Tarendra ~Resmi Jadi Suami!
"Tahu, tahu apa yang enak?"
Oriza mengernyit mendengar pertanyaan gue.
"Ayo dong jawab." Tuntut gue.
"Jawab apa?" Kebiasaan Oriza banget ini. Nggak peka.
"Ya tebak-tebakan aku tadi." Ucap gue dengan sedikit kesal.
"Oh itu tadi tebak-tebakan toh, Za pikir kak Ren nanyain makanan tadi, makanya Za rada mikir keras gitu buat jawabnya. Ya tau sendirilah ya, tahu rasanya ya gitu-gitu aja, rasa kedelai. Paling nanti..."
Cup!
Bibir gue mendarat di bibir Oriza yang tengah mengoceh. Cara paling aman menghentikan ocehan nomor wahid yang gue ketahui. Ya, kalau pakai omongan takutnya nanti kata-kata yang keluar dari mulut gue yang sedang kesal karena mendengar ocehannya malah bikin sakit hati, so bungkam dengan mulut a.k.a cium adat option terbaik. Hahaha.
"Tahu dihatimu hanya ada aku." Jawab gue setelah puas membungkam bibir Oriza.
Dan sebuah tabokan dahsyat mendarat di lengan gue. "Apaan sih." Oriza beringsut menjauh.
"Itu jawaban dari tebak-tebakan aku tadi." Beritahu gue.
"Bodo!" Jawab Oriza sewot.
"Ih, kok bodo. Beneran itu."
Seriusan itu. Tau kalau dihati Oriza penuh dengan nama gue bikin gue senang minta ampun. Katakanlah gue lebay, bucin whatever people name it. Gue nggak peduli. Yang penting cinta gue berbalas although
dengan cara yang luar biasa.
"Pokoknya Za tuh kesel! Sebel sama kak Ren!"
"Kok kesel?"
"Kak Ren nyosornya nggak tau tempat. Kalau papa mama Za keluar gimana? Dipaksa nikah besok kita."
"Lah, bagus dong. Nggak perlu nunggu lama lagi aku." Sebuah bantal sofa mendarat di wajah ganteng gue.
Bocah kesayangan gue emang rada bar-bar, apalagi kalau lagi kangen berat gini. Maklumin aja. Udah semingguan nggak gue kasih asupan kasih sayang.
"Kalau ngomong itu suka asal ya. Nggak malu apa sama umur!"
"Malu itu buat orang yang belum taken. Lah, aku kan udah jadi milikmu kesayangku." Gue ngomong gitu sambil nyolek dagu Oriza, bikin mendelik kesal.
"Jangan marah-marah dong calon ibunya anak-anakku. Bikin aku tambah gemes tau nggak." Gue duduk mendekat, nggak peduli Oriza yang bete karena gue godain.
Oriza itu mood booster nya gue. Bikin dia kesel itu hiburan tersendiri buat gue. Apalagi ngeliat langsung ekspresi dia pas kesel. Pengen gue bawa ke kamar aja rasanya. Gemesin banget.
"Kak Ren sih, hobi banget bikin Za kesel." Ucapnya dengan bibir mengerucut, yang bikin gue pengen nyium.
"Maklumilah calon imammu ini wahai bidadari surgaku."
"Ish, ngeselin banget sih jawabannya."
"Aduuuuh, sakit Za." Gue mengaduh kesakitan karena paha gue mendapat capitan maut Oriza.
"Makanya serius dikit kalau ngomong."
Sumpah deh bocah kesayangan gue ini, hobi banget menganiaya gue. Ini masih otw nikah loh, belum ijab qabul, belum malam pertama.
Apalagi kalau udah sah nanti. Siap-siaplah badan gue menerima siksaan sampai akhir hayat nanti.
Gue menegakkan tubuh gue. Memasang tampang serius gue bertanya pada Oriza."Kamu tahu nggak kenapa kita bisa sampai di tahap ini?"
