Last Kiss, Last Promise

Aku ingin pergi saat matahari terbenam di ufuk barat, aku ingin sepertinya yang pergi setelah meninggalkan senja yang indah.

Aresta POV

"Jadi bagaimana dok? Risa bisa sembuh kan?"

Aku bertanya dengan penuh harap pada pria paruh baya di hadapanku yang sudah tujuh bulan menjadi dokter Risa kekasihku. Kami sudah menjalin hubungan selama tiga tahun, dan tujuh bulan yang lalu Risa di vonis kanker stadium empat. Bertahan selama ini sudah merupakan keajaiban untukku, untuknya dan untuk keluarga kami.

"Maaf Pak Ares, saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semuanya tergantung Yang Maha Kuasa. Saya hanya bisa mengurangi rasa sakitnya, tapi tidak bisa membuatnya sembuh. Sudah terlalu terlambat untuk membuatnya sembuh. Saya minta maaf mengatakan ini, tapi saya harap Pak Ares siap menerima apapun yang akan terjadi. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu dan menghitung hari. Semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuk kalian"

Aku memejamkan mata entah ke berapa kalinya. Tuhan.. Tolong ijinkan aku bersamanya lebih lama.

Aku memasuki ruang rawatnya. Ia, gadisku, sedang tersenyum bersama keluarganya. Senyuman indah di balik wajahnya yang pucat. Dia masih terlihat sangat cantik dimataku.

Dia menoleh padaku yang baru masuk, lalu tersenyum hangat. Aku membalasnya. Duduk disampingnya, menggenggam dan mengelus tannganya lembut.

"Bagaimana perasaanmu? Apa kau merasa lebih baik?"

"Aku merasa sangat baik sekarang, aku merasa bisa sembuh mas" Jawabnya dengan suara parau tapi penuh semangat. Seperti itulah gadisku.

"Apa kata dokter mas?" Dia menatapku penuh rasa penasaran, keluarganya ikut menatapku.

"Kamu akan sembuh" Aku tersenyum padanya untuk meyakinkannya.

Raut wajahnya berubah tidak suka dan memalingkan wajahnya dariku.

"Mas pulang aja, gak usah ketemu Risa lagi" Ucapnya terdengar serius.

Aku menghela nafas. Dia sering menyuruhku untuk meninggalkannya, tapi aku terlanjur mencintainya, aku sudah terlalu menyukainya, aku tak bisa mencintai gadis lain selain dirinya. Bagiku dia sudah seperti matahari. Bayangkan jika di hidupmu tidak ada matahari. Seperti itulah artinya untukku. Aku tak kan pernah meninggalkannya. Aku akan membuatnya sembuh bagaimanapun caranya. Dan aku akan bahagia bersamanya.

"Kau memintaku meninggalkanmu berjuta kali pun aku tak kan pernah melakukannya." Aku menatapnya lekat, aku tidak bercanda. "Ris.. Dengarkan mas, tidak peduli apa yang di katakan dokter, mas akan membuatmu sembuh dan kita menikah lalu berbahagia."

Dia menatapku "Kenapa mas seyakin itu? Mas bukan Tuhan!"

"Dokter juga bukan Tuhan. Kenapa harus mempercayai kata-katanya? Kamu lebih mendengarkan kata dokter daripada mas?"

Aku lihat dia menggigit bibir bawahnya, ia melakukannya saat merasa bersalah.

"Aku minta maaf mas.. Risa hanya ingin tahu kondisi Risa"

Aku mengusap puncak kepalanya pelan. "Kamu baik-baik saja Ris.. Cukup kan?" tanyaku dan perlahan tersenyum. Syukurlah.

"Mas, Risa ingin ke pantai"

Aku sedikit bingung dengan permintaannya. Aku ingin mengabulkannya tapi takut mempengaruhi kondisinya. Aku menatap keluarganya, dan mereka memberiku jawaban ya.

"Baiklah, mas akan bicara pada dokter dulu. Kapan kita pergi?"

"Sekarang"

"Ris.. Jangan bercanda. Ini sudah sore, besok saja ya. Mas akan membawamu ke villa mas yang dekat pantai. Bagaimana?"

Dia pun mengangguk semangat.

Arisa POV

Mas Resta sudah mendapat izin dokter dan sekarang aku sudah ada di villa nya. Kami hanya pergi berdua. Ya Tuhan! Aku senang sekali. Tempat disini benar-benar indah. Mas Resta bilang tidak memberitahuku tempat ini karena ingin menjadikannya kado pernikahanku nanti. Haih dasar.

