BAB III : KEGAGALAN

Alam Semesta Versigi

TPU Pucang Anom, Surabaya, April 2010.


            Suasana di pemakaman itu sepi dan sunyi dari taman batu nisan dan kijing itu hanya terdengar suara kaok burung dan ributnya suara tonggeret. Di tengah-tengah areal pemakaman itu seorang remaja bersergam putih abu-abu dan seorang pemuda berpakaian celana jeans dan kemeja biru tampak menghadap satu pusara.

            Sayup-sayup terdengar suara si remaja memulai pembicaraan, "Kak, aku mau tanya sesuatu, boleh?"

            "Tanya apa, Nandi?" tanya si pemuda yang tak lain adalah Sanjaya itu.

            "Kita berdua ini dianugerahi kemampuan khusus. Kita berdua tahu itu sejak kita masih kecil. Kita sering terhubung dalam mimpi. Kak Sanjaya bisa melihat mimpi dan kekhawatiranku dan aku bisa melihat mimpi serta kekhawatiran Kakak."

            "Lalu?"

            "Aku ingin tahu ... apa pekerjaan Kakak juga melibatkan aksi ... membunuh orang?"

            "Benar," jawab Sanjaya ringan.

            Nandi berjalan mendekati kakaknya lalu kembali bertanya, "Kak kenapa? Di depan Mama kau bilang kau jadi staf kementrian sekarang."

            "Aku memang staf kementrian. Tapi tidak resmi dan pekerjaanku kotor. Tapi dari pekerjaan ini aku bisa biayai pembelian rumah kita, bisa memasukkan Sumitra ke universitas, bisa membayar biaya rumah sakit Wima saat dia kecelakaan ditabrak mobil dahulu. Kalau tidak begini, memangnya Mama bisa bahagia? Aku tahu kamu mungkin tidak setuju dengan yang namanya pembunuhan dan kekerasan. Kamu orang yang suka spriritual. Orang yang selalu taat pada tiap azaz. Tapi dunia ini tidak bekerja dengan cara seperti itu. Kuharap kamu bisa mengerti."

            "Apa kepulangan Kakak kemari karena berhubungan dengan tugas juga?"

            "Aku tidak bisa bohong padamu kan? Kamu bisa masuk ke kepalaku setiap kali kamu tidur. Jadi, jawabanku iya."

            "Dan targetmu ini ada hubungannya dengan kematian Papa kan?"

            "Ya."

            "Bisakah Kak Sanjaya membatalkan tugas kali ini? Aku merasa terlalu berbahaya rasanya jika Kak Sanjaya tetap melaksanakan tugas kali ini."

            "Kenapa?"

            "Tadi malam aku melihat kematianmu. Engkau mati bersimbah darah di sebuah bangunan tua, Kak."

            Wajah Sanjaya tampak mengeras selama beberapa saat tapi dengan segera ia bisa mengendalikan emosinya, "Tapi aku harus melakukan ini Nandi."

            "Untuk apa?"

            "Menuntut keadilan. Para pembesar bilang negara ini negara hukum, tapi sebenarnya negara ini adalah taman bermain bagi para penjahat. Kita adalah permainannya, hukum adalah mesinnya dan bajingan-bajingan itu adalah pemainnya. Aku dan teman-temanku ada di sini untuk menjadi pemain sekaligus membalikkan kondisi permainan mereka sebanyak mungkin yang aku bisa. Dan soal Papa, waktu itu semua orang bilang Papa meninggal akibat serangan jantung. Tapi itu bohong. Aku sempat menghubungi Dokter Aryo, rekan Papa, untuk menanyakan hal itu. Papa meninggal diracun bukan karena serangan jantung!"

            "Tapi ....," Nandi mencoba menyergah namun kembali dipotong oleh kakaknya.

            "Tentu saja fakta itu tidak pernah sampai dan disampaikan di pengadilan. Karena jaksa dan hakim-hakim itu sudah dikenyangkan oleh tumpukan kertas warna-warni bernama uang! Mereka tak perlu lagi menelan yang namanya kebenaran sebab perut mereka sudah dikenyangkan oleh kotoran-kotoran para bajingan itu! Dokter Aryo sendiri... kau sudah tahu ceritanya. Dia juga harus pilih-pilih lawan kalau tidak ingin kehilangan nyawanya dan nyawa keluarganya."

