merinding. "Kau pikir aku tinggal di dalam cermin?"
"Tidak ... Maksudku—"
"Kita ini ada di dimensi yang berbeda," potong Exa.
Angga menoleh pada permukaan cermin yang menghadap dinding. Perlahan ia membaliknya, menampakkan wajah Exa yang kini tersenyum aneh padanya. Angga baru sadar, bahwa Exa memiliki kulit yang pucat.
Angga mencoba memperhatikan lebih jauh ke dalam cermin. Selain keberadaan Exa yang tentunya tidak ada di dimensinya serta wajahnya yang tidak terpantul, semua yang ada di sana sama, seperti cermin pada umumnya.
"Apa dunia kita sama?" Tanya Angga lagi.
"Tidak," jawab Exa, "duniaku lebih ajaib dari duniamu."
Angga hanya diam, perlahan ia berdiri, kemudian mengangkat cermin antiknya diantara kedua tangan.
"Kuharap aku tidak gila untuk membawamu kembali ke kamarku," gumam Angga, cukup kuat untuk didengar oleh Exa.
"Kau tidak gila. Sudah kubilang ini nyata," Exa tertawa kecil, "jadi, siapa namamu?"
"Angga."
*~*~*~*
"Angga? Kau tidak sekolah?" Suara Exa membuyarkan lamunan Angga seketika.
Angga berdeham, matanya mengerling pada jam di atas 'Exa'. Masih ada waktu sebelum bel sekolah berbunyi.
"Aku berangkat dulu," ucap Angga sambil melambaikan tangannya pada cermin di depannya, yang dibalas Exa dengan senyuman manis yang menawan.
Akhirnya Angga melangkah meninggalkan rumahnya, menuju tempatnya menuntut ilmu. Ia mendesah perlahan saat kembali mengingat pertemuan pertama antara dirinya dan Exa.
Ini benar-benar gila.
Hanya dalam waktu seminggu, Angga telah jatuh cinta pada mahluk cermin itu.
Tidak-tidak, sebenarnya Angga sudah terpesona dengannya sejak awal. Ia hanya baru menyadarinya seminggu kemudian. Dan lebih gilanya lagi, Exa merasakan hal yang sama sepertinya.
Entah Angga harus senang atau sedih. Kenapa ia harus jatuh cinta pada seseorang yang tinggal di dimensi berbeda dengannya?
"Tapi ... cinta itu buta kan?" Angga memejamkan matanya, mengusir pikiran-pikiran tentang Exa lebih lanjut dan fokus pada tujuannya untuk ke sekolah.
Tapi sebenarnya, meskipun Angga berusaha untuk tidak memikirkan hal itu, pikirannya tetap saja terpaku pada cermin antik di rumahnya. Ia bahkan menceritakan semuanya dengan teman-temannya, membangga-banggakan bahwa ia bisa berhubungan dengan mahluk dari dimensi lain.
Tentu saja hal itu direspon dengan tatapan aneh oleh mereka. Bahkan mereka mengatakan Angga sudah gila karena hampir setiap hari ia menceritakan 'Si Mahluk Cermin'. Siapa pula yang akan percaya takhayul seperti itu di jaman yang sudah modern seperti ini?
Itu juga membuat Angga dijauhi teman-temannya, bahkan sahabatnya—Sai—juga mulai menganggap dirinya tidak waras.
Tapi Angga sudah terlalu bahagia dengan Exa yang selalu ada dan bicara padanya setiap ia menatap cermin.
Jadi, untuk apa dia peduli?
*~*~*~*
"Hei, Maniak Cermin, selamat pagi!" Sapa salah satu teman sekelas Angga.
Angga hanya menatap datar temannya itu, kemudian berlalu pergi menuju bangkunya. Di sana ia melihat Sai sedang sibuk memainkan sesuatu dari ponselnya, tanpa menyadari kehadiran Angga sama sekali.
