Diiris Sembilu
Rasanya seperti ... diiris sembilu. Perih. Sakit. Dadaku sesak, entah karena pasukan oksigen yang menipis atau karena ada yang menyumbat tenggorokanku.
Aku menahan isak yang ingin sekali kuloloskan. Tapi ... aku tidak bisa melakukannya saat ini. Tidak di hadapan orang lain. Aku hanya membiarkan air mataku jatuh, tanpa suara, aku menyembunyikannya. Sebab aku tak mampu menahannya.
Sembilu itu menikamku tepat di ulu hati. Rasanya begitu menyakitkan. Dan aku tidak harus berbuat apa untuk mengobati luka ini. Luka tak kasat mata yang kian menganga. Menjalarkan perih ke seluruh tubuh.
Aku kalah. Aku menyerah. Aku patah. Kau mematahkan segalanya. Kau benar dan kau memang. Aku memang hanya pecundang yang tak punya keberanian mengambil langkah, akulah pecundang yang selalu takut membuat pilihan. Hingga aku tersiksa oleh pilihanku sendiri.
Katamu, aku bisa bahagia dengan mengambil pilihan lain. Tapi aku tak merasa begitu. Kau, dengan segala argumentasimu mematahkan segala pikiranku.
Cukup sudah. Aku mengaku kalah. Kau menang.
Tapi aku bertanya-tanya, untuk apa kau melakukan semua ini padaku? Asal kau tahu. Semua kepedulianmu terhadapku lebih menyiksa. Lebih membuatku merasa ... harus segera melarikan diri agar aku tidak terperangkap olehmu.
Tapi kau selalu dan selalu saja kembali datang. Inginku bertanya apa maumu? Tapi sudah kukatakan jika aku hanya seorang pecundang. Aku adalah pengecut yang tidak bisa menentukan pilihan-pilihan untuk diriku sendiri. Jadi aku selalu diam, diam, dan diam. Tanpa menyuarakan pendapat atau keinginan hatiku yang sebenarnya.
Keinginan hati?
Apa itu?
Aku bahkan tak tahu ....
Aku tidak benar-benar tahu ....
Apa yang kuinginkan?
.
.
Subang,
16 Maret 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top