Oriza ~ Aku Ketahuan!
Aku ketahuaaan! Ya Tuhaaan. Mau ditaruh di mana ini mukaku. Aduuuuh, bundanya Tarendra pasti mikir yang nggak-nggak ini. Oriza, Oriza, jadi cewek kegatelan banget sih!
Tarendra juga nyengir-nyengir aja dia. Nggak bisa banget dimintai tolong. Kesel kan jadinya.
"Kak Ren sih." omelku. Aku duduk menjauh dari dia.
"Kok aku sih. Kan kamu yang nyosor duluan." jelas dong dia nggak terima aku salahin, kan aku yang ganjen. Nggak bisa nahan diri. Udah tau sekarang lagi namu di rumah orang, masih aja bibir ini hobi nyosor sembarangan. Tapi ya, dia harusnya ngalah aja napa, biar hatiku sedikit tenang. Diam aja gitu kalo aku salah-salahin. Biar berasa punya teman gitu. Kalo dia lempeng gini kan keselku nggak ilang-ilang.
Seharusnya tadi itu dia cegah aku kan ya. Bukannya ngebiarin aku melakukan hal nakal di rumahnya. Dan ketahuan ama bundanya. Ugh, menyebalkan kurasa memang cocok jadi nama tengah Tarendra!
"Gitu deh, kalo apesnya kasih ke Za. Biarin Za yang tanggung malunya sendiri."
"Kok mikir gitu. Nggak ada ya, aku lepas tanggung jawab." dia nggak terima aku ngomong begitu.
"Itu buktinya," aku masih aja ngotot. Pokoknya dia harus merasakan apa yang aku rasa. Merasa malu, ampe aku mau mampus.
"Trus aku musti gimana?"
Lah dia nanya harus gimana pula. Ya, jangan cengar-cengir lah pas ke-gap tadi. Cool aja gitu, biar aku nggak malu-malu banget. Nah dia malah cengar-cengir iblis gitu. Kesel lah pokoknya. Keseeeelll!
"Ngomong apa kek, biar Za nggak malu gini." absurd sih permintaanku ini. Tapi namanya orang malu itu, pengen aja gitu ada pengalihan.
"Mau ngomong apa coba, udah ketahuan ini." nyante banget kan dia ngomongnya.
"Argh, pokoknya Za kesel ama Kak Ren." geramku.
Tadi itu kan dia jemput aku ke rumah, bilangnya di suruh gitu ama bundanya. Kalo udah bawa-bawa bundanya aku mah nggak bisa nolak. Jadi ikut aja gitu. Eh, pas nyampe rumahnya nggak ada siapa-siapa, sepi gitu. Kutanyain lah ke mana orang rumahnya. Dia jawab 'lagi ke pasar nyari buah.' Aku nggak nanya lagi ama dia, asik aja gitu aku keliling rumahnya.
Ya udah, sambil nunggu orang rumahnya pulang, kita berdua duduk nyante gitu di teras belakang. Tarendra sih yang ngajak duduk di sana.
Suasana teras belakang yang nyaman dan adem karena banyak tanaman bikin aku khilaf. Aku sosorin itu bibir Tarendra. Dia juga balas. Mantap lah pokoknya. Kita asik gitu ciuman.
Nah, lagi asik-asik gitu, ada suara batuk gitu. Nggak mungkin kan ya Tarendra yang bibirnya sedang aku lumat batuk gitu? Kita asik aja ini lumat-lumatan bibir. Lagi enak gini kan. Tapi tuh batuk makin lama makin sering gitu bunyinya. Bikin aku ngelepasin lumatanku di bibir Tarendra. Trus ambil jarak gitu dari dia. Natap dia sambil nanya, 'Kak Ren batuk?' dia gelengin kepalanya sebagai jawaban.
'Trus itu suara batuk siapa?' tanyaku heran.
Sebuah suara menjawab keherananku, 'Suara batuk bunda.' ucap suara tersebut. Membuatku menoleh mencari asal suara.
