6 |
Bab 6
Isinya Flashback semua guys. Jadi nggak akan di italic.
7 November 2018
Luna memeriksa jam tangannya, sudah pukul delapan malam. Waktunya pulang. Jika terlalu larut, ibunya pasti khawatir. Pekerjaannyapun sudah selesai, hanya mendesain dan membuat surat-surat. Ia membereskan alat-alat tulisnya yang berserakan. Menyimpan laptopnnya ke dalam tas. Dan mencangklongnya. "Guys, ini desain surat suaranya udah jadi." Mereka yang tengah sibuk dengan dekorasi TPS, menoleh. Luna menyerahkan flashdisk pada Akira, ketua pelaksana Ketua OSIS tahun ini. "Wah, makasih, ya, Lun."
Cowok kurus kecil itu menatap Luna dari ujung kepala hingga sepatu. Saat itu Luna masih mengenakan seragam lengkap. "Mau langsung pulang, Lun?" Luna mengangguk kecil. "Yah, kita mah mau nginep, nih. Ada yang mau nganterin Luna nggak? Kasian pulang sendirian." Akira memandang teman-temannya yang sedang fokus memilah kain batik untuk dekorasi. Rencanaya tema kali ini adalah kearifan lokal, ruangan pencoblosan akan di tempeli kain batik sebagai background dan beberapa payung geulis di tempatkan dibeberapa sudut.
Sebelum salah satu dari mereka menjawab pertanyaan Akira, sebuah suara dari belakang Luna menginterupsi, "Gue aja yang nganterin Luna."
Luna memutar tubuh, mendapati cowok berwajah lembut tengah menatap ke arahnya. "Boleh, nih, Pak Ketua?" Luna mengerling jahil, menggodanya. "Ya, boleh, lah. Gue juga mau pulang, lagian gue bukan panitia pelaksana. Entar malah di curigain lagi." Cowok itu terkekeh. Merasa lucu dengan ucapannya sendiri. Dan Luna sadar akan reaksi tersebut.
Pemilihan ketua osis kali ini akan terasa panas. Calonnya hanya dua, tetapi keduanya mempunyai kekuatan yang sama. Keduanya memiliki peluang yang sama besarnya.
Rigel, bintang paling terang di SMA Langit Biru. Badannya yang tinggi, kulit putihnya yang bersinar, bibir tebalnya yang menarik ketika menyeringai, tatapan matanya yang mengintimidasi, menjadi favorite kaum hawa. Dia adalah ketua kelas, teman-temannya mengatakan, ide-idenya sangat segar dan inovatif. Dia adalah orang yang fleksibel ketika mengambil keputusan.
Candra Pratama Arif, dia bukan bintang. Secara fisik, dia mungkin kalah dengan Rigel. Tetapi itu bukan halangan, karena fisik bukan salah satu syarat pencalonan. Ia tidak perlu khawatir akan itu. Candra juga menarik dari segi fisik, selain wajahnya yang teduh, dia memiliki kepribadian yang hangat. Seringkali dia bertingkah konyol, membuat orang tidak merasa canggung dengannya. Teman SMP-nya mengatakan Candra adalah mantan ketua OSIS, tipe kepemimpinan yang demokratis, selalu mengambil keputusan dengan musyawarah.
Tetapi karena tingkah konyol Candralah, kepala sekolah meragukannya. "Orang kayak gitu emang bisa serius?" Penampilan Candra yang terkadang urakan, membuat sebagian orang melabelinya anak yang kurang disiplin.
Seperti sekarang, kemeja panjangnya keluar dari celana seragamnya. Kancing atasnya terbuka dua. Ia memakai jaket merah maroon. Rambut hitam lurusnya berantakan. Seperti baru bangun tidur.
"Ayok, keburu malem." Candra sadar dirinya sedang diperhatikan, dia memaklumi. Luna tersenyum malu atas perbuatannya. "Pak Ketu!" Cowok berwajah teduh itu mengabaikan panggilan Luna. Menganggap bukan ia yang dituju.