Aku duduk di kursi roda menatapnya yang sibuk sendiri. Dan wajahnya sangat serius membuatku tertawa sendiri. Padahal ia hanya membuat kopi. Yah dia selalu melakukan segalanya dengan serius. Aku menyukai sifatnya itu.

"Mas mau masak dulu. Gak papa nunggu kan? Mas gak mau ya kamu kelaparan disini."

Aku hanya mengangguk. Dia tersenyum lalu meminum kopinya setelah itu sibuk memasak sendiri menyiapkan makanan untuk kami berdua. Aku menatap punggung lebarnya yang tegap dan bergerak karena tangannya sibuk bekerja. Dia sangat tampan walau aku melihatnya dari belakang.

"Aku tidak bisa konsentrasi kalau kau melihatku seperti itu terus" Ucapnya yang masih sibuk memasak.

Aku berdesis sambil tersenyum, dia tahu padahal dia tak melihatku.

Ya Tuhan, aku sangat mencintainya. Bisakah kau beri aku waktu sedikit lebih lama? Aku ingin bersamanya Tuhan..

Setelah beberapa saat hidangan pun tersedia di meja makan. Semuanya makanan kesukaanku. Dan tentu saja makanan yang hanya di perbolehkan oleh dokter.

Tempat makan ini menghadap ke laut, indah sekali. Aku tak sabar pergi kesana.

Dia menyuapiku dengan sabar. Entah kenapa rasanya masakan kali ini sangat enak, lebih enak dari biasanya. Mas Resta sampai terkejut melihatku yang banyak makan. Tapi ia tersenyum bangga padaku.

"Mas, ke pantai yuk. Kita lihat sunset" Ajakku antusias.

Sekarang sudah pukul empat, langit akan berubah menjadi jingga keemasan di atas laut. Pasti sangat indah.

Mas Resta mendorong kursi rodaku sampai tepi pantai. Aku bisa merasakan angin laut yang berhembus sedikit kencang, membuatku sedikit kedinginan.

"Dingin ya? Bentar ya, mas ambil selimut dulu"

Aku hanya mengangguk kecil, tak enak sebenarnya tapi tak apalah. Aku tolak pun dia tetap akan mengambilnya. Sekarang saja dia sudah berlari kecil menuju villa.

Aku kembali memandang lautan yang seolah tak berujung, matahari terlihat sudah dekat dengan air laut, siap untuk tenggelam. Warna jingga terlukis begitu indah di langit barat. Tapi senja tak akan lama. Setelah matahari pergi, ia akan hilang.

Aku merasakan tubuhku menghangat. Rupanya Mas Resta menyelimutiku. Aku tersenyum padanya. Lalu ia berdiri di belakangku. Menatap langit yang sama denganku.

"Ris tahu tidak?" Ucapnya.

"Apa?" Sahutku.

"Mas selalu takut saat matahari akan tenggelam"

Aku mengernyit bingung, setahuku dia tidak takut gelap. "Kenapa?" Tanyaku penasaran.

"Karena kamu bilang, kamu ingin pergi saat matahari tenggelam. Kamu ingin sepertinya yang pergi setelah meninggalkan senja yang indah." Jawaban yang membuatku tertegun. Artinya..

"Mas selalu takut jika saat matahari tenggelam kamu akan benar-benar pergi." Ucapnya kemudian yang melingkarkan tangan kekarnya di leherku, menyimpan dagunya di atas kepalaku.

Aku mengusap tangannya halus. "Bukannya mas bilang kalau aku akan sembuh? Kenapa mas takut aku pergi?"

Dagunya berpindah ke bahuku dan memelukku lebih erat. "Mas minta maaf. Tapi mas tidak bisa berbohong jika mas takut kamu pergi Ris.." Ucapnya terdengar seperti bisikan. Hampir dikalahkan suara deburan ombak.

"Aku akan selalu bersamamu mas.." Aku menenangkannya.

Andai kamu tahu mas, aku juga takut kalau aku akan benar-benar pergi. Tapi aku tahu saat itu pasti akan tiba. Aku harus mempersiapkan diriku untuk itu.

Kami terdiam beberapa saat, menikmati keindahan sore hari di tepi pantai. Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Entah kenapa aku merasa sangat sedih.

"Mas.."

Dia menjawabku dengan gumaman lalu berpindah ke hadapanku, berlutut untuk mensejajarkan tubuhnya denganku. Aku menatapnya lekat.

