Oriza ~ Dua tahun bukan waktu yang sebentar

Hai Gaess! lama tak bersua. Apa kabarnya semua. Mumpung masih bulan syawal aku mau ngucapin Minal Aidzin wal fa idzin maaf lahir batin. Terus aku juga minta maaf atas keterlambatan update. Doakan biar aku lancar updatenya. Terus juga doakan Inggris jadi juara piala dunia (hahaha, fans dari negara lain ngamuk).

Ok nggak mau memperpanjang cerita, let's cekidot 😊

HAPPY READING ^^

Kalau ada yang nanya apa tujuan hidupku, menjadi bahagia adalah jawabannya. Apapun itu, goal akhir dari yang kita kerjakan adalah menjadi bahagia. Orang menikah pasti ujung-ujungnya ingin bahagia dengan pasangannya. Orang kerja pasti tujuannya untuk bahagia. Seorang anak berusaha melakukan apa saja untuk membuat orangtuanya bahagia. Semua bermuara pada kebahagian. So, akupun begitu. Bahagia adalah apa yang aku cari dalam hidupku. Bahagia melihat papa mama bahagia. Bahagia dengan hubunganku dan Tarendra. Bahagia melihat orang-orang yang ada disekitarku bahagia. And now, I realized that. Aku bahagia melihat senyum yang terpatri di wajah orangtuaku. Akku bahagia melihat senyum keluarga Tarendra. Dan aku bahagia melihat senyum yang terukir jelas di wajah pria yang berdiri di sampingku. Yang sedari tadi tak henti-hentinya tersenyum.

"Ciee, yang sebentar lagi kawin." ledek Yasa.

"Kawin-kawin, lo kata gue kucing." Tarendra langsung mendelik ke arah Yasa yang nyengir bersalah.

"Iya-iya nikah." Ulang Yasa. "Gitu aja sewot." ucapnya lalu berpindah ke kursi di mana Bunda Ayna dan mamaku sedang duduk bercakap-cakap.

Aku menyikut Tarendra membuatnya meringis kesakitan, "Apaan sih Za." keluhnya seraya mengusap bekas sikutanku yang mungkin terlalu keras.

"Jutek banget sih ngomongnya. Lagi PMS ya?" selidikku.

Tarendra berdecak mendengar pertanyaanku. "Emangnya aku sakit?" dia balik bertanya.

"Emang yang PMS itu orang sakit?" tanyaku.

"Ya kalau yang PMS itu perempuan emang kodratnya itu. Tapi kalau laki-laki berarti sakit." jawabnya.

"Malas ah ngomong sama orang yang lagi bete." kataku memutus perdebatan.

"Siapa yang bete?"

"Kak Ren lah siapa lagi." jawabku.

Dia menggeleng. "Aku?" dia menunjuk dirinya sendiri. "Enggak ya."

"Halah, ngaku aja." ucapku. "Ingat ya, jujur itu penting." aku mengingatkanya tentang poin penting sebuah hubungan. Kejujuran.

"Iya-iya. Aku bete. Sama kamu. Sama semua." beritahunya. "Kenapa ya, nggak ada yang mau dengerin aku."

"Jangan egois ya." sewotku. Tahu sekali apa maksudnya.

"Itu bukan egois. Tapi itu mengemungkakan pendapat."

"Sama aja." kesalku.

Jadi ya berdasarkan keputusan bersama ditetapkanlah pernikahanku dan Tarendra akan dilaksanakan ketika kuliahku di kampus pertamaku selesai. Artinya butuh kurang dari dua tahun lagi waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke predikat halal.

Namun Tarendra berupaya dengan segenap kemampuannya melobi papaku agar pernikahan kami dilakukan paling lama satu tahun lagi dan kalau bisa sesegera mungkin. Namun segala usaha yang dikerahkannya tidak membuahkan hasil. Karena aku terlebih dahulu telah mewanti-wanti papaku. Kalau aku akan mewujudkan mimpi beliau bermenantukan Tarendra dengan syarat aku harus mendapat gelar sarjana dari kampus pertamaku. Dan yeah, my Papa agree with me. Ya iyalah setuju, yang gempor kan anak syantiknya juga kalau harus nikah cepat ditambah dengan kesibukan kuliah di dua tempat.

"Tapi beneran deh Za, kenapa sih harus nunggu dua tahun lagi baru kita nikah. Enam bulan lagi kek. Satu tahun masih bisalah. Nah ini dua tahun. Kamu nggak kasian apa sama aku?" rajuknya.

Aku meliriknya sebal. Kesayanganku satu ini. Dulu minta kejelasan status. 'It's okey kita tunangan aja dulu. Yang penting kamu terikat denganku.' Begitu katanya dulu ketika tak bisa membujukku untuk melegalkan status kami dalam ikatan pernikahan. Nah, sekarang? Setelah aku mengabulkan apa inginnya dia malah balik ke keinginannya semula. Mengikatku dalam ikatan pernikahan.