Luna yang memiliki langkah pendek, mengekor di belakang. Mencebik, karena terabaikan. "Candra, ih!" Cowok itu memutar tubuh sedikit, melirik Luna yang susah payah mengejarnya. "Apaan?" lantas kembali fokus ke depan.
"Besok pemilihan, nih, ada niat serangan fajar, nggak?" Candra tertegun sebentar, berhenti. Mendadak menjentikan jarinya tepat di wajah Luna dengan wajah berbinar. "Ide bagus!" Hanya sebentar, kemudian air mukanya berubah serius kembali. "Tapi, nggak." Tegas, itu yang tertangkap oleh telinga Luna.
"Kenapa?" Luna hanya main-main mengenai pertanyaan ini. ia juga ingin menguji calon ketua osisnya. Apakah akan cocok memimpin organisasi yang kini berada di bawah pengawasannya. "Ya, karena gue nggak punya duitlah. Gimana sih?" Candra terkekeh.
Luna menggaruk tengkuknya, heran. Ia mengira Candra akan menjawab pertanyaannya dengan serius, penuh kebijaksanaan. Jawaban yang kan membuat Luna terpukau. Ternyata Luna terlalu berekspektasi. "Kenapa? Kecewa?" gadis berpipi gembil itu menggeleng pelan.
"Kamu nggak bisa ditebak." Candra tersenyum lembut. "Emang apa yang lo harepin? Gue bakal jawab dengan pasal-pasal atau jawaban yang super serius ala calon presiden sedang debat capres? Gue Cuma realistis aja, kok."
Luna mengangguk faham. Candra mengangkat tangannya, mengusak puncak kepala Luna hingga rambutnya berantakan. "Ih, Pak Ketu kurang ajar!"
"Hush, gue bukan ketua, baru calon!" Luna mengangguk main-main. Mengiyakan apa yang diucapkan. "Tapi aku yakin kamu pasti menang." Kini pipi gembilnya yang jadi sasaran. "Doain aja."
Tiba-tiba aksi Candra terhenti, pandangannya jatuh ke belakang Luna. Gadis itu merasakan aura tak menyenangkan yang terbaca oleh raut wajah Candra. Ada hantukah? Sebelum Luna memeriksa apa yang dilihat oleh Candra, cowok itu sudah bergegas pergi. Meninggalkannya.
Luna sebenarnya takut, tetapi ia mencoba memberanikan diri. Detik itu pula ia tertegun, menyadari dua staf kependidikan sedang berjalan ke arahnya setelah selesai mengunci ruangan tata usaha. Ia tersenyum, lantas menyusul Candra yang sudah beberapa langkah di depannya.
Berkali-kali ia memukul mulutnya brutal di sepanjang perjalanan. Merutuki ucapannya yang mungkin saja di salah pahami oleh orang lain. Apalagi jika ucapannya mungkin saja terdengar oleh pegawai tata usaha tadi. Bisa-bisa mereka melapor yang tidak tidak kepada kepala sekolah. Gawat. Dirinya dalam masalah.
...
"Panggilan kepada tim sukses kedua calon ketua osis harap berkumpul di sumber suara." Suara Luna menggema ke penjuru sekolah. Terdengar tegas namun menggemaskan.
Beberapa menit kemudian, datanglah Takuya. Cowok yang tingginya membuat Luna mendongkak untuk menemukan wajahnya yang ternyata memiliki tahi lalat di dagu. "Saya Takuya, perwakilan tim sukses dari nomor 01 Candra."
Kemudian datang lagi cowok yang lebih pendek dari Takuya. Oh, ternyata sangat jauh sekali tinggi badannya. Kepalanya hanya menyentuh pundak Takuya saja. Tawa Luna hampir tersembur.
"Gua Ahmad Prayoga dari 02 Rigel." Luna mengangguk, cowok itu terlihat cuek. Matanya berkeliling melihat-lihat dekorasi ruangan. "Yoga! Kok kamu jadi timses Rigel?"
Matanya memicing, "walaupun beda kelas 'kan, sama-sama IPA. Masa gue dukung IPS."
Takuya berdiri tak nyaman dengan pembicaraan ini. Lunapun mengambil sikap, "Yaudah kalian siap, kan? Sama tugasnya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top