"Pagi, Sai," sapa Angga.
"Hm," balas Sai tanpa beralih dari ponselnya. Entah apa yang sedang dilakukan laki-laki itu pada ponselnya, bermain game mungkin?
Angga hanya bisa menghela napasnya dan kemudian duduk di samping sahabatnya itu. Ia kemudian membuka tasnya, mengambil buku novel dan membacanya dengan tenang.
Tak lama kemudian Angga merasakan suara napas menderu di salah satu daun telinganya, disertai suara yang membuat ia mengalihkan fokus panca inderanya pada telinga.
"Sudah kau pecahkan cermin itu?" suara bisikan Sai membuyarkan konsentrasi Angga pada novelnya.
"Belum," jawab Angga sekenanya, "aku tidak sanggup."
Sai mendecak, lalu kembali beralih pada ponselnya. "Kau bisa benar-benar gila jika terus berbicara dengan benda mati."
"Jadi kau percaya bahwa aku bertemu dengan 'sesuatu' dari dalam cermin?" Tanya Angga.
"Sedikit, sangat sedikit. Itupun karena aku tahu kau jarang berbohong," jawab Sai.
"Setidaknya ada yang percaya padaku. Jadi aku tidak merasa benar-benar sudah tidak waras," balas Angga disertai dengan helaan napas panjang, "kau tahu, lelah rasanya terus menerus diledek dengan sebutan 'maniak cermin'."
"Itu karena kau yang bodoh," sindir sahabat Angga itu, "untuk apa kau membanggakan hal yang tak lazim seperti itu?"
Angga mencibir, "Kau hanya tidak tahu rasanya memiliki sesuatu yang berbeda dari yang lain."
"Aku tahu. Rasanya mengerikan."
"No, rasanya menyenangkan."
Sai memutar bola matanya malas, "Sadarlah, hal-hal seperti itu bisa saja berbahaya."
Namun Angga hanya tersenyum miring sambil mengendikkan bahunya. Ia menutup buku novelnya dan kemudian berpaling pada Sai yang juga sedang menatapnya.
"Dia tidak berbahaya. Kalau kau tidak percaya, kau bisa lihat sendiri di rumahku."
"Oke. Besok aku akan ke rumahmu. Akan kubuktikan bahwa benda yang menurutmu 'sangat menakjubkan' itu kenyataannya 'sangat mengerikan'," balas Sai dengan senyuman mengejek.
*~*~*~*
"Jadi ... besok temanmu yang bernama Sai itu akan ke sini?" Exa mengetuk-ngetuk 'pembatas dimensi' antara dirinya dan Angga.
"Hm, begitulah," balas Angga datar, "jujur saja, aku masih kesal padanya gara-gara perkataannya tentangmu."
Saat ini Angga sedang menonton televisi bersama Exa. Namun itu malah membuat pandangan Angga tertuju pada gadis di sampingnya ini, bukan pada benda berbentuk kotak yang mengeluarkan cahaya dan suara itu.
"Hm? Memangnya dia mengatakan apa tentangku?" Tanya Exa.
Angga mengambil cermin antik setinggi setengah badan di sampingnya, kemudian membuatnya berdiri di atas pahanya. Exa kini dapat melihat air mukanya yang tampak kesal.
"Dia berkata bahwa kau berbahaya." Mata coklat Angga menatap Exa dengan kedua alis tertaut, kontras dengan iris semerah darahnya yang mengerjap beberapa kali.
Exa hanya tertawa kecil, sejenak membuat Angga terpana karena senyumnya yang manis. "Itu wajar, Angga. Berbicara dengan mahluk beda dimensi bukanlah hal yang lazim di duniamu."
"Memangnya di duniamu itu hal yang lazim?"
"Tidak juga," Exa menggeleng, "tapi aku sering membaca artikel tentang cara untuk berbicara dengan mahluk beda dimensi melalui cermin. Jadi, aku melakukannya, dan berhasil."