Di pintu penghubung teras belakang, berdiri bunda Tarendra sambil bersidekap. Menatap kami dengan pandangan —aku tidak bisa mengartikannya— yang entahlah. Lalu bunda Tarendra masuk ke dalam rumah.
Wajahku langsung terasa panas menahan malu. Aku ketangkap basah tengah berbuat nakal dengan Tarendra oleh bundanya. Dan parahnya, posisi dudukku membuat aku rasanya ingin tenggelam di danau piayu saat itu juga. Aku tengah duduk di atas pangkuan Tarendra saudara - saudara. Bayangkan itu! Ketangkap basah sedang berciuman dengan posisi yang bener-bener tidak pantas. Aku terlihat seperti gadis nakal. Rusak sudah citraku.
***
Setelah menumpahkan kekesalanku pada Tarendra aku segera menyusul bundanya ke dalam rumah. Kalo nggak disusulin nanti dikira ada ciuman part two lagi. Kan nggak banget ya?
Aku melihat bunda Tarendra sedang sibuk mengupas buah yang nantinya akan kami buat rujak buah. Iya ternyata buah-buah itu mau dibikin rujak. Pengennya bunda Tarendra itu, yang lain mah ngikut aja.
Eh, Bunda Tarendra minta rujak gini bukan karena hamil kan? Ya masa keinginannya aneh gini. Kalo mau rujak kan tinggal beli aja. Nggak perlu repot gini. Di Seraya banyak tuh tukang rujak berjejer.
Ah, sudahlah ngapain juga aku mikir yang aneh-aneh gini. Kali aja ini kebiasaan mereka dalam membentuk kebersamaan. Melakukan hal yang menurutku sepele. Ya kan?
"Ada yang bisa Za bantu, Tan." Aku menawarkan bantuanku.
"Boleh - boleh," bunda Tarendra menyerahkan pisau padaku. "Tolong dikupasin ya Za," pinta beliau.
"Ok, Tan." ucapku, lalu mulai mengupasi buah bengkoang. Memisahkan daging buah dari kulitnya. Sementara bundanya Tarendra sibuk menyiapkan bumbu rujaknya.
Selama aku membantu bundanya Tarendra tak sekalipun beliau mengungkit kejadian tadi. Padahal nih ya, jantungku udah dag dig dug ini rasanya, ngebayangin malunya aku kalo bundanya bahas kelakuanku tadi. Ya kan jadi cewek aku kok ya agresif banget. Main nyosor aja. Nggak tau tempat pula. Pasti image ku udah anjlok ini di mata bundanya Tarendra. Pasti beliau pikir aku cewek nakal kalo di luaran sana. Ugghh, pak Salim, anakmu kudu piye ini?
"Apa tujuan kalian ketika menjalin sebuah hubungan?"
Ini pertanyaan buat siapa sih? Aku? Tarendra? Atau kami yang ada di sini?
Tapi kenapa aku yang tersedak bumbu rujak? Ciri-ciri orang punya dosa ngini banget sih. Takut kena sentil. Jadi waspada aja bawaannya.
Sumpah, pedas banget sih bumbu rujaknya, perih banget ini tenggorokan ku dibuatnya. Sampe airmataku mengalir dibuatnya. Untung ada yang berbaik hati nyodorin segelas air. Segera kuambil gelas yang ada di hadapanku lalu menandaskan isinya. Tau lah siapa yang ngasih. But thank you ye!
Kita lagi nyantai rujakan di teras belakang rumah Tarendra. Bukan di bangku yang aku dan Tarendra duduki tadi. Tapi di bale-bale yang ada di sisi lain teras. Gimana ya jelasin bentukan teras belakang rumah Tarendra ini. Pokoknya rumah dia itu asri bangetlah. Ada ayunan gantung juga dekat bangku yang kududuki tadi. Nyaman bangetlah nyantai di terasnya ini.
Oh ya, siapa sih yang ngajuin pertanyaan berat ini? Sampe bikin aku keselek gitu. Dengan sudut mata kucari lah asal suara itu. Ya kali aku berani angkat kepalaku. Dikasih ceban pun nggak bakal mau aku.
