....

Sou tidak lagi bisa berkata-kata.

Narasi yang biasanya tertulis otomatis di kepalanya terputus.

Orang yang biasa dinarasikannya kini telah menghilang.

🧊🧊🧊

"Hei, nee-chan. Aku panggil senpai saja sekarang, karena kita sudah tidak akrab lagi."

Sou meletakkan minuman rempah yang dibawanya.

"Senpai tahu? "cool" artinya benar-benar dingin, lho. Bukan keren. Oke, mungkin keren untuk senpai saat kita masih bersekolah. Senpai yang mantan ketua OSIS, senpai yang mengajariku dan membantuku soal pelajaran, senpai yang membaca pidato di depan semua orang ... senpai memang cool di masa itu. Tapi arti cool itu berubah sejak kita bertemu lagi. Senpai benar-benar dingin, tidak tergapai, tidak tersentuh. Apalagi sekarang ... senpai benar-benar tak tersentuh lagi. Terhalang gumpalan di depanmu."

Sou menangkupkan kedua tangannya.

"Senpai, mungkin cool yang waktu itu bermaksud menggambarkan senpai yang sekarang. Di dalam sana pasti terasa dingin. Tapi senpai pasti bisa menghangatkan diri, karena senpai pandai. Oh, aku juga membawakan minuman hangat untukmu."

Sou berdoa dengan sepenuh hati. Berdoa agar sang senpai diberikan kedamaian.

Juga, supaya [Name] tetap mengingatnya, bahkan ketika ia tidak lagi berpijak di tanah yang sama.

"Senpai, sampai sekarang pun aku menyukaimu. Ternyata aku memang nggak bisa kalau bukan kau. Segenap jiwaku ini akan selalu merindukanmu."

Sou merapikan bawaannya, lalu beranjak dari hadapan nisan yang sedari tadi diajaknya mengobrol.

Baru beberapa langkah, sosok seniornya yang lain, teman kakaknya yang sempat menawarinya permen di hari pembacaan pidato, melewatinya dengan angin berat.

Tanpa ada niat menyapanya, Sou melanjutkan jalannya menuju jalan masuk-keluar pemakaman umum.

"Sudah?"

Yang bertanya padanya adalah perempuan yang ia temui di café dan bioskop. Berusaha tersenyum, Sou menjawab pertanyaan gadis itu.

"Sudah."

Ditautkannya jari-jarinya dengan jari kekasihnya, berharap perasaan mereka kelak bisa bertaut—walau jelas, hal itu tidak akan terjadi.