Dan dia menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan gue. "Bukan karena kita memiliki sifat yang sama. Bukan karena kita memiliki hobi yang sama. Tapi kita bisa sampai ke tahap ini karena kita sadar, kita ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Kamu melengkapi kurangku dan aku menjadi penyempurna lebihmu." Ucap gue sambil ngegenggam tangan Oriza. "Dan lagi ya, apa-apa yang menurutmu menyebalkan itu hanya kupersembahkan spesial untukmu. Percaya nggak?" Gue kasih dia cengiran yang biasa berhadiah tabokan atau cubitan. Untungnya kali ini tangannya nggak beraksi, lagi gue genggam soalnya, hehehe.
Tapi, Oriza harus percaya sama yang gue ucapin. Cuma saat bersama dia gue bakal jadi diri gue sendiri. Bawelnya gue. Ngeselinnya gue. Manjanya gue. Labilnya gue. Semua yang dia anggap nggak banget itu hanya gue tunjukkan sama dia. Eh, sama keluarga juga sih, tapi adalah perbedaan antara gue dan keluarga, dan gue ke Oriza. Yang pasti hanya pada orang-orang yang berarti dalam hidup gue, gue menampilkan sisi asli gue.
"Nah gitu dong." Gue membawa Oriza kedalam pelukan gue ketika gue liat kepalanya mengangguk tanda dia percaya pada apa yang gue katakan.
"Selalu jadi Orizanya aku ya bocah kesayangan." Ucap gue seraya gue kecup-kecup Pucak kepalanya.
Setiap orang punya kurang dan lebihnya. Dan jadi pasangan itu bertujuan untuk menjadi penyempurna satu sama lain. Gue nggak bisa menuntut Oriza jadi sempurna dengan menuntut dia ini dan itu. Tapi gue lah yang akan menyempurnakan dia. Pun dia dihidup gue. Menjadi penyempurna bagi hidup gue.
"Za, boleh cium nggak? Kan aku barusan jadi cowok bijak."
Dan gue merusak momen bermesraan kami dengan kata-kata yang keluarkan.
***
"Pokoknya Abang serahin semua sama bunda."
"Ya nggak bisa gitu dong. Yang bakal nikah kan kamu. Masa semua-muanya terserah bunda." Nyokap berkacak pinggang menghadap gue.
"Kalau maunya Abang sih ijab di KUA. Sah. Malam pertama, udah deh." Kuping gue langsung dijewer ampe rasanya mau putus saking geramnya nyokap denger omongan gue.
Tapi itu jujur dari hati gue yang paling dalam. Gue itu pengennya nggak pake ribet plus mumet gini. Yang super-super simpel aja. Nikah di KUA habis itu malam pertama. Nggak perlu ada acara debat milih menu. Warna undangan. Warna baju. Tema pernikahan. Sumpah pala gue rasanya mau pecah pas dengernya.Karena aktualnya, gue lebih sering ngangguk dan sesekali ngegeleng pas ditanyain —biar cepet aja gitu.
Tanpa diikut sertakan pun, gue bakal oke aja ama pilihan bocah kesayangan, bunda and calon mama mertua. Yang penting semua keruwetan menjelang hari pernikahan gue cepat selesai. Tapi itu nggak cukup bagi para wanita. Gue dibilang nggak antusias.
Nggak antusias? Salah besar mereka. Kan gue yang ngebet nikah. Pastilah gue antusias nunggu tanggal sahnya gue jadi suami Oriza. Tapi ya itu gue nggak mau ribet aja sama prosesnya.
"Mulutnya. Anak siapa sih ini?" Nyokap kesel banget denger ucapan gue.
"Anak bunda kan?" Jawab gue sambil ngusap-ngusap telinga yang tadi dijewer. Rasanya panas.
Nyokap mengusap-usap dadanya "Astaga!" Frustrasi ngadepin gue. " Yah, anakmu ini loh!" Adu nyokap.
Bokap yang duduk di sofa cuma mengedikkan bahu tidak perduli, tanda tak mau ambil bagian dalam perdebatan gue dan nyokap.
"Bunda nanya. Abang jawab. Nah giliran Abang jawab apa yang ada di hati dan pikiran, bunda malah kesel. Aneh!"
"Ya masa kamu nggak antusias gitu." Nyokap duduk di samping gue.
