21 · Musibah Mustika
Hari yang normal dan biasa saja di dapur Celestial Hotel, beberapa minggu setelah sangjit di wisma keluarga Tan. Kehidupan sungguh berjalan mulus, baik Gala dan Wendy dapat menyembunyikan gejolak yang mereka alami dengan—hampir—sempurna.
Wendy, meskipun harap-harap cemas, tidak menemukan adanya tanda-tanda kemunculan Nico kembali.
Sementara Gala, memutuskan perkara tukang laundry yang creepy itu tidak perlu dipikirkan terlalu lama. Gala beranggapan, memang banyak orang-orang aneh dan bodoh di dunia ini.
"Baik, semuanya, boleh minta perhatiannya sebentar?"
Suara lantang Chef Raka memanggil saat jam service hour baru saja selesai. Staf dapur yang sudah selesai membersihkan station masing-masing dan sedang bersiap pulang, otomatis menghentikan kegiatan mereka.
"Sebelum kalian pulang, kita makan bareng-bareng dulu ya. Lisa udah siapin sesuatu yang spesial buat kita semua...."
Bersamaan dengan itu, Lisa datang membawa nampan berisi beberapa dish di piring jumbo yang permukaannya dibungkus aluminium foil.
"Wah, apaan tuh?" Gala refleks berkata.
"Kamu nanya, Bang?" Pram menyahut jayus, yang langsung dibalas dengan jitakan sayang oleh Gala.
Di tengah kelakar mereka, tubuh Lisa yang mungil sudah maju dan berdiri di samping Chef Raka.
"Semuanya, ini... emmm, hasil karya aku pakai sisa-sisa bahan pasta yang ada di gudang. Maaf ya, aku pakai semua, soalnya beneran udah mau pada expired...."
Lisa mulai membuka satu aluminium foil, dan seluruh ruangan menggumam tertarik.
"Lasagna?" kata Wendy.
"Iya, terus ini..." Lisa membuka hidangan lain.
"Vongole! Ah, sudah lama sekali nggak makan pasta kerang!" Pak Seno menyahut penuh antusias.
Tanpa disuruh, Pram dan Pras masing-masing membuka aluminium foil di piring besar lain.
"Wah, aglio olio!"
"Nah, ini mantep nih, creamy carbonara."
Dengan sigap Lisa mengambilkan setengah lusin garpu, membagikannya pada staf dapur untuk mencicip porsi berbagai macam pasta yang lumayan banyak itu.
"Mmmmm, enak Lis! Mirip kayak yang dibikin Vion dulu. Kerangnya kerasa, tapi nggak amis. Hebat kamu bisa bikin yang persis begini!" puji Pak Seno sambil mengunyah vongole pasta.
"Iya, bener, mirip banget kayak yang dulu-dulu! Apa karena bahannya sama, ya?" tanya Pram.
"Wajannya sama juga, tuh," balas Pras.
"Eh, enak aja! Aku masak di rumah yaa!" Lisa tidak terima, membuat Raka yang sedang menyerok lasagna tak bisa menahan tawa.
"Gimana, intinya? Enak nggak, semuanya?" tanya Raka di sela-sela santap malam dadakan itu.
"Enak, Chef!" balas Pras antusias.
"Buat gue yang nggak tau before-after-nya pasta di sini, ya enak-enak aja. Gratis pula." Gala menyahut sambil melahap gulungan besar carbonara di garpunya.
Di tengah-tengah itu semua, pandangan Lisa berhenti pada Wendy.
"Ci? Nggak nyobain?" tanya Lisa.
Wendy terperangah dan baru menyadari kalau sedari tadi dia hanya memegangi garpu kosong.
"Iya, iya," kata Wendy sambil buru-buru menggulung aglio olio.
Wendy sempat melamunkan perubahan kondisi ini, bagaimana Lisa yang beberapa minggu lalu begitu meragu untuk menjalankan ide pasta di belakang punggung Chef Raka, kini malah terang-terangan didukung oleh lelaki itu.
Suportif tenan chef bucin iki, pikir Wendy sambil mengunyah.
