BAB VI : NIRVATAKA
Ada delapan religi besar yang berkembang di dunia Nandi. Mitraisme yang berkembang di Eropa berfokus pada penyembahan sesosok dewa cahaya bernama Mitra, Atenisme yang berkembang di Mesir dan Afrika Utara menyembah para Netjer – dewa-dewa penguasa padang pasir, Olorun yang berkembang di wilayah Afrika lainnya, Manichea yang berkembang wilayah Mesopotamia dan Jazirah Arab serta Asia Kecil, Helenistik yang menyembah dewa-dewi dari Olympus dan berkembang di Yunani dan Italia, Andean yang berkembang di Amerika Selatan, Hokan dan Klamath yang berkembang di Amerika Utara terutama di Konfederasi Amerika, Union Amerika, serta Kanada, dan yang terakhir adalah Paravandaah – yang menjadi religi mayoritas di anak benua India hingga Asia Tenggara.
Dua hari setelah menerima surat dari Santi, Nandi segera mengemasi barang-barangnya dan bersiap pergi dari rumahnya. Selain karena ia harus segera melapor pada Patriakh Sumarsono, ia juga sekarang merasa tidak enak tinggal berlama-lama di rumah yang ternyata bukan rumahnya ini. Ibu tirinya yang dirawat di RSJ juga histeris tiap kali melihat Nandi. Wanita itu bahkan berteriak-teriak dan bersumpah akan membunuh Nandi kalau ia bisa keluar dari tempat itu.
“Kamu benar-benar harus pergi sekarang Nandi?” tanya Sumitra ketika melihat Nandi mengepak pakaiannya.
“Iya, Kak. Tidak baik juga aku lama-lama di sini.”
“Jangan begitu. Ini kan rumahmu juga?”
“Ini bukan rumahku lagi,” kata Nandi sembari menyerahkan kunci rumah yang ia pegang pada Sumitra.
“Jangan pikirkan perkataan Mama. Mama tidak sadar dengan apa yang beliau katakan.”
“Tapi kata-kata beliau memang benar. Aku tidak bisa berterima kasih lebih banyak daripada ini, Kak. Sudah baik sekali beliau mau membesarkan aku dan bukan membuang aku ke jalan untuk jadi gelandangan. Rasa terima kasihku hanya bisa aku lakukan dengan mengembalikan benda ini pada beliau. Tapi karena beliau tidak ada di sini, aku mohon Kak Sumitra bisa menyerahkan ini pada beliau.”
Sumitra menerima kunci itu dengan enggan dan diam saja ketika Nandi menenteng kopernya keluar kamar. Sumitra mengikuti Nandi di belakang tanpa suara sampai Nandi membuka pagar dan akhirnya ia berkata, “Kalau kamu mau pulang, silakan hubungi aku atau Wima.”
Nandi menoleh dan melempar senyum lalu melambaikan tangan, “Sampaikan salamku untuk Wima kalau dia sudah pulang nanti.”
“Ya, hati-hati di jalan, Ndi.”
Alam Semesta Versigi
Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, Mei 2010.
Setelah menempuh lebih dari 24 jam perjalanan, Nandi akhirnya tiba di Terminal Pulogadung Jakarta. Setelah mengisi perut sejenak dengan semangkok bakso panas, Nandi naik bus lagi ke daerah Tanah Abang. Di sana ia turun tepat di sebuah kuil dengan dinding bercat dominan hijau muda dan bagian terasnya terletak agak tinggi. Pengunjung harus menaiki sejumlah anak tangga untuk mencapai terasnya. Nandi menaiki satu demi satu anak-anak tangga itu, lalu melepas sepatunya di teras. Suasananya sepi, tak ada satupun orang yang tampak. Pintu menuju tempat kediaman para Patriakh pun tampak terkunci dan tergembok.
Merasa bahwa semua penghuni kuil sedang pergi, Nandi pergi ke kamar mandi, membasuh tangan dan kakinya lalu berjalan masuk kuil dan bersimpuh di depan sebuah altar di mana sebuah patung wanita bertangan enam yang melambangkan Sang Penabur Benih terpajang. Kemudian Nandi mulai berdoa di hadapan patung itu.
