Chapter 6 - Main Belakang


Sudah beberapa minggu yang lalu Dira berkencan dengan Eza tanpa sepengetahuan pacarnya, Cindy. Mereka semakin akrab karena sering bertemu.

Eza mengantar Cindy pulang, setelah itu langsung pergi karena ada urusan katanya. Urusan yang dimaksud Eza adalah bertemu dengan Dira dan mengajaknya jalan-jalan.

Hari ini lelaki itu mengiriminya pesan bahwa ada film seru yang tidak boleh mereka lewatkan hari itu juga. Pesan dari Eza membuat Dira tersenyum, hal itu mengundang rasa penasaran Cindy hingga ia melongok ke ponsel milik temannya, namun langsung ditutupi oleh si pemiliknya.

“Siapa, sih, sampe bikin temen gue senyum-senyum, gitu? Dari gebetan, ya?” goda perempuan pemilik rambut pendek dengan poni yang tertata rapi di tengah.

“Siapa gebetan lo, Dir? Kenalin ke kita-kita, dong.” Perempuan paling kalem dan polos itu menyahut. Ghea. Ia menghadap ke Dira.

“Bukan siapa-siapa, kok, cuma temen,” elaknya.

“Temen kalo jadi demen meskipun dari temen?” Nina sedikit memberi teka-teki pada Cindy, namun yang diberi tidak peka.

“Siapa, tuh? Bikin penasaran aja, sih?” Setelah menoleh ke sebelahnya, kini Cindy menghadap ke Dira lagi. Masih penasaran dengan lelaki yang telah memikat hati sahabatnya itu.

Setelah dirasa tidak ada yang melihat ke ponselnya karena Cindy sedang bercanda dengan yang lainnya, Dira membalas pesan dari Eza tadi.

Dira : Nanti gue izin, deh. Cuma ngehias kelas doang.
Dira memasukkan ponselnya ke saku baju, ia ikut nimbrung obrolan teman-temannya. Kelas hari ini masih diisi classmeeting. H minus satu digunakan untuk para murid menghias kelas, dan gladi resik bagi yang mengikuti pentas seni.

“Eh, besok bazarnya udah beli bahan-bahannya?” tanya Cindy sebagai bendahara yang juga mengurus berbagai keperluan kelas hingga hari H besok.

“Udah diurus sama Sintya, kok,” jawab gadis yang paling kalem di antara genks-nya.

“Okey.” Cindy manggut-manggut, mencentang susunan kebutuhan yang ia tulis di selembar kertas. “Ini petanya taruh di depan, aja! Sebelah papan tulis, tuh. Jadi keliatan peta Indonesianya.” Indah memindahkan petanya ke depan.  “Duh, yang ngiket kertas krepnya siapa, nih? Masa gue?” Cindy celingukan mencari Tegar.

Ruangan kelas yang luasnya seluas lapangan basket, dengan banyaknya murid yang berseliweran ditambah dari murid kelas lain membuat Cindy berdiri. “Tegar!” panggilnya, setelah menemukan orang yang mencintai dirinya dalam diam.

Gadis yang sudah memiliki pacar dan pasti menolak menolak cintanya Tegar itu menghampirinya. “Kenapa?” tanyanya. Ia sedang membantu menghias pintu.

Pintu kelas akan diberi kertas krep warna merah di sisi kanan dan warna putih di sisi kiri. Dengan dipelintir kertasnya, lalu ditempel menggunakan lem tembak.

“Itu, pasangin kertas krepnya di atas dong. Gue takut ketinggian,” perintahnya. Gadis yang memiliki nama lengkap Cindy Marthadinata itu memang takut ketinggian. Pernah dulu, saat ia masih kecil naik ke atas pohon kersen, ia tiba-tiba pingsan saat melihat ke bawah, lalu terjatuh.

“Ya ampun, nggak tinggi-tinggi banget, aja, takut. Untung lo nggak takut sama gue kalo gue deketin lo.” Tegar mengatakan kata-kata yang terakhirnya dengan pelan sehingga membuat Cindy yang tidak mendengar mendekat.

“Tadi ngomong apaan? Gue nggak denger, rame banget di sini. Kalo ngomong, tuh, yang kenceng.” Gadis itu menarik lengan seragam lelaki yang sudah ia anggap sahabat sendiri.

“Eh, penilaian udah berjalan di kelas Komputer 1, lho.” Dira mengatakan apa yang ia ketahui setelah balik dari toilet bersama Ghea.

“Ayo, Tegar, buruan!” perintah si bendahara yang sudah memegang kertas krep di tangannya.

