[CR] - Hope and Dream

Ternyata, lorong gelap tadi adalah akses jalan yang mengantarkan Doyoung dan Emma menuju ke sebuah jembatan kayu tempat yang cukup panjang. 

Tak lama langkah kaki Emma berhenti, Doyoung yang berada di sampingnya pun ikut berhenti. Tubuh Emma kini bersandar di batasan jembatan kayu itu, kemudian ia menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Tempat ini bernama 'Greenbrier River Trail'... pada awalnya, tempat ini merupakan salah satu jalur rel kereta api milik Amerika yang dibangun untuk melayani industri perkayuan lokal. Tapi karena sudah tidak terpakai lagi, akhirnya tempat ini dipelihara sama West Virginia State Parks dan dijadikan tempat rekreasi."

Doyoung hanya mengangguk paham saat mendengar penjelasan itu.

"Denish," panggil Emma yang masih menghadap ke arah sungai, "bagaimana menurutmu?"

Sejenak Doyoung terdiam, matanya yang tadi tertuju ke arah depan, kini terpaku saat melihat tiba-tiba angin berhembus membelai surai-surai coklat Emma.

"Mengagumkan."

"Syukurlah, kalau kau menyukainya... ayo, sudah saatnya kita memasang tenda." Mereka kembali berjalan melewati jembatan kayu tersebut.

Mereka memutuskan untuk mendirikan tenda di pinggiran tebing yang jaraknya tidak jauh—setelah—dari jembatan, tentu saja dengan posisi yang masih bisa melihat pemandangan Sungai Greenbrier. Kata Emma, mereka tidak mengingap, hanya menunggu sampai matahari terbenam. Alasan mereka mendirikan tenda karena Emma mengira mungkin saja Doyoung ingin tidur dulu sambil menunggu sunset yang masih lama, sekitar 5 jam lagi. Dan benar, setelah pria itu mengabadikan beberapa pemandangan, ia masuk ke tenda, meninggalkan Emma yang sedang duduk di matras lipat—yang berada di depan tenda—sambil menunggu air mendidih.

Awalnya Emma kira Doyoung pingsan di dalam tenda, pasalnya ini sudah lebih dari 4 jam. Sempat terlihat beberapa kali Emma mengambil ancang-ancang untuk mengecek keadaan pria itu tapi selalu berujung dengan dirinya yang kembali duduk. Ia pun menyerah dan menunggu pria itu keluar sendiri. Setelah melirik jam tangannya, perempuan itu sesaat kembali menoleh ke tenda itu. Kemudian, tangannya mengambil sesuatu—yang ternyata botol plastik berwarna putih—dari dalam saku jaketnya. Dengan sedikit terburu-buru, ia mengambil gelas silicon lipat lalu mengisinya dengan air biasa dan sedikit campuran air mendidih tadi.

"Kau sakit?"

Seketika tubuh Emma terdiam, perlahan perempuan itu menoleh ke belakang. Ternyata Doyoung sudah bangun, meskipun pria itu masih di dalam tenda dan hanya kepalanya saja yang muncul keluar.

"Tidak, ini... cuma vitamin," sahut Emma.

Terlihat perempuan itu membasahi bibir keringnya sembari mengambil satu butir tablet berwarna putih dan memasukkan kembali botol plastik itu ke saku jaket. Lalu, tablet tadi ia masukkan ke dalam mulut sambil minum air. Doyoung hanya mengangguk paham, pria itu keluar dari tenda lalu ikut duduk di samping Emma.

"Ini buatku?" tanya Doyoung ketika melihat coffee yang sudah terseduh tapi tidak bertuan.

"Minumlah mumpung masih hangat."

Akhirnya, moment sunset yang mereka tunggu-tunggu pun tiba, perlahan langit yang awalnya membiru mulai melebur menjadi lembayung-lembayung senja. Tentu hal ini tidak bisa Doyoung sia-siakan, pria itu mengarahkan lensa kameranya dan membidik panorama luar biasa itu. Keduanya nampak sedang menghayati moment ini, tapi keheningan itu hilang karena Emma tiba-tiba bertanya,

"Menurutmu, apa semua orang punya kesempatan yang sama?"

Doyoung terdiam sebentar. "Tentu."

"Terima kasih, Denish... karena sudah mau menjawabnya."

Doyoung yang tadi sempat melirik ke arah Emma pun terpukau. Pasalnya yang ia lihat tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini Emma tersenyum lebar.

Cantik sekali... sangat cantik...


Ternyata benar kata orang, kalau perjalanan pulang akan terasa lebih cepat dibandingkan saat berangkat. Sekitar pukul setengah 8 malam, mereka berdua sampai di rumah. Setelah mematikan mesin mobil, Emma memberikan kunci rumah kepada Doyoung.

