BAB V : KOBRA
Alam Semesta Versigi, Surabaya, Mei 2010.
Catatan yang ditemukan Sumitra tadi adalah catatan nomor pin kartu ATM yang Sumitra dan Nandi cari-cari tapi selain itu ada ‘harta karun’ di mata Sumitra. Di notes itu tercantum diagram-diagram yang berhubungan dengan kasus kematian ayah mereka. “Ini luar biasa Nandi! Kalau kita sodorkan bukti ini ke LSM kita bisa tahu apa penyebab kematian ayah kita dan kita bisa menuntut keadilan!”
Nandi sendiri tidak bersemangat mendengar hal itu. Orang terakhir yang menuntut keadilan kasus ini tewas dengan kondisi mengenaskan tanpa rahang bawah dan tangan serta kaki termutilasi. Nandi sendiri tidak berniat mengusut kasus ini tapi ia juga tidak bisa menghalangi langkah Sumitra. Kakak keduanya ini adalah aktivis BEM kampus dan selalu getol ikut demonstrasi berbau politik serta hukum. Tapi Nandi merasa aktivitas demonstasi kakaknya ini tidak terlalu berbahaya karena setidaknya diawasi dan diketahui polisi, bukan main susup dan pegang senjata macam aksi Sanjaya, sehingga Nandi membiarkan saja Sumitra berbuat sesukanya.
Di sisi lain, Nandi dibuat penasaran oleh sebuah catatan di buku notes bersampul gambar ular kobra. Ada deret bait aneh seperti ini :
400 meter timur Tunjungan
Cari Kucing Kampung atau Kucing Liar
Ketok Lima Belas Kali
Ucapkan sandi : Raja Segala Ular
Selain instruksi tersebut, terdapat juga beberapa tulisan yang tidak Nandi pahami seperti deret angka dan huruf yang tak terbaca jelas meski Nandi sudah berusaha memahaminya dengan membolak-balik seluruh halamannya. Satu-satunya kalimat yang jelas terbaca hanyalah deret instruksi dan sebuah kalimat lain di akhir notes yang bertuliskan : properti milik KOBRA.
KOBRA, nama itu sempat Nandi lihat di mimpi-mimpinya menjelang kematian Sanjaya. KOBRA mungkin adalah nama sandi dari rekan Sanjaya dan notes ini mungkin penting baginya. Tapi Nandi belum memutuskan apa yang harus dia lakukan dengan notes itu sampai ketika malam itu ia tidur dan bermimpi tentang Sanjaya.
Dalam mimpi itu, Nandi menjadi Sanjaya, dan tengah menghadapi tiga sosok yang tidak jelas wajahnya. Seorang dari tiga sosok itu menyodorkan buku bersampul ular itu kepada Sanjaya dan berkata, “Tulis segala yang kau temukan di sini. Jika terjadi apa-apa dengan dirimu, pastikan orang kepercayaanmu mengembalikan buku ini kepada kami.”
Begitu bangun keesokan paginya dan melihat buku itu, Nandi langsung memutuskan akan mampir ke daerah Tunjungan untuk mengembalikan buku ini nanti.
*****
Sepulangnya dari RS, Nandi seperti renacananya semula, minta diturunkan oleh Sumitra di Tunjungan Plaza. Ia berdalih mau mengembalikan barang pinjaman pada temannya dan Sumitra percaya saja. Nandi sendiri sengaja tidak memberitahu Sumitra karena takut Sumitra akan bereaksi dengan berapi-api jika ada sesuatu yang menghebohkan tercatat di notes ini.
Nandi berjalan sejauh 400 meter ke arah timur dari Tunjungan Plaza. Di sana ia melihat sebuah kafe berlogo kucing yang tengah membawa nampan makanan. Ia memasuki kafe itu dan seorang pelayan wanita dengan ramah menyapanya, “Pesan apa Mas?”
Nandi kebingungan sesaat sebelum menjawab, “Errr ... di daerah sini ada tempat yang namanya Kucing Liar atau Kucing Kampung nggak?”
“Oh, Mas mau cari manajer kita. Silakan Mas, ke sini,” pelayan itu mempersilakan Nandi ke bagian belakang kafe dan di sana ternyata ada sebuah ruang kantor berpintu besi yang terutup rapat. “Ketok Mas,” ujar pelayan itu lagi
“Makasih Mbak,” ujar Nandi sebelum mulai mengetuk sebanyak 15 kali.
“Siapa?” ada suara terdengar dari balik pintu.