“Wahai Penabur Benih Kehidupan Yang Agung, hamba di sini memohon petunjukmu atas jalan yang harus hamba tempuh setelah ini. Hamba telah durhaka pada ibu hamba. Meski hamba tahu bahwa ibu hamba itu bukanlah ibu kandung hamba namun hamba telah melakukan kedurhakaan yang tak termaafkan. Hamba gagal memenuhi kewajiban sebagai anak pada beliau. Hamba gagal membawa kesukariaan di hati beliau. Bahkan di saat ini, saat beliau menderita, hamba tak kuasa berbuat daya apapun selain memohon belas kasihan bagi beliau dari segenap dewata dan dari Engkau wahai Sang Ibu Kehidupan. Kehadiran hamba di tempat ini pun hamba lakukan hanya karena hamba terlalu takut menghadapi dunia yang keras. Hamba ini pengecut tapi izinkanlah hamba memohon petunjukmu. Sebab hamba ini hilang arah, tak mengerti ke mana kaki ini harus melangkah, tak mengerti ke mana kepala ini harus menoleh.”
Seorang Patriakh berusia lanjut yang baru saja selesai berdoa melihat Nandi yang sedang khusuk berdoa. Patriakh itu duduk di sebuah bangku panjang persis di belakang tempat Nandi berlutut. Dilihatnya baik-baik pemuda itu, tidak pernah dilihatnya pemuda itu sebelumnya dan di sini jarang sekali atau bahkan hampir tidak pernah ia lihat sosok pemuda atau pemudi yang berdoa di hari-hari biasa selain hari Sabtu dan Minggu.
Setelah Nandi selesai berdoa, Patriakh itu menghampiri Nandi dan menepuk pundaknya. Nandi yang terkejut langsung menoleh dan melihat Patriakh berusia lanjut dan berjanggut putih itu melempar seulas senyum padanya. Nandi pun membalas senyuman Sang Patriakh lalu dengan hormat mencium punggung tangan Sang Patriakh sembari berkata, “Terpujilah Sang Penabur Benih dan seluruh Dewan Agung[1] yang telah memberikan Abba[2] kesehatan serta saya ucapkan terima kasih atas kemurahan hati Abba memberikan penghiburan batiniah pada diri saya yang tak berharga ini.”
“Anakku, dari sikap doamu tadi, aku melihat ada sebuah beban berat menggantung di benakmu. Ceritakanlah segala permasalahanmu padaku dan mungkin aku bisa membantu,” kata Sang Patriakh dengan suara yang lemah lembut.
Nandi meragu untuk sesaat. Ragu untuk bercerita mengenai persoalannya kepada pria di hadapannya ini. Namun karena hatinya sudah perih menyimpan segala duka, Nandi pun memutuskan untuk menceritakan seluruh perjalanan hidupnya, mulai dari kematian ayahnya, penemuan fakta bahwa ia adalah anak haram antara ayahnya dengan seorang wanita yang ibu tirinya sebut sebagai pelacur, sampai dengan insiden diserangnya dirinya oleh ibu tirinya dan keputusannya untuk ikut ujian sebagai kadhara namun gagal kemudian direkomendasikan untuk hidup selama nirvataka selama tiga tahun.
“Ah jadi kamu nirvataka baru itu! Hmm masih muda rupanya. Baguslah! Ayo! Kuantar kau temui Sahere. Ayo!” Sang Patriakh menyuruh Nandi untuk berdiri dan mengajaknya masuk ke area taman kuil yang letaknya di samping kuil. Di sana ia melihat seorang pria yang tampaknya berasal dari kepulauan Sunda kecil[3] yang rambutnya sudah nyaris memutih seutuhnya tengah tidur pulas di bangku taman.
“Sahere,” Sang Patriakh itu menepuk-nepuk pipi pria yang tidur itu dan perlahan-lahan pria itu membuka matanya.
Begitu melihat sosok Sang Patriakh, pria itu langsung melonjak bangkit dan buru-buru bersujud minta maaf, “Maafkan saya Abba Sumarsono. Saya ketiduran lagi.”
“Ah tak apa. Kamu kan masih sakit. Ngomong-ngomong kamu dapat teman nih. Namanya Mahija Nandi. Ajarkan dia segala sesuatu soal kuil ini ya?
