BAB IX: KANISTHARA

 Alam Semesta Valhalla, Februari 2012

            Helmut dan Helena mendatangi tiga Norn yang seperti biasa tengah berdiam diri di ruang tengah kastel. Begitu melihat kedatangan dua orang itu, para Norn segera berdiri dan menyampirkan kain selendang emas mereka ke pundak dan bersiap mendengarkan laporan dari keduanya.

            “Kami menemukan pewaris dari Versigi,” kata Helena.

            “Tapi menurutku dia tidak terlalu cocok disebut pewaris. Kekuatannya terlalu lemah, meski ia bisa menggunakan Rajata Kanistara tanpa kesulitan sama sekali,” Helmut menambahkan.

            “Jika sudah selama ini tapi kemunculan kekuatan di Versigi hanya seperti yang kau laporkan itu artinya kita punya masalah besar, Helmut,” kata seorang Norn.

            “Apa itu?”

            “Biarkan Alasdair yang menjelaskan,” kata seorang Norn lagi.

            Dan bocah lelaki bernama Alasdair itu pun keluar dari belakang kursi para Norn. Pakaiannya kali ini tampak lebih santai, kemeja putih bergaris biru dan celana pendek jeans. Tapi seperti biasa sorot matanya tetap tidak menggambarkan sorot mata anak-anak pada umumnya.

            “Pewaris dari Versigi seharusnya tidak memiliki kekuatan bumi. Pewaris dari Versigi seharusnya adalah Dyaus Pita, Bapak Angkasa, bukan bocah pengendali elemen bumi. Tapi jika yang kalian temukan saat ini bukan Dyaus Pita, maka kemungkinannya cuma satu.”

            “Apa itu Titik Nol?” tanya Helmut.

            “Pewaris dari Versigi sudah lama mati dan yang kalian temukan adalah wahana.”

            “Uh-um, tapi bukankah punya wahana di suatu dimensi lebih baik daripada tidak punya sama sekali?” sanggah Helena.

            “Kalau dia punya kemampuan seperti Kaspar, urusan kita akan jadi lebih mudah. Tapi kita sendiri tidak tahu seberapa jauh kemampuannya,” ujar Helmut.

            “Helena,” ketiga Norn memalingkan pandangan mereka pada Helena, “Kami melihat kau sempat menolong wahana ini kabur ke suatu tempat. Kau sempat membaca sedikit ingatannya. Biar kami lihat ingatan bocah itu.”

            Helena mendekat ke arah para Norn dan ketiga wanita bertopeng itu meletakkan jari telunjuk mereka di dahi Helena. Helena merasakan dahinya seperti ditembusi besi hangat selama beberapa detik namun sesudah itu sensasi itu hilang.

            “Kami sudah membaca tentang anak ini,” kata para Norn.

            “Apa yang kalian dapat, Norn?” tanya Alasdair.

            “Anak ini adalah Putra Bumi. Anak itu memiliki kemampuan seperti kami. Ia bisa mengintip masa depan. Tapi sayang ia menutup diri dan belum bisa mengontrol kekuatannya sepenuhnya.”

            “Melihat masa depan? Bagus sekali. Bagaimana kekuatan ofensifnya?” tanya Helmut.

            “Jika kalian memberikan sokongan penuh, maka ada kemungkinan ia masih bisa mengalahkan Za’in Versigi, Agara.”

            “Kami akan menemui dia tiga hari lagi,” kata Helena, “selama periode itu aku akan mengawasinya.”

            “Aku sudah minta tolong Haris untuk mengawasinya dalam tiga hari ini. Sementara itu Helena, tolong bantu Kaspar menyiapkan Haoma.”

            “Baik Helmut,” kata Helena sembari beranjak pergi.

            Helmut memalingkan wajahnya pada Alasdair, “Titik Nol, boleh aku bicara delapan mata saja dengan para Norn?”

            “Tentu, silakan,” Alasdair kemudian keluar dari tempat itu, meninggalkan Helmut berempat saja dengan para Norn.

            “Ada yang ingin kau tanyakan, Helmut?”

            “Aku pernah membaca di ‘Buku Para Pendahulu’ bahwa kaum ketiga yang mati bisa dihidupkan kembali.”

            “Cara itu memang ada. Tapi sebaiknya jangan kau lakukan. Harganya terlalu tinggi.”

            “Tapi pernahkah ada yang melakukannya?”

            “Pernah, tapi sekali lagi kami ingatkan kamu Helmut Redeemes, jangan pernah berpikir menggunakan cara itu!”