            Dua orang itu kemudian terdiam, melarung pemikiran mereka dalam kepala masing-masing sampai kemudian Nandi memecah suasana hening itu, "Siapa nama pria yang kau incar kali ini Kak?"

            "Haruskah kau tahu namanya?"

            Nandi hanya menatap lekat-lekat kakaknya itu.

            "Oh baiklah. Mereka menyebutnya Calya, si siluman malam."

            "Calya?" Nandi terperanjat, "Jangan bilang kau mau menantang Calya, Kak!" dalam mimpi-mimpinya yang lalu tentang pertarungan antara ketiga kubu ia mendengar nama Calya diteriakkan kubu makhluk-makhluk mirip iblis itu. Nandi bergidik membayangkan jika Calya yang akan ditantang kakaknya ini akan sama berbahayanya dengan Calya dalam mimpinya.

            "Memangnya kenapa?"

            "Kau bisa mati, Kak!"

            "Ha! Aku tidak akan mati semudah itu! Dan ingat, mimpi kita tidak selalu tepat!"

            "Jangan terlalu sombong dengan kemampuanmu itu!"

            "Berhentilah menjadi penakut dan pengecut Nandi!" bentak Sanjaya.

            Nandi sampai terkejut oleh bentakan kakaknya itu. Ia mundur beberapa langkah ke belakang dan Sanjaya yang tersadar bahwa ia kelepasan langsung buru-buru minta maaf, " Maaf Nandi. Kau mungkin tidak ingin aku pergi. Tapi aku harus. Tugas ini tidak bisa dibatalkan. Kalau ada apa-apa denganku, aku sudah menyerahkan sejumlah tabungan pada Mama. Kalau ada apa-apa denganku maka kalian bisa menghidupi diri dengan itu."

            "Tapi ...," Nandi tampak terisak saat kembali membayangkan betapa sedihnya ibunya nanti.

            "Tolong Nandi. Kalau Calya tidak dihentikan maka ia akan terus menjadikan anak-anak seperti kita kaum yatim atau lebih parah lagi yatim-piatu. Calya adalah alat sejumlah politikus negeri ini untuk menutupi kejahatan mereka. Setidak-tidaknya jika ia dilumpuhkan maka tidak akan ada lagi anak-anak yang senasib dengan kita."

            "Baiklah," Nandi yang sadar bahwa ia tak mungkin merubah keputusan kakaknya akhirnya berbalik dan berjalan menjauh dari pusara ayah mereka, "Aku berdoa semoga Kak Sanjaya selamat."

            "Nandi?" panggil Sanjaya sembari masih menatap pusara ayah mereka.

            "Ya?"

            "Berjanjilah satu hal!"

            "Apa?"

            "Kamu tidak akan membiarkan Sumitra, Wima, atau Mama tahu akan hal ini!"

            "Pasti, dan berjanjilah satu hal pula Kak!"

            "Ya?"

            "Kembalilah hidup-hidup."

            "Oke."

            "Walau aku meragukan hal itu akan terjadi," gumam Nandi sembari berjalan keluar dari area pemakaman itu.



Alam Semesta Versigi

Jl. Urip Sumoharjo, Surabaya, 12 April 2010.

            "Calya?" seru Sanjaya pada seorang pria botak berkacamata di sebuah sudut gudang mebel yang sudah tidak terpakai lagi.

            "Hmm, oh? Rupanya KOBRA sudah hilang kesabaran sampai mengirim Si Elang Hitam ya?" jawab pria itu sembari tersenyum licik.

            Pria itu beranjak dari tempatnya semula berdiri, menyingkapkan sebuah pemandangan mengerikan yang berada di balik tubuhnya selama ini. Sesosok mayat pria tersandar di sebuah tiang bangunan dengan tubuh yang berlumuran darah, kedua bola matanya telah hancur ditusuk pisau sementara ada setidaknya empat luka tikaman di tubuhnya, membuat seluruh kemejanya yang semula berwarna biru kini berubah menjadi ungu karena darah yang mewarnainya.