"Dulu aku berpikir bahwa itu hanya mitos. Tapi ... setelah aku melihat kau muncul dari cerminku. Aku percaya bahwa hal-hal seperti itu memang ada," ucap Angga.
"Yah ... mau tidak mau kau memang harus percaya, kan?"
Angga terkekeh pelan, "Yah, aku memang harus percaya. Bahkan sekarang aku sedang berpikir bagaimana caranya agar kita bisa terus bersama, selamanya."
"Hm? Sepertinya kau benar-benar menyukaiku ya, aku bahkan belum terpikir sampai ke sana."
"Memangnya kau tidak suka?"
Namun Exa menggeleng. "Tidak, aku suka, suka sekali."
Pada akhirnya Angga hanya bisa membalas dengan senyuman. Kemudian ia kembali 'meletakkan' Exa pada sofa di sampingnya, mata dan telinganya mulai mencoba untuk terfokus pada televisi. Lain halnya dengan Exa yang kini terlihat sedang berpikir.
Yah ... mau tidak mau, dia juga memikirkan perkataan Angga. Bagaimana caranya agar mereka terus bersama, dengan dimensi yang berbeda?
*~*~*~*
"Jadi ... kuperingatkan kau agar tidak berbuat macam-macam padanya."
Sai mendengus, ia tersenyum miring, "Memangnya kau kira aku bisa melakukan apa pada cermin? Memeluk? Mencium? Yang benar saja."
Angga hanya membalas cibiran Sai dengan diam, sementara tangannya aktif memasukkan alat tulis serta buku-buku yang berserakan di meja, bersiap pulang.
"Tapi awas saja kalau kau berbohong, akan kubanting cermin palsu itu ke kepalamu," ancam Sai.
Angga melirik Sai sekilas, kemudian kembali pada kegiatan berkemasnya. "Lebih baik kubuktikan langsung di rumah daripada harus banyak mengoceh tanpa bukti."
Dalam hati Sai membenarkan kata-kata Angga. Dan setelah itu tak ada lagi percakapan diantara mereka, hanya keheningan selama melewati koridor sekolah dan jalanan setapak menuju rumah Angga.
Dalam perjalanan, Sai terus berpikir. Ia sebenarnya sangat tidak percaya pada 'mahluk cemin' yang dikatakan Angga. Namun Sai juga tahu, Angga bukanlah seseorang yang percaya pada hal-hal aneh seperti itu. Jadi, mana mungkin laki-laki itu sangat mempertahankan fakta bahwa ada 'mahluk cermin' di rumahnya jika itu hanyalah bualan semata.
Atau Angga sudah tidak waras?
Tidak, tidak mungkin.
Atau ... saking kesepiannya ia tinggal seorang diri di rumah, Angga jadi membuat teman khayalan?
Itu juga tidak mungkin, sangat tidak mungkin malah.
Ah, tidak tahulah, lebih baik kubuktikan langsung di rumahnya, batin Sai. Kepalanya menggeleng cepat, mengusir pikiran-pikiran aneh yang berkecamuk di otaknya.
Tiba-tiba, suara besi yang berdecit memecah lamunan Sai. Laki-laki itu menoleh, menatap Angga yang kini menatapnya heran sementara salah satu tangannya sedang membuka pagar rumahnya.
"Kenapa kau masih berdiri disana?"
Tapi Sai hanya menaikkan salah satu alisnya. "Kenapa kau begitu memperhatikanku? Masuk saja, aku akan mengikutimu."
"Hm, oke." Angga hanya mengangguk pelan, kemudian melangkah masuk melewati pekarangan rumahnya yang tidak terlalu luas.
Ketika Sai ikut masuk ke dalam area pekarangan, matanya menyapu seluruh hamparan rumput terawat yang menyambut pandangannya. Harum petrichor yang tercium menjadi pertanda bahwa kemarin malam sang hujan benar-benar datang.