"Saya mau mengambil barang belanjaan dulu," ucap perempuan itu. Tadi saat perjalanan pulang, mereka sempat mampir di minimarket untuk membeli beberapa stok barang yang seingat Emma sudah mau habis.

Doyoung turun dari mobil dan berjalan menuju teras depan. Ketika ia hendak memasukkan kunci ke lubang pintu masuk. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari bagasi belakang mobil, pria itu langsung mendekati sumber suara. Doyoung terkejut saat mendapati Emma yang sudah terjatuh ke depan serta beberapa barang yang juga ikut berhamburan. Tapi perempuan itu justru tertawa sambil berusaha untuk kembali berdiri.

"Maaf membuatmu terkejut, Denish. Tadi kakiku tersangkut, makanya jatuh." Setelah itu mereka berdua memunguti barang-barang yang tadi. Emma mengambil kantong belanjaan lalu membuka pintu dan masuk ke dalam rumah dengan Doyoung yang ikut di belakangnya.


Ketika Doyoung keluar dari kamar mandi, di saat yang bersamaan terdengar suara panggilan yang berasal dari luar. Dari depan pintu kamar, ia melihat perempan bersurai coklat itu sedang menaruh panci merah di atas meja makan. Seusai mereka menyantap hindangan malam, Emma langsung membawa mangkok kotor itu ke wastafel yang berada tepat di belakang meja makan. Perempuan itu memisahkan sisa-sisa kotoran yang masih menempel di peralatan makan tadi. Ketika Emma hendak mengambil sabun, tiba-tiba tangan Doyoung muncul, memberikannya botol berisi sabun cuci itu.

"Biar aku saja yang bilas."

"Tidak perlu, saya bi—"

"Emma," pria itu menatap Emma sejenak, "cepat sabuni mangkoknya."

Mereka mengerjakannya dengan tenang, satu-satunya yang terdengar hanyalah suara kran air yang mengalir. Ketika selesai, Emma memberikan lap pengering kepada Doyoung.

"Terima kasih, sudah membantu... istirahatlah, kau pasti lelah," perempuan itu tersenyum kecil, "selamat malam, Denish."

Baru saja Emma ingin melangkah pergi, tangan kanan Doyoung menahan lengannya lalu memutar tubuh perempuan itu agar saling berhadapan. Sedangkan tangan kiri Doyoung terangkat menyentuh dagu Emma—yang tertutupi kain kasa berserta hansaplast sebagai perekat agar tidak jatuh—hal itu membuatnya spontan meringis. Doyoung menatap luka itu dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Cepat sembuh, Emma... dan jangan sakit lagi."



٠٠٠٠٠٠

Tadi dari rumah mereka berangkat pukul 10 pagi dan setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam, mobil Jeep hitam itu memasuki wilayah Harpers Ferry, salah satu daerah ikonik di West Virginia.

"Kita sudah sampai," ucap Emma sembari melepaskan safety belt-nya.

Kemudian, perempuan itu keluar dari mobil, Doyoung pun ikut keluar. Tangan Emma menggenggam pergelangan tangan pria itu, lalu menariknya pelan. Mereka berdua berjalan menuju pinggiran sungai.

"Denish, tempat ini bernama 'The Point'." Emma menunjuk ke suatu tempat, "kau harus mengabadikan tempat itu."

Doyoung menyalakan kamera lalu memotretnya beberapa kali.

Kemudian, Emma kembali menjelaskan, "Tempat ini adalah perbatasan antara Sungai Potomac dan Sungai Shenandoah... Denish, tempat yang saya tunjuk tadi merupakan titik temu dari tiga negara bagian Amerika, yaitu West Virginia, Maryland dan Virginia... bagi kami, jika dibandingkan dengan beberapa destinasi yang ada di wilayah Harpers Ferry, tempat ini seperti harta karun.... sangat berharga."

"Alasannya?" tanya Doyoung.

"Karena tempat ini bisa membuktikan, kalau perbedaan itu bisa terlihat indah."

Sesaat Doyoung melihat kembali ke arah tempat yang tadi ditunjuk Emma. "Sepertinya kau benar... setelah tau kisahnya, tempat ini terlihat seribu kali lebih indah."

Netra Emma sudah berpindah menatap lekat pria itu. Doyoung yang sadar akan hal itu pun ikut menoleh dengan satu alis yang sedikit terangkat.

"Maukah kau bersenandung lagi seperti pagi kemarin?" tanya Emma tiba-tiba. Namun, Doyoung hanya terdiam dengan wajahnya yang terlihat bimbang.