*****

Alam Semesta Versigi

Tanah Abang, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, Februari 2012.

            Dua hari sudah berlalu sejak peristiwa penyelamatan Nirvataka Sahere. Wanita yang merupakan kenalan Santi dan Patriakh Sumarsono itu setuju untuk menjaga Sahere. Ia juga yang mengeluarkan proyektik peluru dari betis Nandi dan memgobatinya. Setelah itu Nandi dijemput kembali oleh Patriakh Sumarsono dan selama dua hari ini mereka semua tidak membicarakan soal Sahere dan untungnya lagi tidak ada intel yang mendatangi mereka sehingga untuk sementara mereka bisa tenang.

            Saat ini Kuil saat ini sepi, baik Patriakh Sumarsono maupun Matriakh Anna sedang mengunjungi Sahere di rumah amannya. Para kadhara tengah mengunjungi umat sehingga praktis Nandi sendirian di kuil ini sekarang. Sama sekali tidak ada umat yang datang sehingga Nandi memutuskan untuk bermeditasi dalam ruang doa kuil. Ia ambil satu bantal bulat merah yang biasa dipakai umat sebagai alas duduk lalu duduk bersila di atasnya sambil memposisikan tangannya sedemikian rupa sehingga jari-jarinya saling bertaut. Kemudian ia memejamkan mata dan mulai menarik serta membuang nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tak sadar akan kehadiran seekor kucing hitam yang memasuki ruang doa dan merubah wujudnya menjadi sosok pria Turki dengan janggut tipis dan mengenakan pakaian berwarna coklat yang seluruh permukaannya kaya akan sulaman benang emas berbentuk bidang-bidang geometris seperti wajik dan belahketupat.

            Haris, nama pria itu, melangkah tanpa suara dan duduk bersila di sudut ruangan sembari menunggu Nandi selesai dengan meditasinya. Namun niatannya untuk hanya melihat dan mengamati terpaksa ia batalkan karena beberapa saat kemudian ada sejumlah pria berambut cepak namun berpakaian sipil mendatangi kuil itu. Mereka melangkah dengan hati-hati sehingga Nandi tidak mendengar kedatangan mereka.

            Begitu masuk ke dalam ruang doa, salah seorang dari mereka mengeluarkan sepucuk pistol dan mengarahkannya kepada Nandi. Melihat hal itu Haris pun menegur, “Hai! Mau tembak siapa kalian di sini?”

            Terkejut akan kehadiran orang lain, dua orang itu mengarahkan moncong senjata mereka pada Haris. Haris pun tak tinggal diam. Ia segera menarik sabel miliknya yang ia simpan di balik mantel bermotifnya, kemudian ia lemparkan senjata itu hingga mengenai seorang dari mereka. Nandi pun sekarang merasa terusik. Ia menyudahi meditasinya dan dibuat terkejut ketika ada dua orang berambut cepak yang hendak menyerangnya dan ada orang lain yang tampak seperti pria keturunan Timur Tengah tengah bergumul dengan seorang dari penyerang itu sementara seorang lainnya meronta karena perutnya tertembus sabel.

            Dengan gugup, Nandi bergegas lari keluar dari ruangan itu namun begitu ia sampai di teras kakinya dijegal oleh dua orang yang juga tampaknya merupakan prajurit ABRI. “Bangun!” satu orang dari mereka dengan kasar menjambak rambut Nandi dan menampar pipinya.

            “Nirvataka Nandi, anda ditahan atas tuduhan pembunuhan seorang anggota ABRI dan tuduhan terlibat dalam Gerakan Komunis Bawah Tanah!” seorang lainnya membacakan tuntutan.

            “Apa?” Nandi terkejut dengan tuntutan itu.

            “Ikut kami ke kantor untuk ditanyai!” kata orang yang menjambak rambut Nandi.

            Nandi tahu apa yang akan menantinya di sana. Penyiksaan fisik sampai ia mengaku sebagai antek komunis atau tewas di tangan mereka dan ujung-ujungnya tetap dilabeli antek komunis saat dimakamkan. Ia tidak mau dibawa. Ia ingin bebas. Ia harus lari.

            Di saat seperti ini Nandi teringat pada sundang pemberian pria misterius bernama Helmut itu. Senjata itu bisa kembali padanya bak bumerang setelah dilempar, Nandi berpikir apakah ia bisa memanggil senjata itu kemari?

