Cinta Ikhlasku
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada." (Aku Ingin) - Sapardi Djoko Damono.
Sama sekali tidak ada kata bosan saat ku tatap wajah cantik nya. Indah jelita, lembut nan anggun. Tutur katanya halus, perilakunya pun ramah. Matanya syahdu setenang air telaga. Mata yang selalu membuatku jatuh terperosok semakin dalam. Ya, jatuh cinta.
Zahra namanya, wanita cantik dan sholehah. Dia yang sejak pertama menarik perhatianku. Dia terlihat begitu cantik dengan jilbab nya yang lebar, senyumnya indah menawan hati. Yang bisa ku lakukan hanya memandangnya dari kejauhan, mengaguminya dan memujanya dalam diam. Aku tahu batasan, ia wanita shalihah yang selalu menjaga jarak dengan lawan jenisnya. Aku sungguh kagum pada Islam yang begitu memuliakan perempuan. Kenapa aku tahu? Yah, aku mendengarnya dari Azka sahabat karibku.
Meskipun kami berbeda keyakinan, ia tak pernah membahas perbedaan kami. 'Untukku agamaku, untukmu agamamu' begitu katanya yang di ajarkan kitab nya. Sebenarnya aku kadang iri padanya, dia itu tampan, cerdas, baik, ramah, dan famous. Dan lagi, ia paling sering berinteraksi dengan Zahra karena mereka sering berada dalam satu kegiatan keislaman. Mengesalkan memang, tapi berkat dia juga aku bisa berkenalan dengan Zahra. Yah setidaknya, dia menyapaku dengan senyuman jika berjumpa, walau setelah itu ia kembali menundukkan kepalanya. Aku bahkan tak yakin dia hafal wajahku.
Semakin hari, rasa cintaku semakin tumbuh. Azka sudah ku anggap saudaraku sendiri, ia yang paling tahu bagaimana perasaanku pada Zahra. Keinginanku untuk memilikinya semakin dalam. Namun aku tahu perbedaanku dengannya yang membuat semuanya menjadi mustahil.
Azka bilang, kalau orang Islam tidak boleh menikah pada agama selainnya. Ya, ia sering memberiku pelajaran atau nasihat tentang Islam. Anehnya aku sama sekali tak tersinggung dan menerima semua perkataannya. Setiap malam aku merenung, harus ku apakan perasaanku ini? Melenyapkannya? Tidak. Aku tak ingin menyerah Tuhan, aku sangat mencintainya. Aku menginginkannya menjadi istri dan Ibu bagi anak-anakku kelak.
Saat di kampus aku kembali memperhatikannya, dan aku sudah mengambil keputusan. Segera ku temui Azka yang saat itu tengah mengaji di mesjid.
Ia sampai heran karena aku berani masuk rumah Tuhannya.
"Ada apa Dra?" tanyanya dengan raut bingung.
Ku tatap ia dengan penuh keyakinan. "Aku ingin masuk Islam, memeluk agama yang sama denganmu. Ajari aku semuanya" ucapku mantap.
Dia bergeming menatapku. "Kamu yakin?" tanya nya. Aku mengangguk.
"Apa karena Zahra?" tanya nya lagi kemudian aku terdiam. Aku menunduk dan jawabanku adalah Ya.
Sesaat keheningan menyelimuti kami. Aku sibuk dengan fikiranku sendiri.
"Apa kamu yakin kamu mau masuk Islam? Tidak papa, jika maksud awalmu walau hanya karena dia, aku akan menuntunmu perlahan-lahan sampai kau benar-benar faham." Ucapnya kemudian.
Aku mengangkat wajahku dan hatiku merasakan kegembiraan yang amat sangat. "Thank you Ka!" seruku menjabat tangannya, ia mengulum senyum sambil mengangguk.