"Siapa bilang Abang nggak antusias. Banget malah. Apalagi ..."
"Bunda cabe nih mulutmu kalau kamu masih ngelantur gitu jawabnya." Mata bunda melotot kayak Suzanna gitu bikin gue mengkeret, takut.
"Ngelantur gimana? Bunda sih suka berprasangka buruk gitu sama anak tampannya."
"Tampan tapi otaknya gresek!"
"Nggak ah, otak Abang nggak ngresek." Gue ngeles.
"Alah Bunda tau apa yang ada di otak kamu itu." Ucap nyokap sambil jarinya mengetuk- ngetuk kepala gue.
Emang anak nyokap banget gue ini. Sampai-sampai apa yang belum gue ucapkan pun nyokap tau. Terbaiq emang bunda Ayna kecintaan ayah Imbang ini.
"Pokoknya Abang ikut apa yang udah bunda, mama, sama Oriza rencain. Abang setuju-setuju aja asal nggak bikin repot. Asal nggak bikin kalian capek."
Intinya gue ngikutin apa yang para wanita mau. Gue tinggal bawa ATM, badan sama nyiapin waktu buat menyukseskan acara.
"Ya nggak capek lah wong kita pakai WO. Semua-semuanya udah diurusin, kita cuma nyiapin budget aja biar semua sesuai dengan apa yang direncanakan." Jawab bunda.
Gue yakin banget kalau bocah kesayangan gue sama dengan gue, pengen yang simpel aja. Tapi, karena kita perdana di keluarga jadinya manut sama keinginan keluarga kita. Dan gue yakin dari semua printilan yang dibutuhkan untuk pernikahan Oriza hanya menyumbangkan 10% idenya. Terutama soal baju. Sisanya dia pasti iya-iya aja sama usul para tetua. Kesayangan gue itu kan nggak mau ribet, sama kayak gue.
"Pokoknya Abang nggak mau bunda dan yang lainnya kecapean. Titik!"
"Aduh manis banget sih anak tampan bunda ini." Bunda uyel-uyel pipi gue macam gue ini anak lima tahun padahal bentar lagi mau bikin anak.
***
Oriza anaknya pak Salim, bidadari surgaku, ibu dari anak-anakku, udah tidur belum?
Gue kirim chat dengan kata-kata super lebay ke bocah kesayangan gue.
Setelah gue bosan menunggu akhirnya balasan singkat padat khas Oriza gue terima.
BLM
Caps lock jebol, buk????
Jebol sih nggak tapi On
Gue tepuk jidat baca balasan dari Oriza.
VC yuk!
Za, ready to sleep, sorry ☹️
Dia jawab pake emoticon sok sedih gitu.
Ya justru itu. Aku pengen liat wajah cantikmu sebelum aku menutup mata
???😭😭😭
Dengan kekuatan cahaya gue balas chat Oriza yang berindikasi buruk itu.
Eh, ngaco. Menutup mata mau tidur. Bukan yang selama-lama. Sekalinya ngelawak serem ya kamu 😡
😀😀😀
Buruan VC! Pinta gue
No! Oriza banget. Sekalinya bilang enggak tetap enggak. Susah buat dirayu.
Why? Gue masih usaha.
Za udah salin. Pake yang kak Ren can't to see
Wahh🤩🤩 🤩
Mau intip dong
No! Tar matanya bintitan
☹️
Gue pura-pura sedih.
Emang kamu pake apa?
Lingerie?
Atau nggak pake apa-apa?😳😳
Otaknya😔
Pokoknya kak Ren nggak boleh liat sebelum sah.
Yahhh, penonton kecewa.
Ya udah kalau telpon boleh? Pengen denger suara merdu kesayangan aku nih😊
Ok!
Setelahnya gue dan Oriza melepas rindu lewat udara. Lumayan lama kita telponan.
***
Deg-degan itu biasakan ya? Tanda Lo masih hidup kan ya?
