Hanya Hati
Jika cinta itu indah kenapa bagiku tidak? Jika cinta itu saling percaya kenapa justru aku selalu di bohongi? Jika cinta itu saling menjaga kenapa aku justru tersakiti? Tapi aku justru tak bisa meninggalkan cinta itu.
Aku merasakan ponselku bergetar tanda ada pesan masuk. Kak Revan rupanya.
"Mey, maaf ya gak jadi jemput. Ada meeting dadakan. Kamu pulang naik bis aja ya atau mau Kakak kirim taksi?"
Aku membaca pesan yang ia kirim satu detik yang lalu. Lagi. Aku tersenyum menertawakan diriku sendiri. Jika ia berniat mengirim taksi karena khawatir dia tak perlu bertanya padaku. Seharusnya dia berkata 'Kakak akan mengirim taksi untukmu'.
"Tidak perlu Kak, aku pulang naik bis saja." Balasku beberapa saat kemudian.
Sekarang pun aku berada di halte karena aku tahu dia pasti mengingkari janjinya lagi. Tak ada balasan lagi darinya, mungkin dia sudah sibuk meeting atau sibuk bersama wanita.
Malam ini aku tak berniat langsung pulang. Aku mampir ke pasar malam yang kebetulan tidak jauh dari rumahku dan Revan. Mencari hiburan untuk diriku sendiri, barangkali ada yang menarik disana.
Aku berkeliling hanya untuk melihat-lihat tak bermaksud menaiki wahana ataupun membeli jajanan dan barang lainnya. Disini banyak sekali anak kecil yang tertawa bahagia. Aku tersenyum. Mereka begitu polos, tertawa tanpa beban, jika boleh memilih aku ingin kembali ke masa itu. Masa dimana aku masih bergelayut manja pada Ayahku, masa dimana aku merengek pada Ibuku, masa dimana aku bermain bersama satu-satunya Kakak ku, masa dimana aku hanya merasakan bahagia. Sampai aku tumbuh menjadi remaja. Bahagia itu sirna begitu saja.
Ayah dan Ibuku bercerai. Keduanya berselingkuh, hebat bukan? Lalu satu-satunya kakak ku pergi entah kemana.
Pandanganku kembali menjelajahi pasar malam yang ramai di kunjungi orang-orang terutama para pasangan kekasih. Aku mengerutkan kening saat melihat sosok yang tak asing bagiku. Sosok yang selama ini bersamaku, menyelamatkanku, menyayangiku sekaligus menyakitiku.
Revan Raditya Mahendra. Pria yang telah menyakitiku berulang kali hingga aku tak bisa merasakan lagi apa itu sakit. Kini dia bersama seorang wanita yang tidak aku kenal. Lagi. Ia terlihat bahagia memakaikan barang-barang lucu di kepala sang gadis hingga membuat si gadis merenggut namun ia tertawa. Saat bersamaku dia tak pernah bisa tertawa seperti itu. Lalu ia mengecup pipi wanita itu untuk membuat mood nya kembali membaik, wanita itu pun tersipu atas perlakuannya di hadapan banyak orang.
Perlahan aku menghampirinya.
"Memangnya kamu gak cinta sama kekasihmu? Kenapa kau malah memilihku? Bagaimana jika dia tahu hubungan kita?"
Aku menghentikan langkah saat mendengar gadis Kak Rev berbicara. Penasaran dengan jawabannya.
"Dengar. Yang sekarang aku cinta adalah gadis di depanku. Bukan Meysa atau siapapun. Aku hanya merasa kasihan padanya. Dan untuk mengormati keinginan Ibu. Dia tidak akan marah. Kamu tenang saja" Ucap Revan mengelus pipi gadisnya.
Apa katanya? Memangnya hatiku terbuat dari besi baja?
"Kenapa? Memangnya dia gak suka sama kamu? Kalau aku pasti udah sakit hati. Aku merasa tidak enak padanya."