            Karena dua pria itu makin kuat menyeretnya dan usaha Nandi bertahan dengan berpijak kuat-kuat pada paving terasa makin sia-sia maka Nandi sampai mengucapkan permohonan pemanggilan senjata itu berulang-ulang : Tolonglah sundang! Datanglah kemari!

            Seolah bisa mendengar permohonan Nandi, tiba-tiba saja terdengar suara gaduh dari bagian belakang kuil tempat Nandi menyimpan senjata itu. Suara gaduh itu seperti suara pintu yang terkoyak dan dilanjutkan dengan suara seperti anak panah yang dilepaskan dengan kecepatan tinggi. Seorang dari penangkap Nandi langsung memekik ketika sebuah sundang tiba-tiba menancap menembus dadanya.

            “Gus!” pria yang menjambak rambut Nandi dibuat terhenyak oleh tertusuknya rekannya.

            Nandi pun meronta dan dengan satu pukulan kuat di tulang hasta si penjambak, Nandi pun berhasil bebas.

            Senang sekali akhirnya kau memanggilku Tuan! Sebuah suara bergema di benak Nandi.

            Siapa?  Tanpa sadar Nandi menjawab suara itu dengan gumaman pula.

            Aku adalah senjata yang kau panggil. Namaku Kanisthara. Orang-orang ini menyakitimu Tuan? Kalau ya maka ayo kita habisi mereka! Sundang itu seperti punya nyawa sendiri. Ia mencabut dirinya sendiri dari dada korbannya dan meninggalkan si korban dalam kondisi pendarahan parah. Rekannya terpana sejenak ketika melihat sundang itu mendarat lembut di tangan kanan Nandi.

            “Sihir! Kau pasti menggunakan sihir!” serunya panik seraya mengeluarkan sebilah belati tikam dari balik bajunya.

            Kenapa Tuan? Kenapa kau ragu untuk menyerang? TanyaKanisthara

            Dia juga manusia. Dia bukan makhluk ganjil seperti yang menyerangku tempo hari. Jawab Nandi.

            Ah, jadi kau ragu menyerang karena dia manusia Tuan? Sekarang dengarkan perkataanku Tuan. Orang ini akan menyiksa Tuan jika Tuan sampai tertangkap dan akan membunuh Tuan jika Tuan tetap diam seperti ini.

            Tapi dia manusia!

            Manusia yang membunuh sesamanya bukan manusia. Dan Tuan, anda bukan lagi manusia. Sejak anda memegang saya, sejak anda menenggelamkan orang-orang itu ke dalam tanah, sejak anda membunuh iblis yang Tuan sebut makhluk ganjil itu, anda bukan lagi manusia. Anda adalah kaum ketiga.

            Kaum ... apa?!

            Kaum ketiga. Sudahlah. Itu tidak penting. Sekarang dia sudah berniat menyerang!

            Nandi kaget ketika pria itu tiba-tiba sudah menerjang ke arahnya. Nandi tak sempat menghindar. Satu-satunya cara supaya ia selamat dari sabetan pisau adalah dengan mengayunkan sundang di tangannya ini tapi ia masih saja ragu.

            Tapi penyerangnya ini tiba-tiba saja terkapar di tanah dengan sebuah pisau menancap di kepalanya. Nandi menoleh ke arah teras kuil dan mendapati pria Turki tadi berdiri di puncak tangga dengan satu set pisau lempar tergenggam di tangan kirinya sementara tangan kanannya membentuk posisi seperti habis melempar pisau.

            “Harusnya kau jangan ragu, Mahija Nandi. Orang ini tak akan segan membunuhmu. Andaikan ia segan, sudah pasti teman-temannya yang lain akan berdatangan.”

            “Siapa anda?”

            “Aku teman.”

            “Teman?”

            “Lebih tepatnya penagih hutang untuk pria Kaukasian yang memberimu Kanisthara itu.”

            “Ah,” Nandi tiba-tiba teringat pada pria berambut kuncir yang berteman dengan Helena itu.

            “Dia minta kau membayar hutangnya besok, tapi mengingat kondisinya sangat tidak memungkinkan, aku harus membawamu sekarang.”

            “Tunggu! Aku masih punya tugas!”

            “Lupakan tugasmu!” Haris kemudian menyentuh dahi Nandi dengan tiga jari tangan kanannya, “Tidurlah!”

            Nandi merasa diserang rasa kantuk yangluar biasa. Ia berusaha terjaga dan tetap berdiri namun dengan segera ia merasa oleng, tubuhnya terhuyung saat mencoba melangkah maju, genggamannya pada Kanisthara melemah dan tak berapa lama kemudian ia ambruk tak sadarkan diri.