Nah, sekarang gue lagi deg-degan parah, bro! Gimana nggak deg-degan coba, gue bakal menjabat tangan pak Salim. Eh, ini bukan jabatan tangan biasa ya. Ini jabatan tangan guna melegalkan hubungan gue dan Oriza. Gue bakal ngelakuin ijab, bro! Dan yang bikin gue deg-degan itu karena gue takut salah.Walaupun gue udah ngafalin ijabnya dari seminggu lalu tetep aja kan rasa grogi bisa membuat apa yang gue hafal ilang tak berbekas.
"Bisa bolong itu meja Lo pandangin gitu, bang." Yasa meledek gue.
Gue mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk. "Deg-degan gue." Aku gue jujur.
"Deg-degan mau MP? Serius?"
Gue toyor pala si Yasa. Bisa-bisanya dia becandain gue di saat-saat genting gini. "Kepikiran aja nggak dodol!" Sewot gue.
Dia nyengir. "Nah gini masih mending. Ngeri gue liat tampang Lo tadi bang. Kayak tuh mata mau lompat dari tempatnya."
Gue menghela napas. "Ya gimana dong. Deg-degan parah gue."
"Jarang-jarang ya bang Lo anteng gini. Biasanya juga 'biru' anytime anywhere. Ya 'kan? Atau setan rusuh dalam tubuh Lo lagi sibuk icip icip-icip makanan makanya pangkalannya di tinggal."
Tangan gue langsung melayang mengenai kepala Yasa. Suka bener ini anak kalau ngomong.
"Udah sana Lo!" Usir gue.
"Seriusan Lo nggak butuh gue buat pengalihan. Daripada ntar tangan Lo gemetaran pas salaman sama camer mending gue lo biarin gue bikin Lo rileks."
Yasa bener sih, gue butuh pengalihan biar nggak kaku jadi pengantin. Ini kalau ada yang moto pasti di kamera tampang gue kaku banget, nggak kayak Tarendra biasanya, yang full smile gitu.
"Karma berlaku ya, Lo ledekin gue sekarang ntar Lo nikah bakal lebih parah dari gue."
"Siapa juga yang ledekin Lo!" Yasa beranjak dari samping gue dengan bersungut-sungut. Dan itu buat gue senyum dibibir gue merekah.
"Yah cemen, baru juga gue usilin gitu, nggak serius padahal."
Yasa mendelik mendengar ucapan gue. "Gudluck, bang! Jangan sampai take sepuluh kali ya."
Gue tinju telapak tangan gue lalu berbisik, "Awas Lo nanti!" Pada Yasa yang berpindah duduk di dekat Ayah sambil tersenyum menyeringai.
***
Setelah menjalani berbagai keruwetan dan up and down emosi, akhirnya saat-saat yang gue nantikan datang juga. Beberapa saat lalu gue resmi ganti status. Resmi jadi suami! Horayyy!
Nggak ada drama re-take. Gue lancar jaya melafalkan ijab tadi. Trus nggak ada cerita tangan yang gemetar kayak orang kedinginan. Begitu penghulu membuka suara gue langsung pasang posisi siap. Gue liat keluarga gue kasih senyum semangat buat gue. So, kenapa gue harus panik, deg-degan atau semua rasa yang pastinya akan merusak konsentrasi gue. Bukankah ini yang gue inginkan. Bukankah ini adalah apa yang gue impikan. Melegalkan hubungan gue dan Oriza dalam status pernikahan. Dan sekarang lah saatnya. Disaksikan oleh keluarga dan handai taulan gue akan mengambil alih tanggung jawab atas Oriza dari orangtuanya. Gue yang akan membimbing dia, gue yang akan menjadi tempat dia berkeluh kesah. Dan gue akan membawa dia menuju bahagia. Dan gue yakin Tuhan merestui niat baik gue ini niat baik Oriza.
Now, i am officially a husband of Orion Zada Salim. Doa kan gue bisa menjadi suami yang baik untuk Oriza ya, bro sis!
Sorry gue nggak bisa lanjut cerita lagi, karena gue mau bawa Oriza menuju bulan nih, eh, maksudnya ... Lo taukan apa yang pengantin baru lakukan. Jangan pura-pura nggak tau deh Lo. Pokoknya gue mau wujudkan goal kita as a couple. Jadi gue cabut dulu ya. Bye!
~End~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top