Bab 10 - Minta Balikan?
Sudah dua bulan sejak peristiwa yang membuat gadis berambut sebahu menangis dan memutuskan kekasih yang sangat ia cintai. Kini, ia merasa sudah tidak memiliki perasaan pada lelaki itu.
Lelaki yang dulu ia puja, ia banggakan, dan amat ia sayangi kini selalu datang ke rumah untuk menemuinya dengan alasan yang berbeda-beda. Hingga ia jengkel dan menyuruh pembantu rumahnya untuk tidak membuka jika lelaki itu datang.
Nasib baik tidak selalu berpihak padanya. Nyatanya, hari minggu yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian besar anak sekolah adalah untuk bersantai dan bermalas-malasan di dalam kamar, kini harus menemui mantan kekasih yang selalu ia hindari.
Sang mama yang mengetahui masalah ini pun tidak ingin putrinya terlarut dalam kebencian yang tidak lelaki itu lakukan. Ia hanya berpendapat sebagai penengah, tidak berpihak pada putrinya, maupun lelaki yang kini datang ke rumahnya dengan memakai kemeja lengan pendek, kancingnya terbuka semua dengan dalaman warna lebih terang dari kemejanya, biru laut.
“Cin, sana temui dulu Eza. Kasian dia, kalo ke sini bilangnya kamu nggak ada, tidur, atau lagi pergi sama Nina terus. Dia terlihat masih sayang sama kamu.” Sang mama mengelus rambut anaknya yang sedang tiduran di kasurnya.
“Yaudah, sama Mama aja yang ngobrol. Cindy nggak mau ketemu sama dia, Mah. Dia udah nyakitin hati Cindy!” Menarik selimutnya hingga menutupi kepala.
“Cin.” Sang mama membuka selimut, menarik tangan anak semata wayangnya agar bangun dan bergegas menemui Eza. “Dia itu terjebak sama ucapan Dira yang manis bagai empedu. Kamu nggak kasian sama dia? Selama dua bulan ini dateng ke sini tanpa absen setiap hari biar ketemu kamu. Sana temui Eza dulu! Nggak baik tamu dianggurin terus,” perintah Cilla.
Cindy terpaksa bangun, dan menemui Eza saat sang mama mendorongnya untuk keluar kamar. Rambutnya yang acak-acakan dibiarkan, ia enggan untuk tampil cantik seperti saat masih pacaran dulu.
Saat Eza bilang sedang di jalan, dirinya selalu berdandan dan merapikan pakaiannya terlebih dulu sebelum sang kekasih tiba di rumahnya. Kini, ia tak acuh dengan penampilannya.
“Ngapain ke sini?” Cindy langsung duduk di depan Eza.
Eza yang sedang menggenggam jemarinya tak kuasa menahan rindu selama dua bulan ini tidak bertemu, bahkan mengobrol dengan Cindy pun tidak. Perempuan yang ia cintai hingga kini, hingga nanti saat ia sudah menua nanti.
“Cin. Gimana kabarnya? Gue kangen sama lo,” ucapnya bergetar kala melihat gadis pujaan hatinya berada di depan mata. “Gue kayak udah lama banget nggak ketemu sama lo, jadi gerogi gini.”
“Baik. Ke sini mau ngapain? Gue sibuk.” Cindy selalu berkata ketus mengingat pengkhianatan yang ia terima oleh lelaki yang duduk di depannya.
“Lo nggak kangen sama gue? Dari waktu lo mutusin gue, gue udah nggak pernah kontekan lagi sama Dira—.”
“Nggak usah sebut nama cewek itu lagi di depan gue!”
“Oh, oke. Waktu lo balik duluan, dia nyamperin gue. Ternyata dia udah nunggu lama di balik pos satpam. Di sana juga gue bilang kalo gue nggak ada apa-apa sama dia. Dia ngotot mau sama gue, tapi gue tolak. Gue cuma sayang sama lo.” Penjelasan Eza tidak membuat hati Cindy luluh. Hatinya telah mengeras dan susah untuk dicairkan.
“Udah? Gue nggak percaya sama ucapan lo. Kemarin kalo gue nggak tau juga lo bakalan jadian sama dia, ‘kan? Hati gue sakit, Za, saat tau cowok yang gue sayang jalan sama temen gue sendiri. Cowok yang selama ini ada buat gue, cowok yang ngerti gue melebihi diri gue sendiri ada main sama sahabat gue. Lo nggak mikirin sampe sana? Apa lo emang udah nggak punya perasaan ke gue makanya dengan gampangnya lo main sama sahabat gue sendiri?”
“Ya ampun, Cin ... Jangan pernah ngeraguin apa yang ada di hati gue. Karena di sini.” Eza menunjuk di mana letak hatinya. “Di sini cuma ada elo doang. Gue udah pernah bilang, ‘kan? Kalo dia yang naksir gue, bukan gue naksir dia.”