Aku berdecih dalam hati. Sakit hati? Jika dulu mungkin ya karena aku pernah berharap ia menjadi milikku seutuhnya. Aku sempat menyukainya. Tapi ia balas perasaanku dengan pengkhianatan. Ia tak pernah peduli dengan perasaanku. Hatiku sakit tapi aku tak bisa menangis. Tapi sekarang aku bahkan lupa rasanya sakit hati. Jadi mungkin benar hatiku terbuat dari besi baja.
"Entahlah. Dia wanita aneh. Sudahlah jangan bahas dia. Kita kesini kan untuk bersenang-senang"
"Kak Rev?" panggilku.
Ia menoleh dengan terkejut melihat keberadaanku. Gadis itu juga sama terkejutnya. Aku ingin tertawa rasanya, padahal aku tak melakukan apa-apa. Tapi sikap mereka seolah kepergok sedang mencuri. Ah bukannya benar ya.
"Mey.. Kok bisa ada disini?" tanyanya kikuk.
Aku tersenyum masam. "Ya, aku sedang butuh hiburan. Tugas kampus membuat kepalaku penat. Tapi aku malah melihat banyak orang bermesraan. Mengesalkan sekali. Aku sudah minta ijin Ibu kok. Kakak sendiri sedang apa? Meeting nya udah beres? Cepet banget yah" Kataku yang jelas menyendirnya.
Kulihat wanita itu hanya menunduk. Sepertinya dia tahu hubungan kami. Yah setidaknya dia bukan wanita yang ngotot menyebut pria orang lain adalah miliknya.
"Kakak antar kamu pulang"
Aku tersenyum menatap si gadis. "Tidak perlu. Kasihan pacar Kakak nanti pulang sendiri. Mey udah biasa kok sendiri. Mey pulang dulu" Kataku melengos pergi.
Aku merasakan dia menahan pergelangan tanganku.
"Ada apa?"
"Tolong jangan bilang Ibu. Kakak mohon padamu"
Aku tersenyum getir. Kufikir dia akan meminta maaf atau berbohong kalau wanita itu bukan kekasihnya itu lebih baik. Tapi yang dia takutkan adalah hubungannya diketahui oleh Ibunya sendiri. Sama seperti dulu saat aku sempat memergokinya sedang bercumbu di kantor. Kak Rev bahkan tak melakukan pembelaan tetang dirinya. Malah menyuruhku pulang dan memintaku tidak memberitahu Ibu. Dia sama sekali tak memperdulikan hatiku. Betapa menyedihkannya aku.
"Mey gak papa kok, Kak" aku menyindir kalimatnya.
"Maaf"
"Mey gak akan bilang pada Ibu." Ucapku melepaskan genggaman tangannya. "Lain kali jangan berbohong lagi. Kakak bilang yang sejujurnya juga tidak papa. Oh atau mungkin tidak ada lagi lain kali"
"Maksudmu?" Keningnya berkerut khas orang bingung.
"Kita lanjutkan nanti saja pembicaraannya. Takut mengganggu acara kencan kalian. Aku pulang duluan." Aku tersenyum singkat lalu melengos pergi dari hadapannya.
Hatiku? Apa kabar?
Aku faham betul dia yang tak ingin Ibunya tahu tentang hubungannya bersama gadis lain. Karena yang Ibunya inginkan hanya aku. Bukan aku sok tapi itu kenyataannya. Dia lebih sering membelaku daripada anaknya sendiri.
Setelah keluargaku hancur aku hidup sendiri. Berjuang dan bertahan hidup sendiri. Tidur dimana saja, bekerja hanya untuk mendapat makan. Kadang aku tak makan seharian. Aku tidak ingin ikut bersama Ibu ataupun Ayah. Bagiku mereka menjijikan. Mereka bahkan tak berniat mencariku. Mereka hidup bahagia dengan keluarganya masing-masing.