*****
Sejak saat itu Nandi mengabdikan diri sebagai Nirvataka di kuil tersebut, ia membantu nirvataka kuil sebelumnya yakni Sahere, seorang pria asal Pulau Timor yang mengabdi sebagai Nirvataka semenjak 9 tahun yang lalu. Sahere adalah seorang pria paruh baya berusia 50 tahunan. Ia sendiri sudah cukup tua ketika menjadi Nirvataka. Ketika itu ia sudah berusia 44 tahun ketika pertama kali mengabdi di sini. Ia mengatakan bahwa ia dulu mantan preman. Bekas tato memang terlihat di kaki dan tangannya. “Saya dulu keluar masuk penjara, memperkosa wanita, membunuh pedagang kaki lima yang tidak mau bayar setoran, kena tembak polisi tujuh kali, dan lain-lain. Boleh dikata saya ini sampah masyarakat. Tapi 10 tahun yang lalu saya kemari dalam kondisi luka parah akibat dibacok orang tak dikenal. Patriakh Sumarsono langsung membawa saya masuk dan merawat saya sampai sembuh. Waktu saya sudah sembuh saya diberi sedikit uang. Buat pulang kampung katanya. Tapi saya tolak. Saya berhutang budi pada Abba. Karena itu saya berniat abdikan diri saya di sini sampai saya mati nanti.”
“Tapi kata Abba, Nirvataka Sahere akan dipindah ke Surabaya?”
“Ah, Abba terlalu khawatir! Abba pikir saya sudah terlalu tua dan menyarankan saya pensiun. Biara yang bakal saya masuki di Surabaya itu rumah pensiun bagi semua rohaniwan Paravandaah di Pulau Jawa. Tidak, aku tidak mau pensiun. Kau kan bisa lihat Nandi, aku masih ku ... ,” baru saja Sahere henda mengayunkan bendo untuk memotong cabang pohon mangga, gerakan dan perkataannya terhenti.
“Kenapa Nirvataka?” Nandi menatap khawatir pada rekan kerjanya itu.
“Aduh! Encok sialan ini kambuh lagi!” Sahere kemudian berjalan tertatih ke sudut taman, “Nandi, tolong lanjutkan ya?”
“Iya, Nirvataka senior istirahat saja.”
Tahu bahwa dirinya pun bakal kerepotan untuk merawat kuil sebesar ini sendirian, Nandi pun membuat perjanjian bagi tugas dengan Sahere. Sahere tetap melakukan kegiatan membersihkan kuil tiap hari bersama Nandi, tapi kalau sudah urusan manjat-memanjat untuk memperbaiki lampu, membersihkan ukiran di tempat tinggi, itu bagian Nandi. Urusan memotong rumput dikerjakan berdua, kadang oleh Nandi sendiri meski Sahere berkoar bahwa dia masih kuat walau pada faktanya encoknya sering kambuh. Akhirnya Sahere ditugaskan oleh Matriakh Anna – rekan Sumarsono untuk memasak di dapur. Walau hasil masakannya menurut Nandi ‘cukup mengerikan’ – kadang rasa masakannya terasa hambar kalau tidak pahit karena Sahere lupa menambahkan bumbu – tapi Patriakh Sumarsono selalu menekankan pada setiap kadhara yang tinggal di sana tiap kali mereka protes soal rasa masakan Sahere : “Di satu tempat entah di belahan bumi yang mana, ada orang yang merasakan masakan yang rasanya lebih parah dari masakan Sahere. Kita pembimbing umat, pelayan umat. Kita harus merasakan yang namanya standar terendah dan terburuk yang mungkin dirasakan umat!”
Kebanyakan kadhara menurut Sumarsono memang agak manja, begitu kata Sumarsono pada Nandi suatu kali. “Harusnya kadhara yang tinggal untuk belajar pada Pandita senior itu harus mau melakukan pekerjaan kasar! Saya saja tiap hari beri makan anjing dan sapu halaman selagi kalian berdua mengepel kuil. Eh para kadhara itu malah sibuk berdoa saja. Doanya sengaja dipanjang-panjangkan pula supaya saat mereka selesai nanti kuil sudah lunas dibersihkan oleh kalian! Dasar!”