“Saya mau mengantarkan properti milik KOBRA, yang dipegang oleh Sanjaya.”
“Maaf? Tadi kau bilang siapa?” suara pria di balik pintu itu lagi.
“Teguh Harimurti Sanjaya.”
Suasana hening sesaat.
“Kata sandi?”
“Raja segala ular.”
“Mangsanya?”
Pertanyaan ini tidak dicantumkan di notes Sanjaya jadi Nandi hanya menjawabnya secara berlogika saja, “Tikus?”
Pintu besi itupun terbuka namun reaksi orang-orang di dalamnya sungguh di luar dugaan Nandi. Seorang pria berotot yang mengenakan kaus hitam ketat menarik tangannya lalu langsung membantingnya ke lantai dan mengunci gerakannya. Tak sampai sepuluh detik, Nandi merasa ada jarum suntik menancap di lehernya lalu ia kehilangan kesadaran.
******
Begitu bangun, Nandi mendapati dirinya terikat erat di sebuah kursi kayu di sebuah ruangan yang gelap. Sayup-sayup ia bisa mendengar suara pembicaraan seorang wanita dengan dua orang pria di ruang sebelah. Ia mendengar suara seorang pria berkata, “Dia penyusup. Dia tahu kata sandi milik Elang Hitam.”
“Elang Hitam?” gumam Nandi. Dalam mimpi-mimpinya yang lalu, tepatnya setengah tahun setelah kepergian Sanjaya dari rumah untuk masuk akademi bernama Lembaga Pendidikan Sandi dan Pertahanan Negara, nama Elang Hitam sering ia dengar dipakai oleh orang-orang di sekitar kakaknya untuk menyebut Sanjaya. Ah, Nandi paham sekarang. Orang-orang ini adalah rekan kerja kakaknya dan mereka mengira dirinya penyusup karena ia bisa tahu kata sandi milik Sanjaya.
Nandi mendengar suara pintu dibuka dengan kasar dan dari sana ia melihat sosok seorang wanita muda berpakaian jubah kuning muda dengan simbol matahari dan bulan purnama yang bertumpuk vertikal menghiasi bagian depan jubahnya. “Nandi?” ujar wanita itu.
Nandi mendongakkan kepalanya dan melihat bahwa wanita itu tak lain adalah Santi, seorang wanita yang pernah Nandi kenal sebagai pacar kakak sulungnya. Tapi Nandi cukup terkejut ketika melihat gadis berambut hitam pendek itu kini mengenakan seragam kadhara – calon pendeta.
“Kak Santi?” ujar Nandi terkejut.
“Demi Maina! Apa sih yang kalian pikirkan sampai mengikat dia seperti ini?” Santi mendelik ke arah si pria kekar dan temannya yang berpostur kurus pucat. Dua orang itu hanya tertunduk diam saat ditatapi Santi seperti itu.
“Kamu ke sini mau apa? Menapak tilas jejak Sanjaya?”
“Semacam itulah,” jawab Nandi sekenanya.
“Dia ini siapa Santi?” akhirnya si kekar itu buka suara.
“Oh, Wibowo. Kenalkan, dia Mahija Nandi, adik Sanjaya dan Nandi, kenalkan, ini Wibowo, teman kakakmu.”
“Dasar Sanjaya. Dia pasti cerita soal kita pada keluarganya!” gerutu Wibowo.
“Rasanya tidak,” ujar Santi sembari membuka ikatan tangan Nandi, “Aku kan pernah cerita bahwa antara Sanjaya dan Nandi punya hubungan emosi khusus. Sanjaya nyaris tak bisa menyimpan rahasia dari Nandi dan Nandi juga tak bisa bohong pada Sanjaya.”
“Kau mau bilang kalau mereka punya semacam jembatan pikiran, Santi? Mana ada hal seperti itu? Itu pseudoscience[1]!” ujar si pria kurus pucat.
“Percayalah! Dua orang ini punya hubungan unik,” kata Santi lagi, “Jadi apa yang membawamu kemari Nandi?”
Nandi menyodorkan buku notes berlambang ular kobra hitam itu pada Santi dan Santi pun membuka-buka halaman dalam notes itu sebelum menyalakan sebuah pemantik dan mendekatkannya pada satu halaman notes tersebut. Gadis itu kemudian menghela nafas panjang dan menyerahkan notes itu pada Wibowo.