Sejak saat itu, aku mengucapkan dua kalimah syahadat, meyakininya dalam hati, dan mengamalkannya dengan perbuatan. Dan aku tidak pernah menyesal, memang awalnya aku masuk Islam karena dia, wanita yang sangat aku kagumi. Tapi setelah Azka mengajariku, aku tahu semuanya harus lillahi ta'ala. Nanti, aku akan berterima kasih padanya. Berkat dia, aku tergerak masuk Islam dan mengenal Islam. Butuh waktu lama untukku belajar dan mendalami Islam, tenyata Islam itu indah, tidak memberatkan dan semua permasalahan ada dalam kitabnya Al-Qur'an. Pantas, Azka selalu terlihat tenang dan calm, dia pun begitu. Ternyata semuanya sudah di atur dengan begitu baik dan rapi bahkan hal terkecil sekalipun.
Perjalananku tentu tidak semudah yang aku fikirkan, aku jadi bahan perbincangan, bukan hanya teman-teman tapi juga keluargaku. Saat aku memberitahu kedua orang tuaku tentang ini, mereka menentang keras dan mengancamku akan mencoret aku dari daftar keluarga. Aku sama sekali tidak takut, aku tidak takut miskin. Aku siap kehilangan segalanya asal aku tidak kehilangan agamaku dan Tuhanku.
Aku bisa merasakan banyak yang berubah pada diriku. Merasa lebih tenang dan nyaman. Aku tak lagi senang memandangnya karena aku tahu itu dilarang. Azka sering kali mengingatkanku dengan salah satu ayat dalam Al-Qur'an tentang laki-laki yang harus menjaga pandangannya.
Tapi, rasa cintaku padanya tak berkurang sama sekali. Hanya saja sekarang ada yang lebih aku cintai. Dia, Tuhanku.
Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Aku, Azka dan dia telah lulus S1. Aku sudah berniat untuk melamarnya. Aku memberitahukan keinginanku pada Azka untuk meminang Zahra dan dia sangat mendukung keputusanku. Aku sangat senang. Bahkan aku sudah mempersiapkan mahar. Tidak ada jalan lain untuk mengungkapkan rasa cinta ini selain pernikahan. Begitulah kesimpulan yang aku dapat dari Islam tentang cinta. Cinta? Ya akad.
Aku juga menyampaikan maksudku pada kedua orang tuaku. Setelah melihat kesungguhanku selama ini, mereka mulai menerima keputusanku. Hanya saja mereka masih enggan ku ajak untuk memeluk agama yang sama denganku. Biarlah, aku akan mengajak mereka perlahan-lahan.
Hari itu pun tiba, aku meminta Azka untuk menemaniku ke rumah Zahra sebagai keluargaku. Sungguh, rasanya aku sedang sport jantung. Deg-degan dan nervous.
Kami sudah berhadapan dengan orang tua Zahra. Lalu Azka menyampaikan maksud kedatangan kami.
"Saya Muhammad Azka, dan dia sahabat sekaligus saudara saya Mahendara Putra Wijaya. Saya ingin menyampaikan maksud kedatangan kami bahwa saudara saya Mahendra bermaksud untuk meminang Zahra, putri Ibu dan Bapak. Kami akan menghormati apapun keputusan Ibu dan Bapak." Tutur Azka, wah tidak salah aku memilihnya dia memang bisa di andalkan dalam kondisi apapun.
"Kami tersanjung, anak seorang pengusaha dari keluarga Wijaya mau melamar anak gadis dari keluarga sederhana. Kami sudah mendengar tentangmu dan kami menghormati maksudmu. Tapi, keputusan tetap ada di tangan Zahra. Apakah ia bersedia atau tidak." Ucap Pak Yusuf, Ayah Zahra.
Ibunya mengulum senyum, "Tunggulah sebentar, Ibu akan menemui Zahra dan menanyakan kesediannya." Ucap Ibu Fatimah. Ku balas anggukan sederhana sambil tersenyum canggung.
Ia kemudian berlalu untuk menemui Zahra. Aku menunggu dengan cemas. Kau tahu apa yang ku rasakan sekarang? Rasanya seperti menunggu vonis apakah aku akan di hukum mati atau tidak. Takut, gelisah, resah, deg-degan dan semacamnya. Tapi aku harus bisa menguasai diriku. Tetap tenang Dra.. Ucapku pada diriku sendiri.
Bu Fatimah telah kembali duduk di hadapan kami.
"Jadi bagaimana Bu? Apa Zahra bersedia?" tanya Azka.