Sai dan Angga terus berjalan menuju pintu dari rumah bernuansa putih di depan mereka. Terkadang Sai berpikir, kenapa rumah dengan dua lantai yang bisa disebut cukup besar ini hanya ditinggali oleh satu orang. Namun saat mengingat fakta bahwa keluarga Angga merupakan orang-orang sibuk dan tinggal di kota yang berbeda dengannya, maka Sai mau tak mau harus mengusir pikiran itu.
"Berhentilah melamun dan masuklah." Sai mendongak, melihat Angga yang kini sudah berada di dalam rumah dan lagi-lagi menatapnya datar.
"Aku tahu, aku tahu," Sai berdecak, melangkah masuk dengan kaki menghentak.
"Jangan lupa lepas sepatumu itu," Angga mengingatkan, "dan ... nanti kau langsung ke kamarku saja, Exa ada di sana."
"Baiklah."
"Dan ingat, jangan berbuat macam-macam padanya."
"Aku tahu, jadi diamlah," ucap Sai sambil menatap sinis pada Angga. Jujur saja, baru kali ini ia melihat sisi sahabatnya yang semenyebalkan ini, apa ini juga gara-gara mahluk cermin itu?
"Baiklah," Angga mengendikkan bahunya tak acuh, "aku akan ke dapur sebentar, kau tunggulah di kamar."
"Hm, ya."
Angga menghela napasnya, kemudian melangkah pergi ke arah dapur. Pandangannya kosong, isi pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan yang akan muncul jika Sai melihat Exa secara langsung. Apakah laki-laki itu akan takut? Ataukah terkesima, seperti apa yang terjadi pada dirinya saat pertama kali melihat gadis itu?
Apapun itu, Angga harap Sai tidak akan jatuh cinta pada Exa seperti dirinya.
Setelah memasuki dapur dan mengambil beberapa camilan yang ada di atas meja makan, serta menuangkan air putih ke dalam cangkir. Ia kembali melangkah keluar. Suara hentakan kakinya terdengar, membuat Angga menyadari betapa sepi rumahnya saat ini.
Tepat pada saat itu pula, terdengar suara benda yang pecah dan teriakan dari lantai atas.
"Cermin terkutuk!"
Cangkir dan cemilan yang digenggam Angga seketika lepas, menimbulkan suara pecahan untuk yang kedua kalinya. Raut wajahnya berubah panik, ia berlari secepat mungkin menaiki tangga, mengabaikan pecahan cangkir yang tak sengaja menghunus kakinya.
Sai ... sudah kubilang agar kau tak berbuat macam-macam!
Brak! Suara nyaring pintu yang terbuka mengejutkan Sai. Namun Angga mengabaikan hal itu, pandangannya tertuju pada benda yang kini hancur berkeping-keping. Hancur di depan matanya dan sahabatnya. Seketika kakinya lemas, Angga bertopang pada gagang pintu yang digenggamnya.
"Apa yang kau lakukan, Sai?" Tanya Angga parau, "apa yang kau lakukan!"
Angga berharap Sai menunjukkan perasaan bersalah, ia berharap sahabatnya itu tak sengaja. Namun tidak, tak ada raut wajah penyesalan yang ada di sana.
"Cermin ini terkutuk," jawab Sai singkat, matanya menatap ngeri pada cermin yang telah hancur di hadapannya.
"Tidak ... tidak ... kau sudah merusaknya. Kau merusak harta berhargaku," suara Angga terdengar parau, matanya menatap nanar pada 'harta berharga'nya yang telah rusak. Kakinya yang tertusuk kaca mulai merasakan sakit.
Sai berlari mendekati Angga, mencengkram kedua bahu sahabatnya, serta mengguncangnya. "Sadarlah, Angga! Kau tidak seharusnya tinggal dengan benda terkutuk seperti itu!"