Sosok Sumarsono kadang tegas, kadang humoris, tapi kadang bisa tiba-tiba marah tanpa alasan yang jelas. Patriakh ini memang sulit dimengerti seperti kata-kata Kadhara Santi. Sumarsono sering terlihat keluar pukul 2 pagi di hari-hari tertentu dan baru kembali sore harinya. Tak ada yang tahu ke mana beliau pergi, tak terkecuali rekannya, Matriakh Anna. Pandita wanita itu hanya berkata bahwa Sumarsono pada dasarnya itu pertapa, bukan Patriakh yang ditempatkan untuk menjadi kepala kuil. Barangkali kepergiannya itu memang untuk menenangkan diri.
Alam Semesta Versigi
Tanah Abang, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, Agustus 2011.
Setahun sudah Nandi mengabdi menjadi Nirvataka di kuil ini. Tugasnya selain meditasi dan berdoa sebenarnya boleh dibilang lebih sebagai pekerja kasar daripada pelayan para pendeta. Pukul 4 pagi ia dan Sahere sudah harus bangun, membasahi kain pel lalu mulai menyapu dan mengepel pelataran dalam dan altar kuil dilanjutkan dengan pelataran luar kuil. Setiap dua bulan sekali ia harus melepas karpet merah yang membentang sepanjang jalan dari pintu masuk menuju altar. Itu berarti ia harus melepas lakban perekat yang merekatkan karpet itu dengan lantai satu per satu dilanjutkan dengan menggulung karpet dan kemudian merendamnya dengan air sabun, menyikatnya dengan sikat ijuk lalu membentangkannya di pelataran depan kuil sampai kering.
Untuk urusan peliharaan kuil, ia harus memberi makan 4 ekor anjing bastar yang dipelihara oleh Patriakh Sumarsono dan Matriakh Sara. Terkadang Nandi bisa saja menghabiskan waktu istirahat siangnya hanya untuk memberi makan dan bercanda dengan keempat anjing itu. Adapun untuk urusan perawatan tanaman dan kebun sayuran yang berada di belakang kuil diurus sendiri oleh Patriakh Sumarsono dan Matriakh Sara. Kedua pendeta itu tetap menjalankan kode etik mereka yakni tetap bekerja layaknya umat biasa, suatu hal yang sudah jarang ditemui Nandi pada Patriakh dan Matriakh di tempat lain.
Siang ini udara amat terik, Nandi dan Sahere baru saja selesai menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekeliling pekarangan kuil. Tepat pukul 12 kegiatan itu selesai sudah, Nandi dan Pak Sahere pun berteduh di pelataran depan kuil sambil sesekali mengibas-ngibaskan kaus mereka yang kuyup oleh peluh. “Panas sekali hari ini,” ujar Sahere mengomentari cuaca Jakarta yang memang panas sekali.
“Benar sekali, Pak Sahere,” komentar Nandi.
“Kuil ini sudah punya 10 pohon besar yang sudah tumbuh teduh, tapi tetap saja panas!”
“Sepertinya masih ada es batu di dapur, Pak. Mau saya buatkan es teh?”
“Wah asyik itu Nandi. Tolong buatkan deh!”
Nandi bangkit dari duduknya lalu menuju dapur dan mulai membuat dua gelas teh manis hangat, kemudian diambilnya 6 balok es batu dari kulkas dan dicelupkannya ke dalam dua gelas teh tadi masing-masing tiga balok lalu dibawanya ke depan untuk dinikmati bersama Sahere.
Di tengah-tengah mereka berdua minum teh, Sahere melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12.30, “Sudah saatnya istirahat siang Nandi, kamu mau ke perpustakaan?”
“Ya Pak. Saya permisi dahulu.”
Nandi pun pamit dan berjalan ke arah sebuah perpustakaan di dekat situ. Perpustakaan itu cukup besar dan lengkap, bukan perpustakaan milik pemerintah namun amat lengkap. Nandi mendorong pintu masuk yang terbuat dari kaca itu dan masuk ke dalamnya. Udara dingin dari AC yang terpasang dalam ruangan itu langsung menyegarkan tubuhnya yang kepanasan. Di sana seorang wanita yang tak lain penjaga perpustakaan itu langsung berdiri menyapanya, “Selamat datang Nirvataka Nandi, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya hendak mengembalikan buku, Mbak,” ujar Nandi seraya menyerahkan dua jilid novel yang dipinjamnya 2 hari yang lalu.
