PROLOG

Kami adalah yang pertama

Yang datang sebelum manusia

Diciptakan dari tangan Sang Alpha

Kami membangun bukit dan gunung

Memahat pulau-pulau dari lahar dan deburan ombak

 

Abad dan masa berlalu….

Kami terlupakan

Kami tercampakkan dari langit tempat kami lahir

Terbuang ke Bumi

Terbuang ke tujuh semesta

 

 

Saat darah orang-orang benar tertumpah

di atas bumi ...

Dan darah satu orang benar

tertumpah di neraka

Siklus baru akan dimulai

 

Alam Semesta Versigi

Dusun Wilangan, Perbatasan Nganjuk-Saradan, Republik Indonesia Serikat, November 2011.

            Malam itu gelap, langit mendung dan tiada satupun cahaya lilin tampak menyala. Sosok rembulan pun tertutup oleh kelamnya awan mendung. Sesekali terdengar suara bergemuruh di langit, pertanda hujan mungkin turun sewaktu-waktu. Dari kegelapan malam yang semula sunyi, terdengar suara gemerisik daun-daun. Sesuatu sedang bergerak dalam hutan.

            Terdengar suara sekelompok orang berlari-lari dalam hutan jati dan beberapa saat kemudian terdengar sebuah ledakan dari dalam hutan. Para penduduk dusun Wilangan, sebuah dusun yang terletak di antara perbatasan Nganjuk-Kertosono terbangun dari tidur mereka. Listrik di desa itu memang sedang mati. Bukan hanya di desa itu semata melainkan di seluruh kota. Entah apa yang terjadi pada pembangkit listrik kota itu, tapi yang jelas seluruh kota saat ini diliputi kegelap-gulitaan.

            Beberapa orang pria keluar dari rumah, masih dalam balutan sarung untuk menangkal dinginnya udara malam. Mereka mengamat-amati kondisi hutan yang setengah terbakar itu. “Mas Jalu, tolong hubungi pos PKhK[1] Perhutani!” ujar seorang pria paruh baya yang tampaknya adalah kepala dukuh atau sesepuh desa kepada seorang pria muda yang membawa kentongan-petugas ronda.

            Pria muda itu langsung menyambar sebuah HT dan menghubungi pos polisi hutan, namun HT itu hanya mengeluarkan bunyi statik, tidak ada jawaban dari seberang. Berkali-kali pria muda bernama Jalu itu mencoba, namun tetap saja tidak bisa. “Pak Sadi, Pos PKhK tidak menjawab!” ujarnya pada pria paruh baya yang menyuruhnya tadi.

            “Ayo! Kita periksa hutan! Siapa tahu itu pembalak-pembalak liar yang mau curi kayu dari hutan!” perintah pria yang bernama Pak Sadi itu.

*****

            Helena Meer bergerak melompati satu puncak pohon jati ke puncak pohon jati lainnya. Beruntung baginya dan kawan-kawannya, pohon di sini usianya sudah lumayan tua sehingga bisa dijadikan pijakan. Ia dan kawan-kawannya tidak bisa terbang seperti targetnya yang bisa terbang lincah sampai ketinggian tertentu, mereka hanya bisa melayang di udara selama beberapa saat.

            “Helena! Tembak dia!” seorang pria berambut pirang yang dikuncir menyerukan perintah pada gadis berambut pirang itu.

            Helena merentangkan tangan kanannya ke samping, mengkonsentrasikan dirinya untuk memanggil senjatanya dan sedikit demi sedikit sebuah busur panah dengan huruf-huruf rune yang biasa ditemui pada prasasti-prasasti peradaban Norse terwujud di tangannya. Ia rentangkan busur panah itu ke arah targetnya, seorang pria bersayap perak di punggungnya yang dikawal oleh sejumlah prajurit dengan rupa hampir sama dengan pria itu, sama-sama bersayap perak namun mengenakan zirah berwarna serupa pula.

            Butir-butir air terbentuk di sekeliling tangan Helena yang menarik tali busur. Sebuah anak panah dari es padat segera terbentuk dan sesudah terbentuk sempurna, Helena melepaskan tali busurnya, membiarkan anak panah itu melesat ke arah targetnya. Panah itu meleset namun ketika panah itu membentur tanah, segera saja terbentuk badai angin yang membuat para makhluk bersayap itu oleng dan terjatuh ke tanah.

            “Semuanya! Serang!” seru pemuda berkuncir itu lagi dan Helena serta lima orang lainnya termasuk si pemuda berkuncir itu segera turun ke tanah. Di tangan mereka masing-masing sudah tergenggam senjata. Si pemuda berkuncir itu sendiri memegang dua gladius – pedang pendek Yunani – hitam dengan ujung gagang berhiaskan ukiran tengkorak.

            “Bunuh Ahu-Tarakh!” seru pemuda berkuncir itu lagi.

            Helena pun langsung meluncur ke arah targetnya yang bernama Ahu-Tarakh itu. Busur panah Helena bertemu dengan bilah pedang Ahu-Tarakh. Di sebelah Helena seorang pria berjanggut berwajah daerah Timur-Tengah tampak mencoba membantu Helena namun dihadang seorang prajurit berzirah perak yang mengawal Ahu-Tarakh.