"Memangnya kau tahu darimana benda itu terkutuk, hah?" Angga memicingkan matanya, "jangan bersikap seolah kau mengetahui segalanya."
"Dia berbicara padaku! Dia mengatakan bahwa—"
Angga mendesis, "Cukup, aku tidak peduli. Sekarang pergi dari hadapanku."
"Tapi—"
"Pergi kubilang!" Angga mencengkeram lengan Sai, menariknya dan menuntun paksa menuruni tangga, lalu melempar laki-laki itu keluar dari rumah.
"Jangan pernah muncul di hadapanku lagi." Angga menatap sinis pada Sai yang menatapnya terkejut, kemudian membanting pintu dengan kuat.
Maafkan aku Exa, aku terlalu ceroboh.
*~*~*~*
"Harus tersambung ... harus tersambung lagi."
Prang!
"Tidak! Jangan pecah lagi!"
"Aku harus menempelkannya lagi."
"Akhirnya ... semuanya sudah tersambung lagi."
Angga mengusap keringat yang mengalir dari dahi, bibirnya tersenyum tipis. Usahanya selama tiga hari tidak sia-sia, cermin antiknya menempel lagi meski masih terlihat retakan di sana-sini.
Tiba-tiba cahaya yang sangat terang muncul dari celah-celah retakan, membuat Angga memejamkan matanya silau.
Saat mata coklatnya terbuka, betapa terkejutnya Angga.
Seorang gadis dengan rambut hitam panjang serta iris mata semerah darah muncul di hadapannya, lagi, untuk yang kedua kalinya. Bibir gadis itu masih tersenyum, seperti yang sudah-sudah.
Namun kali ini berbeda.
Exa ada di hadapannya, secara langsung, tanpa ada pembatas cermin seperti dahulu.
"Angga ... akhirnya," Exa tersenyum lebar, berlari mendekati Angga dan memeluknya dengan erat, "kupikir aku tidak akan bisa bertemu denganmu lagi."
Angga terpaku, masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Kau benar-benar Exa kan?"
"Tentu saja, kau pikir aku hantu?" Exa terkekeh.
Angga tersenyum, ia tertawa dan membalas pelukan Exa lebih erat. "Syukurlah, aku takut kita tidak akan bertemu lagi."
"Itu tidak akan terjadi, bukankah sudah kubilang bahwa aku mencintaimu? Aku tidak mungkin bisa meninggalkanmu."
"Begitupun denganku," balas Angga.
"Angga, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" Exa menatap mata Angga, tanpa melepaskan pelukannya.
Angga tersenyum, dan mengangguk.
"Di sini, kau tinggal sendirian, kan?" Tanya Exa.
"Hm? Ya, kau benar. Memangnya kenapa?"
"Syukurlah."
Angga mengangkat kedua alisnya bingung. "Kenapa kau bilang—akh!"
Tiba-tiba bahu Angga bergetar, pelukannya pada Exa semakin erat seiring dengan mulutnya yang mengeluarkan ringis kesakitan.
"Ada apa, Angga?" Tanya Exa, raut wajahnya berbah panik.
"P-punggung...," ucap Angga terbata, "aku merasakan sesuatu menusuk punggungku."
Tiba-tiba pelukan Angga tak lagi seerat sebelumnya. Keringat bercucuran dari dahinya, begitupun dengan pandangannya yang perlahan mengabur. Sedetik kemudian, ia terduduk lemas di lantai.
"Apa ... yang terjadi?"
Angga mendongak, menatap Exa sebelum pandangannya menggelap.
Gadis itu juga menatapnya, dengan sebuah seringai.
Bruk!
Setelah itu, semuanya gelap.
*~*~*~*
Sesosok siluet hitam berjalan perlahan menuju sebuah pigura yang terisi cermin. Tangannya menggenggam sebuah pecahan kaca yang berlumur darah, meskipun begitu, senyumannya yang manis masih tak hilang dari wajahnya.