“Hei Nak!” Wibowo tampak mendekati Nandi dengan posisi tangan terkepal, “Kau harus janji untuk tidak membocorkan keberadaan kami pada siapapun! Simpan rapat-rapat soal keberadaan kami atau kau menemui ajal! Dengar?”
Diancam oleh pria sebesar itu nyali Nandi ciut juga. Dengan terbata-bata ia menjawab ‘iya’ dan Wibowo pun tersenyum puas.
“Bowo! Jangan menakut-nakutinya!” bentak Santi.
“Dia orang sipil! Tidak bisa dipercaya. Siapa yang bakal jamin ia tidak cerita soal kita jika tidak diancam?”
“Aku jaminannya! Sekarang aku pinjam mobil satu. Aku mau antar dia pulang!”
*****
Santi membawa pemuda berjaket abu-abu itu ke sebuah mobil city car hitam yang terparkir di sudut kafe. Begitu masuk dan menyalakan mesin mobil Santi langsung berujar, “Maaf kalau mereka berlaku demikian. Kami memang harus hati-hati pada setiap orang yang tahu soal kami.”
“Uh-hum,” Nandi hanya mengangguk lemah. Dirinya masih ketakutan pasca diancam pria bernama Wibowo tadi. Nandi tidak suka bertengkar dan benci rasa sakit. Sanjaya benar. Dia cenderung lemah dan pengecut tapi Nandi punya jalan pikiran sendiri : kekerasan juga tidak menyelesaikan masalah.
“Kau pasti bertanya-tanya soal kami kan?”
“Kak Santi, aku sekarang nggak mau tanya apa-apa.”
“Tapi kamu nanti pasti penasaran. Dan kalau kamu tidak kuberi penjelasan sekarang pasti mimpi-mimpimu pelan-pelan cerita soal kita. Jadi biar aku jelaskan sambil jalan ya?”
Jawaban Nandi hanya sebuah anggukan.
“Kamu ingat soal Perdana Menteri Syahrir dan Hatta, Nandi?”
“Ya, tentu saja,” Siapapun yang tinggal di RIS pasti tahu soal dua sosok perdana menteri itu. Syahrir atau Sutan Syahrir adalah perdana menteri pertama dan Atar Hatta adalah perdana menteri ketiga. Dua-duanya berasal dari partai bernama Partindo – Partai Indonesia Raya – banyak orang beranggapan dua orang itu adalah perdana menteri terbaik yang pernah dimiliki RIS.
Santi melanjutkan pembicaraanya, “Tahun 1962, Hatta mengundurkan diri dari pos perdana menteri. Kemudian Djuanda naik ke posisi Perdana Menteri. Tapi baru berlangsung enam bulan, parlemen berulah. Mereka mengajukan mosi tidak percaya pada Djuanda. Kabinet Djuanda pun goncang sementara kas negara saat itu kritis pasca memadamkan pemberontakan revolusioner sehingga mustahil mengadakan pemilu. Kau tahu kan apa yang terjadi setelah itu?”
“Presiden Pertama mengambil alih pemerintahan, menunjuk dirinya sebagai perdana menteri, mengumumkan negara dalam kondisi darurat, lalu membubarkan semua partai,” sambung Nandi.
“Dan pada tahun 1965, Partai Komunis memberontak. Presiden Pertama diturunkan paksa oleh militer. Militer membentuk Partai Patriot yang sejak saat itu selalu memenangkan pemilu dari tahun 1970.”
“Apa hubungannya itu semua dengan KOBRA?” kini Nandi mulai penasaran.
“KOBRA adalah pasukan di bawah Kementrian Pertahanan yang dalam banyak hal setuju atas pendapat kaum oposisi di parlemen. Partai Patriot sudah terlalu lama berkuasa. Inovasi-inovasi mereka sudah mulai mandeg. Kader-kader mereka sudah terlalu banyak yang korup. Tapi yang menjadi urusan kami adalah tindakan mereka melenyapkan musuh-musuh politiknya.”
“Bukankah isu itu tidak terbukti?”
“Belum terbukti tepatnya. Dalam 40 tahun ini, 1200 aktivis parpol atau aktivis mahasiswa dilaporkan menghilang atau terbunuh. Beberapa penyidik kepolisian yang mengusut kasus ini melaporkan bahwa setiap kali mereka masuk lebih ke dalam, ada permintaan pemberhentian penyelidikan oleh militer atau kementrian dalam negeri atau lebih parah lagi para Deputi Perdana Menteri. Melihat hal itu, Kementrian Pertahanan membentuk KOBRA untuk membantu mengusut masalah ini sekaligus memberikan perlindungan bagi orang-orang yang terancam oleh pasukan gelap Partai Patriot.”