            "Korban baru lagi Calya?" timpal Sanjaya

            "Yaahh, Brigadir  Polisi ini tidak mau dengar apa kata tuanku dan beginilah jadinya."

            "Tuan? Berapa banyak uang yang tuanmu berikan padamu?"

            "Tidak, ia tidak membayarku dengan uang," jawab Calya santai, diambilnya sebatang rokok dari dalam saku jaketnya kemudian diambilnya sebuah pemantik dari saku kiri celananya. Ia nyalakan puntung rokok tersebut, dihirupnya dalam-dalam kemudian dihembuskannya secara perlahan. "Aku tidak perlu uang."

            Sanjaya berjalan perlahan mendekat ke arah Calya, kemudian berputar mengelilingi Calya dengan jarak kurang lebih 15 langkah dan mulai berbicara, "Bisa kau katakan padaku siapa tuanmu itu? Apakah dia juga yang membunuh dokter Mursito 16 tahun yang lalu?"

            Calya menyeringai, dihembuskannya asap rokok yang ada dalam hidungnya kuat-kuat kemudian menjawab pertanyaan Sanjaya, "Aku tak bisa mengatakan namanya sebab aku sudah terikat perjanjian dengannya. Mengenai pertanyaan keduamu aku akan bilang 'ya'!"

            "Katakan padaku namanya sekarang dan kau akan terus hidup," kata Sanjaya sembari menodongkan sepucuk revolver P3[1] ke dahi Calya.

            Calya tertawa, "Aku akan terus hidup Elang Hitam, tapi yang aku takutkan adalah dirimu. Kau tidak akan bisa melihat matahari terbit dan terbenam lagi," jawab Calya santai sambil menjatuhkan puntung rokoknya dan menginjaknya sampai gepeng.

            Sejurus kemudian, Calya telah menerjang dan memukul telak pergelangan tangan Sanjaya, membuat revolver yang ia pegang tadi jatuh ke lantai dan melepaskan sebuah tembakan yang mengenai tembok beton. Calya segera menendang kaki kiri Sanjaya tetapi Sanjaya dengan gesit menghindar. Tak berapa lama Calya mengeluarkan dua bilah belati kecil yang segera ia lemparkan ke arah Sanjaya. Sanjaya dapat menghindari satu belati sementara satu belati lainnya menyerempet pipinya, menimbulkan sebuah luka sayat yang kini menghiasi wajahnya.

            Sanjaya balas melancarkan pukulan, tetapi ditangkis oleh Calya. Kedua pembunuh bayaran itu terlibat aksi saling pukul, saling tendang, dan saling tangkis. Kemampuan bertarung mereka sama baiknya, berkali-kali Calya tampak kewalahan menangkis serangan tangan kosong Sanjaya yang bertubi-tubi.

            "Ha, reputasimu memang bukan omong kosong Elang Hitam!" seru Calya kembali melancarkan serangan. Kali ini ia melancarkan sebuah pukulan telak ke arah dada Sanjaya. Sanjaya menangkis pukulan Calya, kali ini ia keluarkan sebuah pisau dari balik jaketnya dan dilemparkannya ke arah Calya dan ... meleset. Calya bersalto, menghindar dengan gesit namun sejurus kemudian menarik sepucuk revolver dari balik jaketnya lalu mulai menembaki Sanjaya.

            Sanjaya berlindung dari tembakan Calya di balik sebuah tiang beton. Ia menarik sebuah revolver lagi dari kaus kaki kirinya dan kemudian mulai balas menembak. Setelah sekian tembakan, Sanjaya melakukan gerakan roll menyamping, mengambil revolvernya yang tadi jatuh dan kemudian mulai menembaki Calya. Sanjaya berani bersumpah bahwa ada pelurunya yang mengenai Calya atau setidaknya menyerempet tubuhnya namun tak terdengar jua suara erangan apapun dari mulut Calya.