Aku mengerti. Aku mengetahui kebenaran ini saat keduanya bertengkar hebat. Mereka malah menyalahkanku dan mengatakan aku adalah anak yang tak di inginkan. Bahwa aku lah penyebab kehancuran hubungan mereka. Jika aku tidak ada mereka tidak akan menikah dan berakhir seperti sekarang. Hatiku tergores hebat. Benar, aku anak haram. Kelahiranku adalah sebuah kesalahan. Lalu orang yang aku anggap kakak ternyata hanya anak adopsi yang mereka adopsi dari panti asuhan untuk menemaniku. Tapi sekarang dia pun entah dimana.
Mereka tak pernah menginginkanku.
Tidak pernah.
Lalu kenapa aku harus lahir?!
Bolehkah aku marah pada Tuhan?
Hingga aku dipertemukan dengan keluarga Revan. Aku di anggap penyelamat Ibunya karena telah mendonorkan darahku padanya saat keadannya kritis karena sebuah kecelakaan. Padahal niatku hanya ingin membantu saja karena darahku cocok untuknya. Tante Resti sangat berterima kasih padaku dan menanyai tentang kehidupanku. Aku pun menceritakan tentang semua yang terjadi pada diriku. Saat itu aku terlalu polos. Usiaku masih 15 tahun. Ia yang merasa iba memintaku tinggal bersamanya dan menyuruh anaknya Kak Revan menjagaku. Aku yang tak memiliki apapun dan siapapun mengiyakan ajakannya tanpa fikir panjang. Aku nyaman berada disana, mereka baik walau tak sehangat keluargaku dulu -saat aku kecil-.
Kak Revan menyambutku dengan hangat. Aku memang menyukai Kak Revan saat pertama melihatnya. Dia orang yang hangat dan suple. Dia juga sangat perhatian. Tapi sikapnya tak lebih layaknya seorang kakak pada adiknya. Tante Resti sangat menyukaiku entah dengan alasan apa, dia bilang dia ingin aku menjadi anaknya tapi satu thun kemuian dia lebih memilih aku menjadi menantunya. Lucu bukan? Aku tidak tahu harus berbuat apa, jika aku menolak rasanya tak enak pada tante Resti yang sudah sangat baik padaku. Tapi aku tak mungkin menyetujuinya. Bagaimana kami bersama jika tak ada rasa? Aku menyerahkan keputusan pada Kak Rev. Tanpa kuduga dia menyetujuinya.
"Perasaan akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Dia gadis yang baik dan cantik. Aku menyukainya. Pasti mudah jatuh cinta padanya. Jadi Ibu jangan khawatir"
Aku masih ingat dengan jelas ucapannya saat itu. Aku senang bukan main. Tapi kesenangan itu tak bertahan lama. Luka yang keluargaku terlalu dalam hingga sulit bagiku percaya pada orang lain kecuali Kak Rev dan keluatganya tapi laki-laki yang aku cintai juga malah menorehkan luka di hati.
Aku telah melakukan segala yang aku bisa agar aku pantas bersamanya. Tapi rupanya aku hanya di anggap anak gadis yang menyedihkan. Dari awal aku tak melihat cinta di matanya. Seperti yang ia katakan perhatiannya hanya sebuah rasa kasihan dan kewajiban menuruti keinginan Ibunya. Tapi aku tahu dia tulus menyayangiku. Aku ingin marah tapi aku merasa tak punya hak. Siapa aku? Aku hanya anak jalanan yang dipungut dan menumpang hidup di rumahnya. Menerima cinta dan kasih sayang gratis. Aku ingin mengentikan cinta ini tapi aku sudah terikat dengannya. Aku juga heran kenapa Kak Rev masih saja mempertahankanku? Menyimpanku seperti mainan lama yang sudah usang dan tak tersentuh. Jika dia tak mencintaiku kenapa harus mengikatku pada sebuah ikatan.
Aku menunggunya di depan teras rumah. Pukul sebelas ia baru sampai dan terlihat kaget melihatku berada di luar.
"Kenapa tidak di dalam saja? Kalau kamu sakit, nanti Kakak yang kena omel Ibu. Besok juga bisa kan?" cecarnya dengan nada tak bersahabat.
"Maaf" hanya itu kata yang mampu terucap olehku.