Murid-murid semakin heboh mendengar kata penilaian. Anak kelas lain yang ikut bergabung dengan kelas Akuntansi 1 kembali ke kelas mereka. Penilaian ini seperti akan mendapat piala bergilir jika memenangkan juara 1 dalam menghias.

Kelas Akuntansi 1 dengan hiasan pintu depan yang seperti gapura untuk masuk ke ruang kelas, di dalam kelas terdapat lukisan peta Indonesia, tema yang ditampilkan adalah tema Indonesia. Banyak warna merah putih yang tersebar sebagai bukti pecinta Sang Saka Merah Putih. Bagian jendela diberi kertas krep yang digunting membentuk pulau kecil-kecil lalu disatukan membentuk peta dar Sabang sampai Merauke kemudian ditempelkan menggunakan lem tembak.

Setelah selesai penilaian dan kelas dibubarkan, sebagian para murid masih berdiam diri di kelas untuk membuat pos untuk bazar besok. Dira izin tidak bisa mengikuti karena ada keperluan dan itu membuat Nina curiga.

“Gue izin dulu, ya? Ada keperluan mendadak, nih.” Setelah membalas pesan, ia pamit dan menggendong tasnya keluar kelas.

Tak lama, Nina mengikuti langkah Dira. Ia berpamitan jika tidak bisa ikut berkontribusi membuat pos. “Gue juga izin , ya? Biasa,” pamitnya sambil tesenyum pada teman-temannya.

“Pada izin semua. Gue, Ghea, Lintang, Rika, sama Sintya doang di sini? Jahat, ya, kalian.” Cindy menata pop mie dan minuman di pos. Yang lain ikut menata camilan.

“Gue buru-buru, Bye.” Nina langsung lari mengejar Dira.
Ia memanggil taksi yang kebetulan lewat di depan sekolah mereka untuk membuntuti Dira. Dengan kesal telah kehilangan jejaknya, ia mengumpat pelan sambil memukul bangku penumpang sebelahnya karena terlambat mengikuti.

Saat di lampu merah, ia melihat gadis itu bercanda dengan cowok yang sudah menjadi kekasih sahabatnya. “Pak, ikutin mobil di sebelah itu, ya! Tapi, jangan sampai ketahuan!” perintahnya pada sopir taksi.

“Baik, Non.” Sopir taksi itu mengangguk, menuruti perintah konsumennya.

Tiga puluh menit berkutat dengan jalanan macet karena ada kebakaran saat menuju ke mal, membuat mereka tiba sekitar jam 5 sore. Nina masih mengikuti sepasang pasangan yang terjalin tanpa sepengetahuan kekasih aslinya berjalan ke lantai atas, di mana bioskop berada.

Ia mengeluarkan ponsel dan memotret mereka sedang mengantre membeli tiket untuk menonton film. Setelah puas memotret dengan ponselnya, ia mengirimnya pada Cindy.

Gadis asli Bandung itu tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan mereka yang berselingkuh. Ia hanya memberitahu pada si pemilik rambut sebahu, jika kekasihnya selingkuh dengan sahabatnya sendiri.

Selesai menata tempat untuk bazar esok hari, Cindy bersiap untuk pulang. Ia membuka ponselnya karena mendapat pesan bergambar dari sahabatnya yang berkelahiran di kota Paris Van Java tersebut.

Membukanya perlahan, menunggu selama beberapa detik untuk terlihat semua. Di sana ada sang kekasih bersama sahabatnya sendiri sedang mengantre membeli tiket bioskop dan jajanan. Sepuluh menit yang lalu ia mendapat pesan dari kekasihnya jika dia tidak bisa menjemput lantaran sedang mengantar ibunya periksa ke dokter.

Mana yang harus Cindy percaya? Pesan dari kekasihnya atau pesan dari sahabatnya? Kekasihnya yang tega membohongi dirinya, dan sahabatnya yang rela menusukkan belati ke hatinya. Keduanya membuat gadis yang dulunya percaya jika cinta yang sejati itu nyata adanya, kini hanya tinggal kata-kata.

Cindy mencoba menahan air mata yang sudah berada di pelupuk matanya. Hanya tersisa dirinya dan Sintya yang masih berada di sekolahnya, karena yang lain sudah izin untuk pulang lebih dulu.

“Cin, lo nangis? Kenapa?” tanya gadis berambut ala cowok itu.

“Ah, enggak. Ini kelilipan debu tadi, jadi pedih. Gue duluan, ya?” pamitnya dengan suara sedikit bindeng. Ia pun langsung menumpahkan amarahnya di toilet. Membiarkan bulir putih tak berdosa itu mengalir tanpa henti di pipinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top