“Kucing kalo dikasih sisaan ayam bakal diembat juga.”
Cilla mengamati mereka dari atas, depan kamar Cindy. Melihat anaknya berdebat dengan lelaki yang sudah menduakan cintanya.
Eza mendekat ke samping Cindy, menggenggam jemari perempuan yang sangat ia rindukan. “Gue minta maaf banget dengan kejadian kemarin. Nggak lagi-lagi, deh, mau jalan atau nganterin cewek lain. Plis, Cin, maafin gue!”
Yang Cindy dengar dari teman-temannya, mereka memang tidak pernah jadian. Dira lah yang masuk dan menggoda mantan kekasihnya, dan mengancam akan memberitahukan Cindy jika mereka sudah jadian.
Ia tidak menyangka jika sahabatnya sangat terobsesi dengan lelaki yang duduk di sampingnya. Sahabat yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri telah menghunuskan pedang tepat di jantungnya. Ia sudah tidak bisa menganggap Dira sebagai sahabat, bahkan sebagai teman untuk saling menyapa pun tidak.
Ghea telah meminta maaf padanya karena status yang ia bagikan di instagram dan bujukan Dira untuk memusuhi Cindy.
“Kasih gue waktu. Susah buat ngelupain kejadian di mana lo udah membagi cinta lo buat gue dan dia.”
“Cin! Nggak pernah sekalipun gue ngebagi cinta gue buat lo dan dia. Cinta ini, selamanya hanya milik lo, bukan orang lain.”
“Ya. Gue udah ngantuk, nih. Lo bisa pulang kalo lo udah kelar ngomongnya, kalo belum, ntar gue panggil nyokap buat ngobrol sama lo.” Cilla yang mendengar dari atas segera ke kamar anaknya, menunggunya di sana.
Eza terlihat belum puas mengobrol dengan Cindy. Ia masih ingin berbicara dengannya, rasa kangennya belum habis lantaran dua bulan tidak mengobrol.
“Lo mau ke mana?” tanyanya sambil menarik tangan perempuan yang sudah berdiri dan hendak beranjak dari tempat duduknya. Eza ikut berdiri dan memeluk Cindy dengan Erat. “Jangan pernah tinggalin gue, Cin. Gue nggak bisa hidup tanpa lo. Seenggaknya jangan cuekin gue, bales pesan atau angkat telepon gue. Di kacangin ternyata nggak enak,” bisiknya sambil mengusap kepala gadis yang ia cintai.
Melepas pelukan mantan kekasihnya, Cindy berdiri menghadap lelaki yang masih mencintainya. “Gue nggak tau sampe kapan perasaan benci gue ke elo bakal bertahan, bahkan sama dia aja, sampe sekarang gue masih benci banget. Jangan paksa gue buat menerima apa yang udah kalian lakuin di belakang gue, Za. Rasanya kayak ditikam tepat di jantung gue. Gue minta maaf karena belum bisa nerima lo lagi, tapi lo udah gue maafin.” Cindy meninggalkan lelaki yang mematung di ruang tamu karena ucapannya yang belum bisa menerima dirinya kembali.
Tiba di kamar, ia kembali menangis lantaran ucapan lelaki yang ada di bawah. Ia masih belum bisa terima jika lelaki itu mengkhianati dirinya. Itu sangat menyakitkan ketika dua orang yang ia sayangi mengkhianatinya. Dua orang secara bersamaan. Percintaan kandas, pun dengan pertemanan yang juga musnah.
“Mah,” panggilnya. Cindy menghambur memeluk Cilla yang duduk di tepi ranjang.
“Kalo masih sayang jangan ditolak. Dia akan tunggu kamu sampe kapanpun.”
“Tapi dia udah nyakitin Cindy, Mah. Dia selingkuh sama temen Cindy. Cindy bahkan udah nggak mau berteman sama dia lagi.”
“Cin.” Cilla menarik anak semata wayangnya untuk duduk di sebelahnya. “Mama tau apa yang ada di perasaanmu. Mama pernah muda, mama juga dikhianati sama papamu saat pacaran dulu. Mama juga tau ketulusan hati Eza buat kamu. Dia bener-bener masih sayang sama kamu. Pikirkan itu baik-baik, Nak. Nggak gampang nyari cowok yang tulus ke kita, kayak Eza ke kamu.”
Sang mama meninggalkan Cindy sendirian untuk merenung, memikirkan ucapannya. Berharap yang terbaik segera dia putuskan. Mengingat Eza masih sangat menyayanginya.
Alhamdulillah End juga 😊
Terima kasih untuk yang udah baca
Terima kasih untuk project #teenfict
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top