“Ada lagi yang mau dipinjam, Nirvataka?” tanya wanita itu ramah.
“Apa buku ‘Membangun Kembali Manusia Indonesia’ dan ‘Implementasi Ajaran Sakitabha dalam Kehidupan Berbangsa’ sudah kembali Mbak?” tanya Nandi sambil menengok kanan kiri melihat deretan buku-buku bertopik politik dan sastra.
“Buku ‘Membangun Kembali Manusia Indonesia’ ada di lantai 2 sementara yang satunya belum kembali . Apakah Nirvataka ingin saya mengambilkannya?”
“Biar saya ambil sendiri saja Mbak,” jawab Nandi sambil tersenyum.
Nandi menaiki tangga ke lantai dua. Di sana ia langsung menuju rak buku-buku keluaran terbaru. Diambilnya buku yang ia cari itu lalu dibukanya halaman buku itu satu per satu, memeriksa apakah ada halaman yang cacat ketika pandangan matanya menangkap sesuatu. Nandi menoleh ke kanan dan di sana dilihatnya seorang gadis ekspatriat yang kira-kira seusia dirinya sibuk menelusuri satu demi satu buku-buku di sebuah rak. Sampai akhirnya ia menemukan buku yang tampaknya ia cari namun letak buku itu tinggi sekali, di puncak rak yang tidak bisa ia jangkau. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, mencari kursi atau sesuatu yang bisa ia jadikan pijakan ketika Nandi mendekatinya dan menyapanya, “Good afternoon, may I help you?”
Gadis itu terkejut dengan kedatangan Nandi namun akhirnya membalas sapaan Nandi, “Oh Selamat Siang! Maaf? Apa anda bisa ambilkan buku itu untuk ‘ik[4]’?”
Gadis itu bisa bahasa Indonesia meski dicampuri frasa bahasa Belanda.
“Tentu saja!” jawab Nandi sambil tersenyum dan meletakkan sebuah kursi di bawah rak tersebut lalu langsung memanjat kursi itu hingga ia dapat menggapai buku-buku di tumpukan paling atas.
“Yang mana?” tanya Nandi pada gadis itu.
“Itu buku yang punya judul ‘Rubaiyat Ommar Khayyam,” jawab gadis itu cepat.
“Maaf?” Nandi sama sekali tidak melihat nama Ommar Khayyam di deretan itu.
“Ah maaf, maksud saya ... Rumi.”
“Silakan!” kata Nandi saat turun sembari menyerahkan buku itu. Dadanya bergemuruh melihat gadis ini. Baginya ia amat cantik dengan mata biru, kulitnya yang kemerahan, rambut pirang yang diikat ekor kuda serta kacamata bacanya yang berbingkai hitam elegan. Seperti bidadari berkulit Eropa yang jatuh dari surga. Indah dan menawan dan membuat Nandi ingin menjamahnya. Tapi segera ditepisnya pikiran itu.
“Apa yang aku pikirkan!” Nandi memarahi dirinya sendiri, sebagai nirvataka yang bersumpah hidup selibat dan menjauhi keduniawian ia tiba-tiba saja punya pikiran tidak pantas.
“Terima kasih banyak!” gadis itu berterima kasih dengan logat yang kaku sambil tersenyum ramah, senyumnya makin membuat detak jantung Nandi tidak karuan.
Nandi dan gadis itu berjalan beriringan menuju tangga dan ketika sampai di ujung tangga, ia persilakan gadis itu untuk turun terlebih dahulu sementara ia menyusul di belakangnya. Ketika gadis itu telah selesai tiba di kasir ia kembali melempar senyum pada Nandi yang membuat Nandi makin salah tingkah karena dari tadi sibuk memandangi gadis itu meski pada akhirnya ia juga balas melemparkan senyum.
Saat gadis itu sudah pergi, Nandi bertanya pada wanita penjaga perpustakaan, “Siapa dia?”
“Oh, dia mengaku bernama Helena Meer, siswa pertukaran dari Belanda yang belajar di sini. Ada apa Nirvataka? Kok sepertinya anda tertarik dengan dia? Apa anda mau mengakhiri masa-masa Nirvataka anda?”
“Tidak, cuma penasaran,” jawab Nandi tersipu lalu langsung kembali ke kuil.