"Oh iya." Raka berucap saat piring-piring pasta itu mulai digasak habis.
"Ini sebenarnya sogokan dari saya dan Lisa, karena besok kita ijin nggak masuk. Dapur akan dipimpin sama Pak Seno, dan juga akan ada tambahan tenaga dari staf dining hall yang nanti. Aman ya?"
"Loh, mau ke mana Chef?" Pram bertanya dengan krim carbonara yang sedikit belepotan di mulutnya.
"Ke Desa Pandalungan." Lisa yang menjawab. "Mau nganterin sepupuku tunangan."
"Ooo."
Wendy memperhatikan interaksi mereka sambil mengunyah pelan aglio olio. Pasta dengan taburan minyak zaitun itu adalah varian menu yang paling ringan, membuat Wendy tidak terlalu bersalah menelan karbo di waktu larut malam begini.
"Bulan ini lagi musim kawin, ya? Kapan hari itu kan sodara lo, sekarang sepupunya Lisa."
Gala menyenggol lengan Wendy, menyandar pada station perempuan itu sambil matanya memandang sekeliling.
"Iya, yo?" balas Wendy.
Celetukan Gala barusan mengingatkannya pada resepsi pernikahan Anggi yang akan berjalan dua minggu lagi. Wendy bahkan sudah membeli tiga pasang lingerie Victoria Secret special edition untuk hadiah pernikahan nanti.
"Lo gak mau cabut, Wen?" Gala menanyakan pada Wendy yang masih mengistirahatkan garpu di bibir bawahnya, membuat perempuan itu berkedip.
"Oh? Iya." Wendy baru sadar bahwa kerumunan staf di sekeliling mereka sudah mulai bubar. Pasta habis, perut kenyang. Bahkan Gala pun sudah tampak siap untuk pergi.
"Kamu..." Wendy tak sempat melanjutkan tawarannya untuk mengajak Gala pulang bersama, sebab cowok itu sudah digelayuti duo kembar P ke arah ruang loker.
"Duluan, Wen," ucap Gala sekilas.
"Ya..." Wendy bergunam. Buru-buru Wendy menggeleng, mengusir pikiran serta niatnya yang tadi sedikit absurd.
Ndak. Jangan. Terlalu aneh kalo diliat anak-anak.
🍰
Gala meraih benda pipih dari dalam lokernya. Ponsel itu sengaja tidak Gala bawa saat di dapur. Takut menjadi distraksi.
Begitu dinyalakan, betapa terkejutnya Gala saat mendapati belasan missed calls dari Tika. Ada juga pesan singkat beruntun yang dikirim dari siang tadi hingga malam ini.
Lebih parahnya, Gala tidak sadar karena sejak pagi dia ikut Pak Seno ke pasar ikan, dan ponselnya diatur dalam mode senyap.
[Bang gala, sibuk?]
(1) Missed call.
[Bang, tolong angkat... aku lagi otw dari gili bareng cicha. Ada masalah sama firman...]
(3) Missed calls.
(5) Missed calls.
[Kami baru sampai probolinggo, bang. Habis ini ke surabaya. Abang masih kerja, ya?]
(3) Missed calls
[Maaf aku ganggu kalau abang lagi kerja. Abang selesai jam berapa? Biasanya malam banget, ya?]
[Aku sama cicha sudah sampai surabaya]
Gala menggenggam ponselnya dan buru-buru keluar dari ruang ganti, masih berpakaian seragam lengkap.
"Bang, mau ke mana—?"
"Ntar, Pram, gue buru-buru!"
Menyeberangi lobi dan parkiran, Gala berpapasan dengan Wendy, namun tidak sadar kalau perempuan itu hendak menanyakan ada apa. Tampaknya kerisauan Gala begitu jelas terbaca, dan cowok itu tidak peduli.
Berlari 50 meter dari hotel, Gala berhenti di pangkalan ojek dan langsung menyebut alamat apartemennya tanpa menawar harga.