            Melihat targetnya sudah kehilangan kesadaran, Haris segera membopong tubuh Nandi beserta senjatanya lalu melemparkan kristal benggala yang ia simpan di saku jubah bermotifnya kemudian masuk ke dalam portal yang dibuat kristal itu.

*****

            Nandi merasakan sensasi seakan jiwanya ditarik paksa dari tubuhnya dan masuklah ia ke sebuah tempat penuh cahaya. Dilihatnya Wima dan Sumitra, kedua saudaranya, sedang duduk santai di sebuah taman dan berbincang. Tapi… sesaat kemudian datanglah seorang pria botak berpakaian hitam-hitam mendatangi kedua saudaranya dan… menembak mereka berdua tepat di kepala. Jasad mereka berdua ambruk tak bernyawa  sementara darah dan otak mereka berhamburan mengotori sebuah batang pohon dan rerumputan di bawahnya..

            “Tidak! Tidak! Ini… tidak mungkin!” pekik Nandi yang berlari ke arah kedua saudaranya itu. Namun langkahnya terhenti oleh seringai licik sang pembunuh. Wajah itu… wajah yang ia kenali bertahun-tahun yang lalu. Wajah pria yang menabrak ayahnya di Kebun Binatang Ragunan. Wajah itu… memancarkan aura membunuh dan kekejian yang luar biasa sekaligus ekspresi gembira dan menikmati pembunuhan serta darah yang mengucur. Nandi terpaku dalam ketakutan yang menjalari seluruh tubuhnya dan…

            Nandi terbangun, tapi ia langsung dibuat bingung dengan arsitektur ruangan tempatnya berada saat ini. Ruangan ini bukan bagian dari kuilnya. Susunan batu-batu kelabu seragam menyusun lantai dan dinding dengan presisi yang tidak main-main, jelas bukan bangunan yang pernah Nandi masuki dan kenali. Apalagi Nandi tinggali.

            “Selamat pagi, sudah bangun ya?” tiba-tiba seorang gadis masuk ke dalam kamar itu dengan membawa satu setel pakaian.

            Nandi dibuat terkejut dengan kehadiran gadis itu. Gadis itu ia kenali sebagai Helena Meer dan ia dibuat terkejut atas dua hal. Satu : gadis itu bicara bahasa Indonesia dengan lancar tanpa logat bulenya lagi, dua : gadis itu membawa serta busur panah berwarna putih yang Nandi bersumpah mengeluarkan gumaman-gumaman mirip senandung.

            “Ini ... di mana?” tanya Nandi.

            “Valhalla.”

            “Maaf?”

            “Pernah dengar tentang legenda orang Viking, Nirvataka? Tentang para prajurit yang mati di medan perang yang akan dijemput oleh para Valkyrie dan ditampung di Valhalla?”

            Nandi pernah dengar soal legenda orang Viking ini, tapi ia sama sekali tidak bisa mempercayai tempat ini ada. Lalu sebuah pikiran lain tiba-tiba menyeruak di benaknya, “Tunggu! Jadi aku sudah mati?”

            “Tidak,” gadis itu tersenyum lebar, “Kamu belum mati kok, Nirvataka. Kamu yah ... bagaimana aku mengatakannya ya? Hanya sekedar ... berubah dan harus bayar hutang.”

            Kata ‘hutang’ membuatnya teringat pada sosok Helmut yang menolongnya tempo hari, “Kau kenal dengan Helmut ya, Nona?”

            “Oh, Helmut adalah bossku. Ia sudah menunggumu sedari tadi. Ini, ganti pakaianmu, jubah kain kasar seperti itu tidak akan terlalu nyaman dipakai di sini,” Helena menyodorkan satu setel pakaian berupa celana jeans biru, kaus hitam yang dipadu dengan kemeja flanel biru bermotif kotak-kotak.

            Pasca mengganti jubah coklat tuanya dengan pakaian yang dibawa Helena, Nandi keluar dari kamarnya dan diajak Helena melalui lorong-lorong kastel yang seluruhnya tersusun dari batu – dari dinding, langit-langit, sampai lantainya. Nandi sebenarnya ingin bertanya tentang banyak hal namun Helena berkata bahwa semua pertanyaannya akan terjawab nanti.

            Setelah berjalan selama setidaknya lima menit, Helena dan Nandi memasuki ruangan tempat para Norn berada. Ketiga wanita bertopeng putih itu langsung bangkit begitu Nandi memasuki ruangan dan berkata, “Selamat datang wahai Putra Bumi.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top