Alam Semesta Versigi
Kota Tua, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, Agustus 2011.
Museum Kota Tua tampak lengang, lampu-lampu di wilayah itu tiada satupun yang menyala. Kabar yang beredar di perkampungan sekitar area itu, ini disebabkan karena travo listrik untuk area itu terbakar. Tapi tanpa mempedulikan kegelapan, sesosok pria muda botak dalam balutan jaket kulit hitam tebal berjalan di pelataran museum yang hanya diterangi cahaya rembulan. Dilihatnya kiri dan kanan dan didapatinya semua orang yang ada di sekitar museum ini tampak tertidur, ia dekati seorang satpam yang wajahnya tertempel di atas meja, diangkatnya kepala satpam itu dan betapa terkejutnya dia melihat satpam itu telah tewas. Mata satpam itu melotot dan dari dalam mulutnya keluar sekumpulan belatung disertai bau busuk yang menyengat.
Pria itu meletakkan kembali kepala satpam itu di atas meja kemudian mencabut sebuah revolver yang sedari tadi terselip sarung pistol di sabuk kanannya. Matanya menerawang tajam, mewaspadai setiap gerak-gerik yang ditangkap matanya sampai ketika sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyian, “Masukkan pistol itu, Bung! Kau membuatku takut.”
“Siapa kau? Tunjukkan dirimu!” hardik pria botak itu.
“Calya, Calya! Biasanya kau sangat humoris, tapi kenapa kali ini kau sangat beringas?” ledek seorang pria yang mengenakan mantel jas hitam dan topi berlogo sebuah merk pelumas - yang tiba-tiba muncul dari balik kegelapan.
Calya memasukkan kembali revolvernya ke sarung pistolnya dan berjalan mendekati orang misterius itu, “Kau membuatku kaget Agara! Ada apa gerangan sampai seorang malaikat datang kemari dan menemuiku?”
“Ada apa sebenarnya gerangan? Halloo? Menurutmu apa yang terjadi kalau aku sampai menemuimu Calya? Bahkan sampai menghabisi semua orang yang berada dalam radius 1 kilometer dari sini!”
“Perasaanku tidak enak. Ada yang tidak beres di sini,” Calya menoleh ke kanan dan ke kiri dengan resah.
“Tenang! Tidak ada garnisun malaikat surga dari tingkat berapapun di sini. Aku kemari bukan untuk bertengkar denganmu. Aku kemari karena ada kondisi gawat untuk kita semua,” ujar Agara menenangkan Calya.
“Apa yang terjadi, Agara?” Calya bertanya.
“Ahu-Tarakh tewas,” jawab Agara datar.
“Apa? Mustahil? Sejak kedatangannya ke semesta ini beberapa waktu yang lalu, dia kan memperketat penjagaan terhadap dirinya kan?”
“Iblis pasangannya, Loki, telah tumbang. Ahu-Tarakh sendirian, tapi yang paling membuat kami tak habis pikir adalah ... dalam pertempuran terakhirnya, Contra Mundi Sambala hanya seorang diri menghadapi Ahu-Tarakh.”
“Bagimana mungkin gadis kontet itu bisa menandingi Ahu-Tarakh?” Calya mulai gusar.
“Nyatanya ia bisa. Nah, sekarang masalahnya cuma satu.”
“Apa?”
“Kau masih ingat saat kau kuminta memancing seorang agen KOBRA bernama sandi Elang Hitam itu?”
“Ya. Aku dan anak buahku sampai harus menaruh banyak bukti dan membunuh banyak agen KOBRA untuk memancingnya keluar. Kenapa?”
Agara tersenyum, wajah pria Kaukasian berambut coklat itu mengulaskan senyum puas, “Itu artinya kita aman. Anak itulah yang ditakdirkan menjadi ‘pewaris’ Kaum Ketiga di semesta ini.”
“Ah syukurlah,” Calya menarik nafas lega, “Itu artinya para Contra Mundi akan terjebak di sini selamanya bukan?”
“Jangan terlalu cepat senang,” tiba-tiba terdengar suara seorang pria lain yang berjalan mendekati Agara dan Calya. Tidak seperti Agara dan Calya yang mengenakan pakaian serba tertutup, pria yang barusan datang ini tampak mengenakan kaus tanpa lengan bermotif garis-garis hitam-putih dan celana pendek. Di tangannya tergenggam sebuah es krim cone.