Sesampainya di sana, Gala hampir saja lupa mengembalikan helm ojek yang terpasang di kepalanya. Beberapa detik waktu kembali terbuang, membuat Gala mengumpat dalam hati.
Begitu memasuki lobi apartemen, Gala tidak berhenti di depan pintu lift, melainkan langsung lari menaiki tangga darurat. Dalam hematnya, cowok itu merasa kecepatan kakinya akan lebih menghemat waktu—meski alhasil napasnya jadi memburu.
Lantai delapan tergapai saat paru-paru Gala sudah mulai membuktikan betapa pilihannya untuk lari naik tangga adalah sebuah kebodohan. Tapi Gala tak peduli. Dia menata napas sambil berjalan cepat ke pintu unitnya yang bernomor 812.
Benar saja. Mustika dan Cicha duduk di atas karpet depan pintu. Sebuah tas tenteng besar menjadi tumpuan bokong mereka.
"Bang..."
"Tik!" desis Gala dengan napas lega. Cicha terlelap di lengan ibunya, membuat Gala tertahan untuk membantu Tika berdiri.
"Maaf tiba-tiba, aku—"
"Nggak papa," potong Gala. Dia langsung mengeluarkan kunci pintu dari saku celana. "Masuk dulu, cerita di dalem aja."
Tika pun mengangguk, menggendong putri kecilnya dengan hati-hati agar tidak bangun sementara Gala membawakan tas tenteng besar mereka ke dalam.
Beberapa menit setelah pintu unit Gala tertutup, lift lantai itu terbuka. Wendy keluar dan berjalan dari sana, pulang ke unitnya sendiri.
🍰
Gala berbaring di sofa dengan mata yang masih menyala. Kantuk sama sekali tidak menghinggapi cowok itu, terlepas jam di dinding menunjukkan pukul dua pagi.
Di kamarnya, Gala membiarkan Tika dan Cicha menguasai ranjang. Mereka baru saja melewati hari yang berat.
Tadi Mustika sempat bercerita, bahwa suaminya, Firman, sedang 'kumat'.
"Dia mukul kamu lagi?" tanya Gala sambil memperhatikan lebam samar di sudut rahang Tika. Lebam yang sesiangan tadi berhasil ditutupinya dengan bedak.
Anggukan samar Tika menjadi jawaban yang meremukkan Gala.
"Udah bener kamu ke sini, Tik. Kamu bisa stay sampai kapanpun kamu mau. Di sini aman," ucap Gala lagi.
Kini Tika menggeleng. "Aku nggak bisa ngerepotin Abang lama-lama."
"Nggak gitu, Tik."
"Aku rencananya mau ke rumah Ibu di Jakarta...."
Gala termenung. Sebutan nama itu membawa gelombang memori yang menyala bagaikan kilas balik. Ibu sambung mereka, Ibu Panti, satu-satunya sosok orang tua yang mengasuh Gala dan Tika sedari kecil. Rumah Ibu sudah menjadi safehouse mereka sejak dulu.
"Tapi..." Gala berpikir. "Firman pasti nyariin kamu ke tempat Ibu juga."
"Aku tau," balas Tika. "Makanya aku langsung ke tempat Abang dulu, sementara, sampai nanti pas Firman beneran nyari ke Ibu dan kita nggak ada, baru aku berani ke sana."
Gala termenung. Ternyata Tika sudah mematangkan rencananya sampai sejauh ini.
"Oke," kata Gala akhirnya. Rencana Tika memang cukup masuk akal, sebab Firman tidak tahu lokasi Gala tinggal di Surabaya. "Jadi kita tinggal tunggu kabar dari Ibu kan?"
"Iya," jawab Tika.
"Ya udah. Sekarang kamu istirahat aja, temenin Cicha tidur."
Dan berakhirlah percakapan mereka malam itu, meninggalkan Gala yang saat ini berusaha sekuat tenaga untuk lelap di sofa ruang tengahnya, berkutat dengan satu pertanyaan yang tak sanggup ia lontarkan pada Tika.
Kalau sudah begini, kamu akan cerai dari Firman kan, Tik?
🍰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top