"Boleh aku minta sesuatu?" Tanyaku ragu.

"Anything for you" Ucapnya lembut.

Aku tersenyum mendengarnya. Yah dia selalu melakukan apapun yang aku minta.

"Apa yang kau minta?"

Aku menghela nafas dan memejamkan mata sejenak, meyakinkan diriku sendiri lalu menatapnya yakin. Sejenak keheningan terjadi, hanya suara angin yang berhembus dan deburan ombak yang memecah pantai. Dia menatapku yang tak kunjung bicara. Aku sudah yakin dengan keputusanku. Aku ingin dia bahagia. Aku menatapnya serius.

"Lupakan aku dan cintailah orang lain"

Dia menatapku tak gentar. Aku tahu apa yang akan dia katakan. Tapi aku tak bisa egois untuk terus memintanya tetap mencintaiku.

Dia mengecup bibirku beberapa saat lalu kembali menatapku. "Maaf.. Mas tidak bisa mengabulkan permohonamu kali ini. Terlalu berat untuk mas" Ucapnya sungguh-sungguh.

Aku memejamkan mataku. Aku tak boleh kalah.

"Mas.."

Dia kembali mengecup bibirku. Tuhan.. Aku semakin tak sanggup.

"Jika kau mengatakannya lagi mas akan menciummu lagi" Ancamnya tidak seperti main-main. Tapi aku juga tak main-main. Umurku tidak akan lama lagi aku tahu itu.

"Aku ingin melihat kamu bagia mas.."

Dia benar-benar menciumku lagi. Bukan kecupan singkat. Tapi benar-benar sebuah ciuman. Dia menciumku dengan lembut dan hati-hati. Aku hanyut dalam setiap sentuhannya. Tuhan.. Aku sangat mencintainya.

Dia melepaskannya setelah beberapa saat lalu menatapku sungguh-sungguh.

"Dengar Risa.. Mas tidak bisa mencintai gadis lain. Jangan pinta mas untuk meninggalkanmu lagi karena itu tak kan pernah terjadi." Dia mendekap kedua pipiku. "Mas sangat mencintaimu Ris.. Apapun kondisimu mas akan selalu mencintaimu. Mas akan membuatmu sembuh lalu kita akan menikah dan tinggal disini agar kamu bisa melihat laut, sunrise, dan sunset setiap kamu ingin. Menyuruh mas meninggalkanmu sama saja menggantikan matahari untuk bumi. Dan itu tak kan pernah terjadi. Kecuali matahari hancur dan berjuta tahun kemudian Betelgeus menggantikan posisi matahari. Tapi saat itu mas sudah tidak ada di dunia ini lagi."

Tanpa terasa air mataku menetes. "Aku juga sangat mencintaimu mas.. Sangat. Aku merasa menjadi wanita paling beruntung karena menjadi wanita yang kau cintai sedalam itu. Tapi cinta itu melepaskan. Egois jika aku memintamu terus menemaniku. Kau berhak bahagia. Aku ingin melihatmu bahagia mas.. Demi aku. Jika aku pergi, lupakan aku dan berbahagialah dengan wanita yang mencintaimu."

Aresta POV

Dia terus mengatakan hal-hal aneh dan memintaku mencintai orang lain. Tidak kah dia mengerti dengan apa yang aku katakan. Bahwa aku hanya mencintainya.

Dia menatapku dengan sorot yang tidak bisa aku artikan. Deburan ombak, cahaya senja, gesekan kerikil, hembusan angin. Semuanya menjadi saksi bisu aku dengannya.

"Berjanjilah padaku mas" Ucapnya lagi.

"Aku tidak bisa. Kau tidak akan pergi kemanapun. Sudah ku bilang kau akan sembuh dan kita akan bahagia. Berapa kali aku harus mengatakannya?!"

Aku sedikit meninggikan suaraku. Aku hampir frustasi dengan permintaan konyolnya.

"Mas.."

Aku kembali menciumnya. Tidak ingin aku mendengar kalimat aneh itu dari mulutnya. Aku menciumnya sedikit kasar. Aku benar-benar tak bisa menahan emosiku saat ini. Tidak kah dia tahu aku sangat takut kehilangannya? Tapi dia malah terus menyuruhku meninggalkannya. Sama saja dengan mewujudkan rasa takutku.

"Aku sangat mencintaimu Ris.." Kataku di sela ciuman kami. Dengan nafas yang memburu.

"Aku juga sangat mencintaimu mas.. Maaf.. Terima kasih.." Ucapnya lirih.