            "Apakah ia memakai pakaian anti peluru? Ataukah dia memang tahan terhadap berbagai macam derita?" gumam Sanjaya. Tapi sejurus kemudian sebuah benda mendarat di sampingya, sebuah silinder logam yang tampaknya dilempar oleh Calya. Ia segera berlari menghindari benda itu, sebab ia tahu bahwa benda itu adalah ... "GRANAT!!"

            Tak berapa lama setelah silinder itu mendarat, timbullah ledakan yang amat dahsyat, ledakan itu meruntuhkan sebuah tiang beton dan beberapa bagian atap seperti kuda-kuda dan seng. Sebuah bongkahan besar tiang beton itu mendarat tepat di atas Sanjaya. Sanjaya berusaha menghindar tetapi terlambat, bongkahan material itu mendarat, menimpa kakinya dan menjepitnya.

            "Arrghhh! Sial!" erang Sanjaya setelah menyadari bahwa kakinya terjepit di antara reruntuhan. Saat itulah Calya mendekat ke arahnya, menodongkan revolver ke arahnya, siap meledakkan kepalanya kapan saja.

            Di luar dugaan, alih-alih menembaknya, Calya malah meletakkan revolvernya ke lantai "Sanjaya, kuberi kau tiga kali kesempatan untuk membunuhku," kata Calya santai sembari menendang revolver itu hingga membentur sikut kanan Sanjaya.

            "Apa maksudmu?" tanya Sanjaya tidak mengerti.

            "Seperti yang sudah kukatakan."

            "Kau ingin mati Calya?"

            "Aku ragu kau bisa membunuhku karena itu aku mempersilakan kau mencoba, Elang Hitam!"

            Sanjaya meraih revolver tadi kemudian menembakkan sebuah peluru ke arah jantung Calya, DOR! Sejenak kemudian ia lihat Calya masih berdiri tegak, bergeming di tempatnya.

            "Ayo! Masa cuma segitu?" ejek Calya.

            Sekali lagi Sanjaya mengarahkan revolvernya, kali ini ke arah kepala Calya. Sejenak kemudian ditembakkannya dua peluru sekaligus ke arah kepala Calya. Satu peluru menembus mata kanan Calya sementara peluru lainnya menembus dahinya, Yeah! Dia pasti mati! gumam Sanjaya.

            Tapi sejurus kemudian mata Calya kembali utuh, lubang peluru di dahinya juga hilang tak berbekas sama sekali. Sanjaya terbelalak melihat pemandangan di depannya itu, "Kau ... kau ... itu apa?"

            "Inilah yang menyebabkan tidak ada satupun yang berhasil membunuhku. Hehehehe ... kau bukanlah yang pertama Sanjaya. Kau bukanlah yang pertama mencoba, dan kau akan menjadi seperti yang lainnya."

            Sanjaya tak mampu menjawab kata-kata Calya, rasa takut mulai merasuki pikirannya.

            "Kau akan mengalami hal yang lebih buruk daripada kematian!" ujar Calya.

            Calya mengibaskan tangannya dan dalam sekejap saja seluruh reruntuhan yang menimpa Sanjaya beterbangan dan membentur tembok gudang bagian barat. Sanjaya tak menyia-nyiakan kesempatan itu, segera saja ia berdiri dan langsung menghunus belati tikam yang terselip di bagian belakang sabuknya. Calya bergerak menghindar namun Sanjaya dengan cepat menikam Calya di tenggorokannya. Kali ini hasilnya sama saja, Calya dengan tenang mencabut belati tikam itu dari tenggorokannya, membuangnya ke lantai lalu berkacak pinggang di hadapan Sanjaya yang melongo melihat pemandangan yang tidak lazim itu. Dirinya kini semakin diselimuti rasa takut, rasa takut akan sosok di hadapannya yang jelas-jelas menunjukkan kemampuan yang melampaui manusia.

            "Kau heran Elang Hitam?" tegur Calya pada Sanjaya yang diam tertegun.

            Sanjaya mulai panik,"Apa – apaan itu? Bagaimana mungkin kau masih tetap hidup? Siapa kau sebenarnya?"

            Calya tersenyum penuh arti lalu menyilangkan kedua tangannya dan kemudian mengucapkan bait-bait mantra yang tidak dimengerti sama sekali oleh Sanjaya.