"Maaf, permintaan saya terla—"

"Pejamkan matamu, Emma." Gadis itu pun menurutinya, lalu selang beberapa detik kemudian, terdengar senandung merdu yang berasal dari Doyoung. Di saat yang bersamaan, angin kembali berhembus menerpa halus permukaan kulit mereka. Sebuah perpaduan yang membuat Emma tidak bisa menahan senyumnya, masih dengan mata yang terpejam, ia merentangkan kedua tangannya sambil menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Denish, kau mempunyai suara yang sangat indah," ucap Emma. Mendengar pujian itu membuat Doyoung tanpa sadar ikut tersenyum—sangat—tipis.




Setelah dari The Point, mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju destinasi berikutnya. Tempatnya berada di daerah Morgantown. Tapi sebelum menuju ke lokasi, Emma membawa Doyoung untuk mampir ke rumah salah satu temannya. Sesampainya di depan rumah bercat putih, Emma langsung turun dan meminta Doyoung untuk menunggunya sebentar di dalam mobil. Pria itu mengangguk tanpa menoleh—karena sedang melihat layar kamera-nya—tepat saat Emma berada di teras, pintu rumah itu terbuka. 

Terlihat seorang yang sedang memberikan tas berukuran panjang kepada Emma. "Take care, Emma."

"Thanks, Maria," sahut Emma.




Setelah memasukkan benda itu ke dalam bagasi belakang, mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan. Dengan akses yang sedikit terjal, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.

Kesejukan dari hutan hijau yang sangat luas dengan anak sungai yang membelah bagian tengah hutan tersebut berhasil membuat Doyoung terpukau. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat semuanya dengan jelas. Benar-benar pemandangan yang sangat menakjubkan, Doyoung merasa seperti berada di dimensi lain.

"Denish, kemari," panggil Emma yang entah kapan sudah duduk di atas matras lipat. Doyoung pun mendekat, matanya tertuju pada benda yang berada di pangkuan Emma.

"Kau bisa bermain gitar?"

Emma tersenyum, sebelum jari-jarinya memainkan alat musik itu.

"Almost heaven, West Virginia..."

Mendengar nyanyian itu, seketika jantung Doyoung berdegub kencang. Kemudian, saat mata mereka saling bertemu, pria itu merasakan desiran lembut di relung hatinya. Manik jernih Emma seolah memberikan kekuatan hingga tanpa disadari, ia pun ikut menyumbangkan suaranya.

"Take me home... country roads." Perempuan itu tersenyum lebar, saat melihat Doyoung yang terpenjam sambil bernyanyi. 

Petikan jari Emma berhenti di akhir lagu. Bersamaan dengan itu, Doyoung juga membuka kedua matanya.

"Denish?" panggil Emma, pria itu menoleh dengan alis yang sedikit terangkat, "tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semuanya akan baik-baik saja."

Seketika Doyoung jadi termenung. Sesuai dengan dugaannya, gadis itu tau sesuatu tentangnya. Namun ia tidak berani menanyakan kepastiannya. 

"Benarkah?" gumam Doyoung dengan lirih.

Emma mengangguk pasti. "Percayalah kepada dirimu sendiri." Setelah itu keduanya saling diam sembari menikmati langit sore terakhir mereka. 

Ya, sore teakhir, sebab besok Doyoung sudah harus kembali ke negara asalnya.



٠٠٠٠٠

Hari ini Emma ikut mengantar Doyoung sampai halte. Tak lama kemudian, bus merah itu tiba. Mereka berdua pun bangkit dari kursi tunggu lalu berjalan mendekati kendaraan tersebut. Emma melihat Doyoung hendak masuk, tapi tiba-tiba pria itu berbalik.

"Terima kasih, Emma," ucap Doyoung sembari menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. Emma membalasnya dengan mengalungkan tangan sambil mengaitkan sebuah kalung di leher pria itu. 

Doyoung sudah masuk ke dalam bus lalu mengambil tempat duduk. Namun, ketika bus itu bergerak terjadi sesuatu yang mengejutkannya. Ia melihat tiba-tiba Emma tersungkur jatuh.

"Emma!" Doyoung langsung menekan tombol stop, kemudian turun dari bus, dan berlari menuju perempuan itu.






Di sinilah Doyoung berada, di ruang tunggu UGD St. Mary's Medical Center. Tak lama kemudian, ia melihat seorang yang memakai kerudung berwarna hitam-putih baru saja tiba. Doyoung ingat, perempuan itu adalah birawati yang pernah Emma temui sebelumnya.

Setelah menunggu hampir satu jam, terlihat seorang dokter keluar dari pintu.

"I'm so sorry." 

Seketika tangis sang birawati pecah. Dan Doyoung hanya terdiam dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya.