Bibir kami kembali bertautan entah ke berapa kalinya tapi aku merasa aku tak mau melepaskannya. Aku sangat takut jika aku melepaskannya dia akan pergi dariku.

Aku menarik tengkuknya dengan kedua tanganku. Mengusapnya dengan perlahan. Dia mulai terbiasa dengan ciumanku dan dia bahkan bisa mengimbanginya. Sekarang tangannya mengalung di leherku. Membalas ciumanku dengan sempurna. Saat aku berhasil masukan lidahku dia dengan mudahnya membalas permainanku. Setahuku dia tidak pernah seperti ini. Kami terbuai dengan kemesraan di bawah senja dan matahari yang mulai tenggelam.

Tuhan.. Tolong jangan ambil dia dariku. Tolong jangan kau ambil kebahagiaan ini dari kami. Biarlah langit, matahari, dan laut cemburu. Aku hanya ingin menumpahkan segala perasaanku padanya. Mengatakan bahwa aku sangat mencintainya.

Bahwa hanya dia satu-satunya bagiku..

Bahwa hanya dia yang bisa aku cintai..

Bahwa hanya dia, segalanya bagiku..

Dia duniaku..

Dia matahariku..

Tiba-tiba aku merasa dia sudah tak membalas ciumanku, dia diam.

Perasaan aneh mulai menggerayapi dadaku.

Tuhan..

Sesaat aku merasakan tubuhnya menegang lalu rangkulan tangannya di leherku melemah.

Tuhan.. Tolong..

Tanpa terasa air mataku menetes saat rangkulannya benar-benar terlepas.

Aku tidak ingin melepaskannya..

Aku terus menciumnya dengan perlahan dan air mata yang mengucur.

Ris.. Kamu benar-benar pergi?

Tubuhnya jatuh ke dalam dadaku. Aku terisak pelan.

Kamu tega sekali Ris..

Sekuat tenaga aku menahan air mataku dan tersenyum. Meyakinkan diri kalau dia baik-baik saja.

"Ris.."

Tidak ada sahutan.

"Kamu lelah ya? Kamu mau tidur?" Tanyaku.

Tubuhnya lemah dan dingin.

"Ris.. Kamu jangan bercanda gini dong.. Jangan nakutin mas.. Ayo bangun.."

Aku menariknya dari tubuhku dan kembali mendudukannya. Tubuhnya terkulai tak berdaya. Sekarang aku bisa melihat wajahnya. Pucat pasi, matanya tertutup dengan damai.

Aku melihat ke arah barat, dan matahari telah tenggelam.

Aku memejamkan mata dan seketika air mataku berjatuhan.

"Ris.. Lihat, mataharinya sudah terbenam. Bukankah kamu ingin melihatnya? Buka mata kamu Ris.."

"Ris.. Ku mohon.. Katakan sesuatu. Kamu benar-benar ingin mas meninggalkanmu? Baiklah jika itu bisa membuatmu kembali. Mas akan lakukan. Sekarang buka matamu Ris.."

Aku tahu aku bodoh, tapi aku sangat berharap ia bisa bangun dan tertawa karena ia berhasil mpermainkanku.

Tapi saat ini. Ia benar-benar tak bergerak satu inchi pun.

Dia benar-benar pergi..

Arisa.. Kekasihku..

Maaf.. Aku tak bisa menepati janjiku..

Aku tidak bisa membuatmu sembuh dan membahagiakanmu..

Maaf..

Aku mengecup keningnya untuk yang terakhir kali..

Mengecup kedua kelopak matanya untuk yang terakhir kali..

Mengecup hidung dan pipi nya untuk yang terakhir kali..

Dan untuk yang terakhir kali aku mengecup bibirnya..

Seketika air mataku jatuh mngingat semua kenangan bersamanya..

Selamat jalan Ris..

Sakit sekali rasanya, mengucapkan selamat tinggal pada orang yang kita cinta..

Sekarang keinginanmu terwujud Ris.. Kamu benar-benar pergi saat matahari terbenam.

Kamu pergi setelah meninggalkan kenangan indah seperti matahari yang pergi setelah meninggalakan senja yang indah..

Aku Aresta akan selalu mencintamu Arisa..

Selamanya..

Itu adalah janji terakhirku..

Aku akan selalu mencintaimu..

Kekasihku.. Arisa.

Tunggu aku di surga..

-FIN

Aku tahu ini gaje banget. Terimakasih yang mau ngasih vote or comment.

Regards!
TinnyNajmi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top