I know, nggak ada salahnya menikah muda. Karena umur bukanlah patokan kedewasaan seseorang. But the problem is my mentality. Aku belum punya kesiapan untuk itu. Aku masih sangat terlalu egois untuk terikat. Aku masih sangat individual. Aku takut tak bisa melakukan peranku sebagai istri kalau aku masih memiliki banyak kesibukan.

'Kalau kamu hamil kan bisa cuti dulu. Trus kalau babynya udah bisa ditinggal lanjut lagi kuliahnya.' papaku pernah berkata seperti itu.

Yup, my Papa begitu inginnya beliau melihatku menikah sampai rela mengeluarkan ide seperti itu.

My ego didn't recieve. I've my own plan for my life. And married in the near future is not include in my plan. So delaying a bit to finish what I've prepared is the best option. Karena menamatkan kuliahku sesuai waktunya adalah wajib. Itu adalah bentuk pembuktian untuk diriku sendiri.

"Janjinya apa kemarin kak Ren?" ingatku padanya.

Tarendra menghela napasnya. "Iya-iya. Aku ikut kata kamu aja." jawabnya lesu.

"Nah gitu dong." aku tersenyum mendengar jawaban pasrahnya. Kupeluk dia. Kepalaku bersandar di dadanya. Dan aku bergumam pelan, "Rajin-rajin aja berdoa biar Za dapat pencerahan."

"Amiin." Tarendra menjawab ucapanku yang kupikir tak dapat didengarnya.

-Beberapa waktu yang lalu-

"Kamu serius, Za?" Tarendra bertanya tak percaya. Badannya menghadapku sepenuhnya. "kamu nggak lagi ngerjain aku kan?" dia bertanya lagi untuk meyakinkan dirinya.

Kugelengkan kepala sebagai jawaban. "Serius!" seruku.

"Nggak lucu loh Za kalau kamu mau ngerjain aku."

"Siapa sih yang mau ngerjain kak Ren." sewotku.

"Ya kamu lah. Siapa lagi."

"Kurang kerjaan kali kalau Za ngerjain Kak Ren." ucapku. Aku kan nggak punya bakat usil. Bakat jutek emang ada.

"Ya kali aja kamu mau nyari kerjaan." jawabnya. Lalu kembali menghadap pada makanan kami yang terhidang di atas meja. Bener-bener tidak percaya sedikitpun dengan ucapanku.

"Ihh, Za serius tau!" rajukku. Kesal sendiri ngeliat ulahnya.

Tarendra tak acuh, dia menyeruput latte yang dipesannya. "Beneran nih nggak mau?" tanyaku.

"Ya mau lah. Udah lama kan aku ingin hubungan kita diresmikan." jawabnya.

"ya udah ini Za udah mau." beritahuku lagi.

Tarendra menoleh padaku. "Kok aku masih nggak percaya sih Za?" dia masih sangsi.

"Ihh, nyebelin!" kupukul lengannya kesal. "Nggak mau nih?" lagi kuulangi pertanyaanku.

Tarendra kembali menghadapku. Matanya menatap tepat di mataku. "Kamu beneran nggak lagi ngerjain aku kan Za?" tanyanya. Matanya intens menatap tepat di bola mataku. Mencari-cari apakah yang aku katakan benar, bukan hanya candaan semata.

Kugelengkan kepala sebagai jawaban.

"Beneran kamu nerima lamaran aku?" tanya Tarendra.

Kuanggukkan kepalaku disertai jawaban, "Iya." meluncur dari bibirku.

"Akhirnya doa ku dikabulkan juga." ucapnya seraya mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Tarendra menatapku dengan binar bahagia, "Makasih ya Za kamu bersedia menerima lamaranku." ucapnya. Tangannya menangkup pipiku.

Aku tersenyum. "Za yang harusnya ngucapin terima kasih karena kak Ren tahan menjalin hubungan dangan Za yang absurd ini."

Itu benar. Aku itu absurd, menurutku. Moody-an, menurutku lagi dan masih banyak sifat-sifat jelek yang kupunya yang paling dihindari oleh orang-orang yang berhubungan denganku. Kupikir tak akan ada yang sanggup menjalin hubungan yang sedikit lama denganku karena semua sifat buruk yang kupunya. But, aku salah. Tuhan mengirimkan satu orang diantara jutaan umatnya untuk menjadi penyeimbang semua sifat menyebalkan yang aku punya Tuhan mengirimkan Tarendra untukku.