            “Kau hebat bisa menjebakku di sana tadi Helena! Tapi tak kusangka kalian bakal senekat ini menyusulku ke semesta lain!” mulut pria berkumis kelabu itu tampak berkedut, giginya bergemeretak karena Helena mendesaknya kuat-kuat.

            “Tugasku melenyapkanmu!” gigi Helena juga turut bergemeletuk, “dan itu akan kulakukan hari ini.”

            “Masih dendam padaku soal orangtuamu?”

            “Selalu!”

            Ahu-Tarakh menendang kaki Helena hingga Helena sedikit kehilangan keseimbangan. Bersamaan dengan itu ia kemudian mengayunkan pedangnya ke arah leher Helena namun sebuah sabel – pedang lengkung – menghalangi niatnya itu.

            “Haris!” Helena menoleh ke arah pria Timur Tengah yang menolongnya itu.

            “Mundur!” seru Haris dan Helena langsung mengambil langkah mundur sementara sabel Haris dan pedang Ahu-Tarakh kini saling beradu dan berdencing. Helena tahu apa maksud Haris. Busurnya meski sulit untuk dirusakkan, sangat tidak efektif untuk pertarungan jarak dekat. Jika ia bisa menembakkan panah dari jarak jauh maka ia bisa melumpuhkan Ahu-Tarakh sementara Haris melayani pertarungan jarak dekat dengan musuhnya itu.

            Kala jaraknya sudah ia rasa mencukupi, Helena kembali menembakkan anak panah es ke arah musuhnya. Ahu Tarakh kini tak sempat menghindar karena gerakannya dikunci oleh Haris. Begitu anak panah es itu menghantam tubuhnya, sebuah selubung es menyelimuti dirinya dan membuatnya tak bisa bergerak.

            “Berhasil!” seru seorang pemuda berkacamata yang tengah menggenggam sepucuk pistol dan menembaki prajurit-prajurit berzirah perak itu.

            ”Habisi dia!” kembali si pemuda berkuncir itu memberi perintah.

            “Baik, Helmut!” ujar Helena sembari menarik kembali tali busurnya.

            Satu anak panah kembali Helena lepaskan, dan anak panah kali ini menimbulkan suara menderu-deru, angin bertiup makin kencang dan berkumpul di ujung anak panah yang meluncur itu. Tinggal beberapa senti lagi anak panah itu akan menembus jantung Ahu-Tarakh, namun belum sempat itu terlaksana, sekumpulan sosok hitam sudah muncul menangkis serangan Helena.

            “Apa-apaan?” mata Helena mendelik, terkejut, teman-temannya juga bereaksi serupa ketika melihat sekumpulan sosok-sosok hitam itu mewujud menjadi sosok-sosok manusia. Jumlah mereka sangat banyak. Ada sekitar 100 orang, itu belum ditambah kehadiran sosok prajurit-prajurit berzirah dan bersayap perak baru yang tiba-tiba muncul melindungi Ahu-Tarakh.

            “Semesta ini adalah wilayah kami, Kaum Ketiga,” kata seorang pria botak yang tampak maju ke depan, “Kalian tidak memiliki perwakilan di sini. Kalian tidak berhak ada di sini.”

            “Dan siapa yang memberi hak Ahu-Tarakh menyeberang kemari, Iblis Laknat?” bentak Haris.

            “Pelanggaran Ahu-Tarakh adalah urusan kami. Bukan urusan kalian. Lagipula kalian melakukan pertempuran sia-sia. Jumlah kalian sedikit. Dalam pertempuran terbuka kalian pasti kalah. Jika kami mau, kami bisa saja menghabisi kalian semua di sini, tapi kami memberi kalian kesempatan untuk pergi dari sini secepatnya.”

            Helena bisa melihat Ahu-Tarakh tersenyum penuh kemenangan saat melihat Helmut – si pria berkuncir – menoleh ke arah teman-temannya dan berkata, “Ayo kita kembali.”

            Meski kesal, Helena akhirnya menurunkan busur panahnya dan berjalan menjauh dari tempat itu. Ia sempat menoleh ke samping dan melihat arak-arakan obor tengah berjalan mendekat ke arah mereka berada.

            “Warga kampung berdatangan,” ujar Helena.

            “Haris!” ujar Helmut lagi.

            Pemuda berjanggut itu langsung mengangguk paham, di tangannya terbentuk sesuatu seperti kabut hitam dan kabut itu ia lemparkan ke arah kerumunan warga yang membawa obor itu. Sedetik kemudian obor mereka padam semua, sepuluh detik kemudian para warga itu jatuh tak sadarkan diri.

             “Aku akan buka gerbangnya,” Helmut maju sembari mengibaskan tangan kanannya, membuka sebuah gerbang dimensi yang tampak seperti cakram sinar biru-ungu berputar-putar pada porosnya yang berwarna hitam. Pemuda bernama Helmut itu bersiap memasuki gerbang itu dengan diikuti dengan keempat kawannya ketika Kaspar, si pemuda berkacamata, tampak diam saja.

            “Kenapa Kaspar?” tanya seorang gadis dengan potongan rambut cepak pada pemuda itu.

            “Aku merasakan sesuatu di tempat ini. Teman kita ada di sini ... setidaknya ada di pulau ini ... kalau kita mau mencarinya kita harus mencarinya di sini.”

                       


[1] Polisi Khusus Kehutanan : satuan polisi milik Perum Perhutani yang ditugaskan untuk menjaga hutan produksi dari tangan-tangan penebang liar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top