Pria itu tetap pulang, meskipun harus menundanya beberapa jam. Terlihat Doyoung sedang melamun dengan buku berwarna ungu yang berada di pangkuannya. Buku itu adalah diary milik Emma yang diberikan oleh sang birawati saat proses pemakaman selesai. Semuanya terasa seperti mimpi buruk bagi Doyoung, lagi-lagi air matanya kembali jatuh, dadanya terasa sesak. 

Banyak hal tidak ia ketahui tentang Emma yang ternyata seorang yatim-piatu—yang dibesarkan di sebuah rumah asuh gereja—dan juga tentang penyakitnya. Infeksi otak ini memiliki beberapa gejala umum, salah satunya ialah membuat si penderita mengalami gangguan koordinasi gerak tubuh hingga kerap kali membuatnya terjatuh tanpa refleksi tangan yang biasanya menahan. Berdasarkan cerita dari birawati, Emma sudah menderita penyakit tersebut kurang lebih empat tahun. Bahkan, dokter sendiri sudah memvonis kalau perempuan itu tidak bisa bertahan lama.

Doyoung mengusap air matanya, pandangannya tertuju pada kalung pemberian Emma. Kemudian, ia membuka diary milik perempuan itu dan melihat tulisan di halaman pertama.

'Aku ingin menjadi seorang penulis. Aku tidak akan berhenti sampai salah satu karyaku berhasil difilmkan.'

Lalu di halaman-halaman selanjutnya yang Doyoung lihat adalah ide-ide berserta outline kasar cerita yang belum selesai. 


Sesampainya di Korea Selatan, pria itu tidak langsung pulang ke rumah, melainkan pergi ke office agensinya. Di hadapan sang founder, Doyoung mengajukan memperpanjang masa vakum sementaranya untuk jangka waktu yang lama.

Meskipun awalnya sempat mendapatkan penolakan tapi beberapa hari kemudian, Yoojin menelponnya dan berkata kalau permintaannya bisa disetujui oleh pihak agensi dengan satu syarat: selama ia vakum, jangan sampai publik melihat interaksi antara Doyoung dan para member.





—∞—

Saat ini Doyoung berada di welcome room Haksan Publishing, setelah memikirkannya berulang kali, akhirnya ia memutuskan untuk menerima tawaran kemarin. Dan sekarang Doyoung sedang melakukan sesi wawancara untuk keperluan promosi.

"Baik, kali ini saya akan menanyakan sesuatu yang agak sedikit keluar dari pembicaraan," sang pewawancara itu kemudian menatap Doyoung, "sebagai salah satu penggemar tulisan Anda, saya ingin tau inspirasi dan motivasi Anda selama ini? Sehingga bisa menghasilkan karya yang sebagus itu."

Sejenak Doyoung terdiam, lalu pria itu meminta izin sebentar untuk mengambil sesuatu di dalam paper bag dan mengambil sebuah buku.

"Semua inspirasi bermula dari sini," ucap Doyoung sambil mengusap buku berwarna ungu, "dan motivasi saya selama ini adalah... mewujudkan impian pemilik buku ini."

Pewawancara itu sekilas tersenyum. "Dan Anda sudah sangat berhasil mewujudkan impiannya. Lalu bagaimana dengan Anda sendiri? Apa impian Anda?"

"Mengenai itu..."


Sesi wawancara berjalan lancar, terlihat beberapa orang sedang membereskan peralatan syuting mereka. Sedangkan Doyoung, pria itu juga tengah berbicara dengan salah satu pegawai penerbit.

"Anda sangat luar biasa, Mister Doyoung." Doyoung menoleh dan melihat orang yang mewawancarinya tadi berdiri di hadapannya.

"Terima kasih, Nona Maria."

"Semoga project kali ini berjalan lancar." 

Setelah obrolan singkat itu, Doyoung pamit undur diri, meninggalkan sang pewawancara yang melihat kepergian pria itu.

"Emma, kau pasti sedang tersenyum dari atas sana."



٠٠٠٠٠

Sudah hampir setengah jam ia mondar-mandir di depan pintu. Terlihat pria itu kembali bergumam sendiri sebelum akhirnya memberanikan diri untuk memegang gagang pintu. Tapi, di saat yang bersamaan pintu itu terbuka dari dalam dan terlihat seseorang yang—sepertinya—ingin keluar.

"Doyoung-ah," ucap Taeyong refleks memeluk Doyoung.

"Aku pulang, Hyung."


-END-

EMMA C. 


[n.s]

Thanks yang sudah baca sampe selesaiii T_T Tinggalkan jejak di kolom komentar yaaa.... Sampai ketemu di cerita-cerita selanjutnyaa heheheheh~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top