Lagi pula sedari tadi itu aku banyak nunduk aja ama banyak diam. Nggak kayak aku biasanya. Yang kalo dalam mood bagus rame gitu orangnya. Malu masih mengerogotiku. Membuatku mati gaya.
"Tarendra. Apa tujuan kamu?" pertanyaannya fokus ditujukan pada Tarendra ternyata. Tapi mengapa ayahnya menanyakan itu? Apa ada hubungannya dengan kejadian tadi? Aduh, mampuslah aku!
Aku melirik Tarendra yang ternyata sama kagetnya denganku. Dia masih diam belum juga menjawab pertanyaan ayahnya.
"Kalau kamu hanya ingin mencari status sosial dari hubunganmu ini. Hentikan! Tak ada guna kamu menjalin hubungan hanya untuk menyombongkan diri pada teman-temanmu dengan memamerkan pacarmu." ucap ayahnya.
Tarendra hendak menjawab namun ayahnya mengangkat tangannya menyuruh Tarendra untuk diam sejenak. "Kalau kamu hanya ingin memuaskan gaya hidupmu. Memiliki pacar hanya untuk menyalurkan nafsumu. Hanya untuk main-main, hentikan apa yang sering kamu lakukan. Kami tidak pernah mengajarkan kamu untuk memperlakukan wanita seperti itu. Wanita bukan mainan Ren. Wanita bukan pemuas nafsu."
Aku langsung tertunduk mendengar kata-kata ayah Tarendra. Malu rasanya mendengarkan bahasan seperti ini. Ada nggak sih bahasan kayak gini depan keluarga gitu? Yang pribadi gini? Aku nggak pernah nih di rumah ngobrol-ngobrol gini. Jadi gimana ya rasanya, aneh aja rasanya.
"Bukan begitu, Yah..." Tarendra diam sebentar. Dia menghela napasnya. Dari sudut mata aku bisa melihat dia melirikku. "Abang sayang kok sama Oriza,"
"Kalo sayang nggak kayak gitu juga kali, Bang," celetukan dari Luna membuatku mengangkat kepala.
Kalo Luna bicara begitu, berarti dia liat dong apa yang aku lakukan tadi. Kalo ayahnya Tarendra mengangkat topik ini di acara santai seperti ini berarti beliau liat juga dong. Haduuuh, pak Salim, anakmu ini memang kronis ganjennya.
"Abang serius kok ama Oriza."
"Seserius apa?" kali ini bundanya Tarendra yang bertanya.
"Ya serius, Bun. Seserius ayah dulu menjalin hubungan ama bunda."
"Lah kok compare nya ke kita?" ayahnya Tarendra bertanya.
"Ya, biar ayah tau aja Seserius apa abang ama Oriza. Kan ayah udah ngerasa juga dulu."
Pintar banget kan Tarendra itu jawabnya. Eh maksud aku, ngelesnya. Sok ngebandingin segala lagi dia sama ayahnya.
Tapi ya, kok mereka sibuk nanyain Tarendra aja. Nggak ada tuh yang nanyain aku? atau harus pak Salim yang nanya aku? Kayak orang tua Tarendra tadi nanyain anaknya.
"Kalo kamu serius minta baik-baik sama orang tuanya. Ya kan, Za?" ayah Tarendra tersenyum padaku.
"Hah?" tiga huruf, satu kata, cuma itu reaksiku atas tanya ayah Tarendra. Blank otakku. Tak bisa merangkai kata.
Keluarga ini... Apa ya? Aku tak bisa menjelaskannya. Tapi aku merasa aneh aja. Mereka melakukan pembicaraan pribadi di depan objeknya langsung. Pas banget sih momennya sama kejadian tadi, jadi boleh lah aku geer.
Apa seterbuka ini keluarga Tarendra ini? Entahlah.