Aku memanggilmu wahai kekuatan

yang diberikan padaku

O Cyric, Agator, Azuth, Siamorfi, Hass, dan Zorn

kembalikanlah padaku apa yang menjadi hakku

supaya sejak malam ini hingga sepanjang abad

jeritan musuhku akan tertelan kelamnya

wujud asliku.


            Sosok Calya perlahan mulai berganti rupa, perlahan-lahan pakaiannya satu persatu mulai terkoyak oleh karena tubuhnya mula membesar. Kuku-kuku panjang mulai tumbuh dari ujung-ujung jarinya. Tangannya yang pucat, kurus dan keriput kini berubah menghitam, dari punggungnya muncul dua buah sayap seperti sayap kelelawar sementara kepalanya terbelah menjadi dua dan dari dalamnya muncul kepala baru dengan wujud yang amat mengerikan, sebuah sosok seperti wajah manusia yang sudah rusak tanpa mata dan hidung-digantikan oleh sebuah lubang hitam yang seakan hendak menyerap jiwa siapapun yang menatapnya. Mulut wajah tersebut layaknya bibir seorang wanita tetapi hitam kelabu, kulit wajahnya pun turut pula menjadi kelabu layaknya abu sisa pembakaran.

            Sanjaya bergidik ketakutan, otaknya memerintahkan ia untuk segera lari dari sini namun kakinya tak bisa ia gerakkan, seolah kakinya dipaku oleh pasak pada lantai bangunan ini. Dengan tangan gemetaran Sanjaya membuka sebuah kantong kulit yang terpasang pada bagian kiri sabuknya. Cepat-cepat ia menarik sebuah selongsong peluru dan dengan cepat ia masukkan ke dalam revolvernya yang memang sudah kosong itu. Ditembaknya sosok Calya yang secara perlahan mendekatinya namun peluru-peluru itu tidak berdampak apa-apa. Sanjaya terus menerus menembak mulai dari kepala, dada, perut, kaki, dan tangan monster tersebut tetapi Calya semakin saja mendekat sampai akhirnya pistol itu kehabisan peluru lagi.

            Sanjaya dengan cepat mengambil selongsong peluru lagi untuk mengisi ulang pistolnya tetapi kali ini Calya secara tiba-tiba sudah ada di depannya. Calya mencengkeram leher Sanjaya dengan tangan kirinya yang penuh kuku-kuku tajam lalu dengan suara berat berkata, "Permainan selesai!"

            Detik berikutnya Calya sudah memisahkan bagian pinggang sampai kaki Sanjaya dengan tubuh bagian atasnya. Belum sempat Sanjaya bereaksi, kembali ia mencabut rahang bawah Sanjaya dari tempatnya sehingga sosok Sanjaya kini tak memiliki rahang bawah, otot-otot tenggorokannya tampak jelas dan darah mengalir deras dari tempat yang semula adalah tempat rahang bawah berada itu. Darah merah mengalir membasahi pakaiannya sementara dari luka di pinggangnya menetes sejumlah besar darah yang membasahi lantai beton. Sosok pemuda itu kini hanya bisa mengerang dengan suara tidak jelas seolah memohon belas kasih dari musuhnya. Calya tersenyum melihat kondisi lawannya yang seperti itu. Sejenak kemudian Calya mengangkat tubuh Sanjaya tinggi-tinggi seraya berkata, "Setelah ini ... sampaikan salamku pada teman-temanku di bawah sana."

            Calya mengulurkan tangan kanannya kemudian ditembusnya dada kiri pemuda tersebut dengan tangan kanannya lalu ditariknya kuat-kuat jantung Sanjaya sehingga detik berikutnya pemuda itu meregang nyawa.

            Melihat lawannya sudah tak bernyawa, Calya langsung melahap jantung lawannya dengan rakus. Sesaat kemudian, perlahan-lahan sosok monster itu kembali ke wujud manusianya, seorang pria kurus dan botak dengan wajah culun berhias kacamata bulat lalu pergi meninggalkan tempat itu. "Permainan yang menarik, Sanjaya! Terima kasih sudah menghiburku untuk malam ini."


[1] Seri pistol buatan PT. Pindad

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top