“Demiurge!” Agara tersentak melihat kedatangan pria yang wajahnya berhias janggut kasar itu.
“Kalau tidak ada ‘pewaris pertama’, para Contra Mundi bisa saja memakai ‘wahana’,” kata Demiurge sembari menjilat es krimnya.
“Apa maksudmu dengan ‘wahana’ ... wahai engkau Malaikat Kepanasan?” tanya Calya sembari menatap aneh pada penampilan Demiurge.
“Lucu sekali Calya. Rasanya aku setelah ini ingin makan puding otak iblis,” balas Demiurge.
“Demiurge. Soal ‘wahana’?” Agara mengingatkan.
“Ah ya, soal ‘wahana’. Baiklah, aku beritahu ya. Contra Mundi Kasha saat ini sebenarnya merupakan ‘wahana’. Contra Mundi Kasha yang asli meninggalkan tanggung jawabnya pada ‘Sang Wahana’. Tapi jangan pernah remehkan ‘wahana’. Meski mereka selalu lebih lemah daripada ‘pewaris pertama’, wahana bisa sangat merepotkan. Jika yang terlemah di antara Contra Mundi saja bisa mengalahkan Ahu-Tarakh, kalian bisa bayangkan kerepotan yang akan kalian alami ke depannya bukan?”
“Kita harus menghabisi wahana ini sebelum ia bertambah kuat dan ditemukan oleh para Contra Mundi!” ujar Calya.
“Usul yang bagus. Masalahnya adalah bagaimana menemukan mereka di antara milyaran penduduk dunia ini?” ujar Demiurge.
“Kita harus menyebar setiap malaikat dan iblis yang ada di bawah komando kita untuk mewaspadai setiap orang yang punya kemampuan mendekati kaum kita!” usul Agara.
“Bisakah kalian menemukannya dalam waktu sebulan saja?” tanya Demiurge.
“Ada apa dengan tenggat waktu sebulan ini, Demiurge?” tanya Calya.
“Dalam waktu tiga bulan, Arvanda akan dipanen. Itu artinya para Contra Mundi akan mempercepat pencarian mereka atas wahana ini. Jika untuk melacak ‘pewaris pertama’, mereka membutuhkan waktu dua minggu, maka mereka akan melacak ‘wahana’ mereka akan butuh waktu paling lama sebulan. Kalian harus berpacu dengan waktu untuk menemukan ‘wahana’ sebelum mereka.”
“Ada petunjuk soal wahana ini?” tanya Calya.
“Darah sang ayah kau tumpahkan, darah anaknya pun kau tumpahkan, dan sekali lagi darah sang anak pun akan ditumpahkan. Apa kata-kata itu memiliki arti bagimu?” ujar Demiurge.
“Biar kutebak,” kata Calya, “pasti Delphi yang meramalkan ini kan?”
“Contra Mundi memiliki Norn, kita memiliki Delphi. Kurasa posisi kita setara soal urusan punya peramal.”
“Kalimat Delphi selalu berbelit-belit,” sahut Agara.
“Tapi selalu punya makna.”
“Tidak. Aku tak dapat mengingatnya. Terlalu banyak yang aku bunuh. Dan apa pula artinya itu?”
“Aku pun tidak tahu, Calya. Barangkali kau harus menelusuri memorimu kembali. Yang pasti jangan sampai kau menyesali saat seorang manusia dari dunia ini memburumu sampai neraka sekalipun. Selamat tinggal,” dan Demiurge pun meninggalkan tempat itu, hilang bersama angin meninggalkan Calya bersama Agara.
“Aku juga harus pergi,” kata Agara sebelum terbang melesat ke langit. Tepat sesudah Agara pergi, listrik di daerah itu pun menyala kembali. Kali ini Calya sudah pergi meninggalkan tempat itu pula.
[1] Dewan Agung terdiri dari : Ibu Bumi, Ayah Hutan, Bapak Angkasa, Raja Laut dan beberapa sesembahan lainnya.
[2] Abba : panggilan untuk para Patriakh.
[3] Nama lain dari Nusa Tenggara
[4] Saya (bahasa Belanda)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top