Ia kini sudah berdiri di depan cermin yang berukuran setengah badan. Iris merahnya menatap sebuah celah yang merusak keindahan benda cantik itu, ada pecahan kaca yang hilang di sana.
Dan pecahan itu, kini ada di tangannya.
Siluet hitam itu mengangkat tangannya, memperhatikan pecahan kaca berlumur darah yang ada di genggamannya. Kemudian ia tersenyum, dan meletakkan pecahannya di dalam celah yang kosong itu, tanpa membersihkan darah yang mengotori bagian tertajamnya.
Kini, cermin itu kembali sempurna.
"Kini harapanmu akan terwujud, Angga." Siluet hitam itu tersenyum semakin lebar, jemarinya menyusuri ukiran pada pigura cermin.
Tiba-tiba, muncul sebuah asap pekat dari dalam cermin itu. Hanya di dalam sana, sementara ruangan suram ini masih baik-baik saja.
Asap tersebut perlahan membentuk sesuatu, seperti sebuah manekin yang terbuat dari asap. Namun itu hanyalah awalannya, sementara hasil akhirnya adalah kemunculan seorang remaja laki-laki bersurai coklat yang kini berdiri dengan mata terpejam.
Perlahan, laki-laki itu membuka matanya. Matanya terlihat sayu, sebelum akhirnya membelalak saat menyadari bahwa ia berada di suatu tempat asing.
"Halo, Angga," sapa siluet hitam yang kini sedang menatap Angga dengan wajah tertarik.
Laki-laki di dalam cermin itu terpaku, menyadari bahwa kini siluet hitam itu tak lagi ada di hadapannya secara langsung. Kini mereka terpisah lagi oleh pembatas dimensi berupa cermin.
"Exa? Kenapa aku ada di sini?" Angga mengetuk cermin yang membatasi dirinya, "ini bukanlah rumahku."
"Memang bukan, ini rumahku, Angga." Siluet hitam itu—Exa—tersenyum pada Angga yang masih terlihat sangat terkejut.
"Kenapa ... kau mengurungku di sini?"
"Bukankah kau yang menginginkannya, Angga?" Balas Exa.
Mata Angga memicing, dipukulnya cermin pembatas itu dengan kuat, tapi percuma, cermin itu sangat kokoh. "Aku menginginkan terkurung di dalam sini? Yang benar saja, Exa!"
Exa menggeleng. "Bukan, bukan yang itu. Tapi keinginanmu untuk hidup bersamaku, selamanya."
"Lalu kenapa tidak kau saja yang tinggal di dimensiku, hah? Kenapa kau mengurungku?"
Exa terdiam sejenak, senyumnya tersungging. Perlahan ia berjalan mengelilingi ruangan suram berbentuk kubus itu.
"Aku tidak bisa terus menerus di dimensimu lebih dari satu hari. Kenapa aku mengurungmu di dalam cermin? Karena kau bisa bertahan di dimensiku jika tetap berada di sana," jawab Exa lancar, "tenanglah Angga, aku akan tetap mengunjungimu setiap hari. Sehingga kau tidak kesepian."
"Tidak mungkin...." Angga mengusap wajahnya kasar, matanya menatap tajam pada Exa.
"Kau tidak akan bisa melakukan hal-hal ajaib seperti ini di duniamu. Karena dimensiku lebih ajaib daripada dimensimu," ucap Exa tenang.
Sedetik kemudian ia menyeringai, lalu menempelkan dahinya pada permukaan cermin. "Dan ... bukankah ini yang kau inginkan? Kita terus bersama, selamanya."
"Dan inilah caraku, Angga."
Kini, Angga menyesal karena tidak mendengarkan penjelasan Sai terlebih dahulu saat itu.
The End.
Cerita ini kupersembahkan untuk memenuhi event OrangeWriters. Dengan tema "cinta beda dunia".
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top