“Dan ... uh ... Kak Santi ... juga termasuk KOBRA?”
“Aku anggota KOBRA, tapi aku disusupkan ke dalam institusi Paravandaah.”
“Sebagai kadhara yang nantinya jadi matriakh[2]?”
“Tadinya aku hanya ingin jadi nirvataka[3] saja kok. Oh ya, Nandi, kalau kamu tanya kenapa aku memutuskan jadi begini itu semua gara-gara kakakmu tahu!” tiba-tiba Santi jadi emosional.
“Eh?”
“Kakakmu itu ya ... dua bulan sebelum masuk Lembaga Pendidikan Sandi dan Pertahanan Negara tiba-tiba memutuskan aku begitu saja. Waktu aku juga masuk ke akademi yang sama dan kami ketemu lagi di sana, sikapnya dingin. Waktu kami sudah lulus dari sana, dia menolak berhubungan denganku lagi. Alasannya : karena aku berhak dapat pria yang lebih baik! Apa-apaan kakakmu itu? Sudah begitu empat bulan yang lalu aku bilang supaya jangan ambil kasusnya Calya, tapi dia nekat, lalu dia mati! Dasar pria tak bertanggungjawab!!” Santi memukul setir mobil keras sekali sehingga Nandi takut kalau-kalau roda kemudi itu bakal lepas dari tempatnya.
“Nandi, kamu tahu nggak ... aku sudah pernah berhubungan dengan lelaki lain, tapi nggak ada dari mereka yang cocok denganku. Aku cinta kakakmu, makanya aku nggak bisa jatuh cinta pada lelaki lain. Karena itu aku ambil misi untuk masuk ke dalam institusi Paravandaah.”
Santi lalu terdiam, lama sekali. Nandi pun juga memilih bungkam. Kesunyian ini baru cair ketika Santi merogoh laci mobil yang letaknya di bawah AC dan menyerahkan pada Nandi sebuah amplop coklat dengan kop surat Institusi Paravandaah Indonesia.
“Ini hasil tesmu,” kata Santi.
Nandi pun membuka amplop itu dan menyalakan lampu langit-langit mobil. Di surat itu tertulis : “Setelah melihat dan mempertimbangkan hasil tes Saudara, kami selaku Dewan Pandita Paravandaah Indonesia dengan menyesal menyatakan bahwa Saudara belum layak untuk menjadi seorang kadhara dan berjalan di jalan pembimbing umat. Namun, melalui rekomendasi beberapa orang di antaranya Kadhara Uma Santi dari Biara Kalimas Surabaya dan Patriakh Harlal Wedi dari Kuil Sapta Dharma Surabaya, serta melihat latar belakang pendidikan Saudara, kami menawarkan pada Saudara untuk menjalani masa kehidupan sebagai nirvataka selama 3 tahun dan setelah 3 tahun tersebut, Saudara akan kami tes kembali untuk menentukan di ordo mana Saudara kira-kira dapat mengabdi.”
“Selamat mengabdi Nirvataka Nandi,” kata Santi sambil tersenyum.
“Kak Santi?” mata Nandi membelalak melihat nama Santi tercantum sebagai salah satu orang yang merekomendasikannya.
“Tak usah dipikirkan, anggap saja ini balas budiku karena dulu kamu bersedia simpan rahasia rapat-rapat soal tempat kencan kami dari jangkauan Wima dan Sumitra.”
“Eh? Ya ampun. Masa hanya gara-gara tindakan konyol macam itu sih?”
Santi tertawa dan Nandi pun sekarang ikut tertawa.
“Tapi aku ada permintaan lho, Nandi.”
“Apa?”
“Kamu lihat tempat penugasanmu di mana coba?”
Nandi membaca lembar kedua di balik surat itu dan menemukan tempat penugasannya adalah sebuah Kuil Paravandaah Kumara di Tanah Abang, Jakarta, dengan Patriakh Heru Sumarsono sebagai kepala kuilnya.
“Waspadalah terhadap Patriakh Sumarsono.”
“Eh? Kenapa?”
“Dia orangnya susah ditebak.”
[1] Sesuatu yang dipercayai sebagai sesuatu yang ilmiah meski belum bisa dibuktikan secara ilmiah.
[2] Pendeta wanita
[3] Biarawan / wati
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top