Ia menghela nafas lalu bertanya apa yang ingin aku sampaikan.
"Aku berterima kasih atas semua kebaikan Kakak selama ini. Tapi aku tak bisa melanjutkan semua ini."
"Maksudmu? Kamu marah karena Kakak punya kekasih?" tanya nya seolah tak ada yang salah dengan tindakannya.
Aku tersenyum masam. "Aku tidak marah. Aku mengerti kalau Kakak mencintai gadis lain. Itu adalah hak Kakak dan perasaan seseorang tidak bisa di paksakan. Jadi hentikan saja, jangan memaksakan diri untuk menjagaku. Aku tak perlu di kasihani. Aku bisa jaga diri. Aku tahu selama ini Kakak membohongiku setiap jalan bersama wanita lain. Aku tahu Kakak tidak pernah memiliki rasa cinta itu untukku. Mungkin aku pernah jatuh cinta. Tapi aku sadar diri. Aku hanya sampah. Aku tidak memiliki apapun. Yang aku miliki hanya hati. Tapi satu-satunya milikku itu kini pun sudah rusak. Di sakiti oleh orang yang aku cintai. Terlalu banyak rasa sakit yang aku terima. Sekarang sudah cukup. Karena aku tak bisa merasakan rasa sakit itu lagi. Sampaikan terimakasihku pada Ibu dan Ayah. Terimakasih juga Kak Rev atas cinta dan luka yang Kakak berikan. Selamat tinggal" Aku memberikan senyum terbaikku yang semoga tidak terlihat menyeramkan lalu melewati Kak Revan yang mematung.
"Mey! Tunggu! Kamu gak bisa pergi gitu aja. Bagaimana aku menjelaskan semuanya pada Ibu? Kamu ingin Kakak bilang kalau selama ini Kakak selalu bersama wanita lain begitu?"
Aku tersenyum ketir. Bukan meminta maaf atau mencegah ku pergi. Yang ia lakukan adalah meminta aku menjelaskan pada orang tuanya. "Lihatlah bahkan sekarang pun Kakak tidak mengkhawatirkan perasaanku. Kakak hanya mengkhawatirkan diri Kakak sendiri. Tenang saja aku sudah bilang pada Ayah dan Ibu."
Dia terdiam.
"Aku baik-baik saja. Terimakasih untuk semuanya"
Tidak ada lagi penahanan apapun. Aku pergi tanpa membawa apapun. Kemana kaki ku melangkah aku tidak tahu. Dunia sudah tak menginginkanku. Jika dunia saja tak menginginkanku harus kemana kah aku? Biarkan saja tubuhku mati perlahan.
Hatiku? Jangan tanya hatiku. Aku tidak tahu apa hati itu masih ada atau tidak.
Ini hanya sebuah hati. Yang tak lagi bisa merasakan apa itu sakit.
Yah, hanya hati.
Hati yang sudah rusak.
"Hatimu cantik."
Seseorang berkata dari arah samping. Aku berhenti melangkah.
"Secantik Venus di saat fajar dan senja. Secerah dan sehangat mentari. Selembut sutera, seputih salju. Sesejuk embun di pagi hari."
Aku menoleh mendapati seorang pria bertubuh tegap berdiri di bawah remang-remang sinar bulan. Tapi ketampanannya jelas terpancar. Indah..
"Bolehkah aku menyentuh hatimu?"
Seketika hatiku berdesir. Permintaan yang membuat tubuhku bergetar hebat.
Ia tersenyum. Senyum yang indah dan hangat. Tuhan, apa kau mengirimkan malaikat untukku? Apakah aku sedang bertemu malaikat surga?
"Aku akan menuntunmu ke syurga-Nya. Jadi ijinkan aku menyentuh hatimu dan memiliki hatimu"
Tak terasa cairan hangat turun dari mata membasahi pipi.
Aku menangis. Setelah sekian lama.
Oleh seseorang yang menyebut hatiku indah.
"Tolong, genggam hatiku"
-FIN
__________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top