Bu Fatimah tersenyum, perasaanku sudah tak karuan entah bagaimana aku mengungkapkannya. Menunggunya bicara seperti menunggu vonis hukuman dari sang hakim untuk terdakwa.
"Kami sangat menghormati dan menghargaai maksud Nak Hendra, kami harap Nak Hendra bisa menerima keputusan ini dengan lapang dada. Kami mohon maaf, tapi Zahra menolak pinangan Nak Hendra, dan ia bilang ia bersedia jika Nak Azka memiliki maksud yang sama."
DeG!
Sesuatu menghantam dadaku begitu keras, nyeri dan sesak. Rasanya langit runtuh dan dunia berhenti berputar. Aku menoleh pada Azka ia pun menatapku, ku fikir sama terkejutnya denganku. Zahra menolakku, dan ia akan menerima jika Azka yang melamarnya. Hatiku hancur ketika itu.
Zahra, rupanya ia menyukai sahabat karibku, saudaraku sendiri. Aku menunduk, sedih, sakit hati, kesal, kecewa, marah, hancur, entah apa lagi aku benar-benar kacau. Ku lafalkan istigfhar berkali-kali dalam hati, tidak, aku tidak boleh lemah hanya karena cinta yang fana. Aku harus bisa mengendalikan diri dan mengendalikan cinta bukan di kendalikan cinta. Ya Rabbana.. Tegarkan daku.
Ku angkat wajahku, lalu ku tatap wajah kedua orang tua Zahra kemudian sahabatku yang sedari tadi terdiam.
"Ka.. Jawablah dengan jujur. Apa kau memiliki perasaan padanya? Adakah niatan di hatimu untuk meminangnya? Jangan kau hiraukan aku, aku hanya ingin tahu." Ucapku sebiasa mungkin.
Lama ia terdiam, satu helaan nafas terdengar dan keluarlah satu jawaban. "Ya.." ucapnya pendek.
Aku tersenyum, "Allahu Akbar.. Aku menghargai dan menerima keputusannya dengan hati ikhlas. Ku ikhlaskan cinta dan rinduku. Sungguh, aku bahagia jika melihat sahabatku bahagia. Akan ku serahkan semua mahar yang telah aku persiapakan untukmu Ka." Ucapku.
Ia memandangku dengan raut kaget, dan perasaan bersalah. "Dra.. Kamu tidak perlu--"
Aku menyentuh pundaknya dan tersenyum setulus mungkin. "Enggak Ka, kamu lebih layak mendapatkannya. Tak perlu kau khawatirkan aku, aku baik-baik saja. Mungkin ia bukan jodohku, aku percaya Tuhan menyiapkan seseorang yang lebih baik untukku. Aku berterimakasih atas semua yang kau lakukan untukku. Tanpamu aku tak kan bisa menjadi seperti sekarang. Mungkin hanya ini yang bisa ku lakukan untukmu. Mungkin aku sakit tapi semuanya akan sirna, bukankah tidak ada obat untuk sakit hati kecuali ikhlas? Maka telah ku ikhlaskan dia untukmu, ku ikhlaskan cintaku untuk kau miliki. Kau tetap sahabat sekaligus saudara bagiku. Berbahagialah Ka.. Aku pun turut berbahagia untuk kalian." Ucapku pada akhirnya.
Malam itu, adalah akhir dari perjalanan kisah cintaku pada Zahra, ah mungkin kalian heran, kenapa aku bisa begitu mudahnya mengikhlaskan cintaku, itu karena aku mencintainya dengan sederhana seperti nasihat Ali Bin Abi Thalib untuk mencintai seseorang sekedarnya saja. Dan juga seperti dalam sajak Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono.
Sesederhana itu, cintaku untuknya.
Aku juga teringat kisah sahabat Nabi, Salman al Farisi. Saat aku membacanya aku begitu mengaguminya. Mengagumi kelapangan hatinya, dan kisahnya kini terjadi padaku.
Selamat jalan cintaku, ku ihklaskan engkau dengan ridha-Nya. Ku ikhlaskan engkau cintaku, untuk menyambut cinta lain yang di ridhai-Nya.
***
090516-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top