Tarendra pacar yang sangat pengertian. Dia mengimbangi segala kelabilan yang kupunya dengan sifat dewasa yang ia miliki. Dia tak hanya pacar untukku tapi juga sebagai kakak yang tidak aku punya. Dan ia juga memberikan kasih sayang layaknya dia orang tuaku. Beruntung bangetkan aku. So, what I waiting for? Mengapa aku tidak juga mengatakan 'iya' padahal lamaran itu sering ia tujukan untukku.

Memangnya apa lagi yang aku cari. Pria seperti apa lagi yang aku tunggu untuk mengisi hariku jikalau yang sempurna untukku telah dikirimkan Tuhan dan telah mengisi hari-hariku satu tahun ini.

Jadi apa yang aku takutkan padahal penyempurna hidupku telah ada disampingku?

Berbekal semua pemikiran itu akhirnya keputusan itupun keluar. keputuskan untuk menerima lamaran yang sering diajukan Tarendra untukku.

"Tapi Za punya satu syarat."

Tarendra yang tengah memelukku memberi jarak. "Apa?" tanyannya.

"Nikahnya setelah Za lulus S1."

Senyum yang tadi menghiasi wajah Tarendra langsung surut seketika. Diganti dengan kernyitan di dahinya. "Maksudnya?" tanyapun terlontar dari bibirnya.

"Ya Za mau kita nikah setelah Za mendapatkan satu gelar sarjana." beritahuku.

"What?" tanya Tarendra setelah paham maksudku.

"Ya." jawabku disertai anggukan kepala. "Please kak." mohonku.

"Itu lama sekali Za." erangnya. "Dua tahun lagi. Itupun kalau kamu tamatnya 3.5 tahun. Kalau nggak?"

"satu tahun lagi aja. Itu paling lama." tekannya.

"No, Za nggak bisa." erangku.

"Why? Kenapa kamu nggak bisa. Apa salahnya kita menikah ketika kamu masih berstatus mahasiswi. Nggak ada undang-undang yang melarangnya."

"Za tau. But, please kak." mohonku.

"beritahu aku alasannya. Dan akan kupertimbangkan apa jawabanku."

Setelahnya mengalirlah alasan-alasanku. Dan Tarendra masih tidak terima dengan apa yang aku lontarkan. Dia masih tetap dengan inginnya. Dan akupun masih teguh dengan pendirianku. Menikah setelah mendapatkan satu gelar sarjanaku.

***

"Tahun depan kita bisa kayak gitu tuh." tunjuk tarendra pada pasangan muda dengan seorang anak kecil dalam gendongan sang pria.

Aku mendelik sebal mendengar celetukan pria yang berjalan di sampingku. Dia memang sering sekali membuatku sebal dan bahkan ngambek karena ulahnya.

Bagaimana aku tidak sebal kalau setiap ada kesempatan dia pasti menyindirku dengan celetukan-celetukannya itu.

Aku tau keinginannya untuk berumahtangga itu sangat besar. Tapi aku kan belum siap secara mental. Aku takut tidak bisa melakukan tugasku dengan baik kalau aku mengiyakan keinginannya menikah dalam waktu dekat. Jadi jeda dua tahun kurasa adalah hal yang baik.

"Jangan mulai lagi deh kak." kulepas rangkulannya dipinggangku lalu berjalan mendahuluinya menuju toko buku, tujuan utamaku datang ke mall ini.

"Aku kan cuma menyampaikan keinginanku yang kuharapkan bisa menjadi nyata dalam waktu dekat." ucap Tarendra setelah berhasil menyusul langkahku.

"Tapi ucapan kak Ren itu bikin Za kesindir." beritahuku.

"Ya nggak pa-pa kalau kamu kesindir. Dan kuharap kamu muak hingga akhirnya mewujudkan inginku." jawabnya eneng.

Kuhentikan langkahku. Kutatap dia yang dengan gaya santainya balik menatapku. Alisnya terangkat, "Apa? Emang ada yang salah dengan ucapanku. Itu wishes namanya Oriza sayang. Dulupun aku sering kayak gitu. Dan hasilnya terbuktikan. Karena bosan mendengar renggekanku akhirnya kamu menerima lamaranku padahal aku tak sedang melamarku. So kali ini apa salahnya kulakkukan trik yang sama. Doa baik pasti segera dikabulkan Tuhan, benarkan?"

"What ever!" jawabku kesal. Kesal pada diriku sendiri. kesal karena apa yang diucapkan Tarendra benar adanya. Karena ucapan-ucapnyalah dulu aku sedikit banyak mempengaruhi pola pikirku. Pun saat ini. Karena seringnya direcoki dengan kata-kata dan celetukannya aku sedikit berpikir sanggupkah aku bertahan dengan prinsipku, dua tahun bukan waktu yang sebentar.


--❤️--












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top