***
Sore harinya Tarendra mengantarkanku pulang ke rumah. Setelah seharian menghabiskan waktu bersama keluarganya. Seharian itu tak ada kontak fisik antara aku dan Tarendra. Aku lebih banyak bermain bersama Luna dan sesekali berbincang dengan bundanya. Sementara Tarendra entah ada di sudut mana di rumahnya, aku tak tahu.
Atau mereka sengaja menjauhkan ku dengan Tarendra.
"Keluarga kak Ren emang biasa gitu?" Aku memulai pertanyaan yang sedari tadi kutahan-tahan.
"Biasa apa?" sesaat Tarendra menoleh padaku, lalu kembali fokus pada kemudinya.
"Ngomongin hal pribadi."
"Pribadi?" dia tak mengerti dengan pertanyaanku. Atau mungkin pura-pura tak mengerti. Taulah. Begonya suka nggak liat waktu.
"Iya, bahasan tentang apa yang kita lakukan tadi. Ciuman." dari pada dia terus mengulang apa yang kutanyakan baiknya aku langsung ke intinya saja.
"Nggak pernah bahas ciuman. Tapi yang pribadi sering."
Tunggu. Tunggu. Maksudnya apa ini, kok malah aku tidak mengerti. "Maksudnya?"
"Ya kan mereka nggak pernah ngeliat aku mencium atau dicium. Jadi nggak pernah bahas kayak gitu kita."
Tarendra menggenggam tanganku lalu berkata, "Dan kamu yang baru pertama aku bawa pulang. Jadi bahasan tentang seberapa serius aku ingin menjalin hubungan baru kali ini di bahas. Tapi kalo masalah sex education atau bahasan bagaimana seharusnya pria berperilaku terhadap wanita sih sering."
"Trus musti gitu bahasnya di depan Za?" Aku masih nggak terima jadi topik pembicaraan.
"Seharusnya sih nggak. Tapi karena orang tuaku menganggap kamu sama seperti Luna jadi mereka dengan santainya membahas itu. Aku minta maaf kalo kamu merasa tidak nyaman. Itulah keluargaku. Kami selalu terbuka dalam segala hal."
Aku nggak masalah sih sebenernya, kaget aja gitu. "Tadi kan Ren bilang serius berhubungan itu, kita?" make sure aja ini. Ya kan siapa tau yang dia maksud bukan berhubungan dengan aku.
"Ya kamu lah. Yang sering aku cium-cium kan kamu." dia jawab gitu.
Aku merubah posisi dudukku jadi menghadap dia. "Emang dulu pacaran nggak pernah ciuman?" Nggak mungkin dong laki kayak dia nggak pernah ciuman. Tampangnya aja mesum gitu.
"Dulu kan masih muda. Jadi pacarannya ya buat senang-senang trus buat pamer aja ke temen. Kalo sekarang kan aku udah dewasa, trus ketemu kamu yang emang hatiku mau, ya ngapain lagi pacaran kalo bukan untuk ke jenjang yang lebih lagi."
"Emang Za mau ama kak Ren?" pede banget kan dia. Emang aku mau punya suami dia. Kan belum tentu.
"Kamu nggak mau?" dia menatapku sekilas, trus fokus lagi ke jalanan di depannya, trus lirik aku lagi, liat jalanan lagi sampe akhirnya dia belokin mobilnya ke kepri. "Kayaknya kita harus ngomong dulu deh." ucapnya ketika mobilnya sudah berada di parkiran.
"Makanya jangan sok kepedean, nggak nanya-nanya langsung aja gaspol. Padahal tadi itu, Za nungguin banget kak Ren nanya, mau nggak Za jadi masa depannya kak Ren. Tapi apa? Za nggak dianggap ada. Padahal yang jadi objeknya kan, Za. Syukur tuh sekarang, pusing-pusing deh." Aku ngomong gitu, bikin wajah dia pias.
"Za, kamu —"
"Apa?" Aku nanya pake gaya nantang gitu ke dia.
Dia nggak bisa ngelanjutin kata-katanya. Shock kali. Mampus deh. Oriza dilawan.
——❤️——
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top