BAB II : NANDI

Alam Semesta Versigi

Surabaya, Daerah Administratif Khusus Ibukota Region Jawa, Republik Indonesia Serikat, Mei 2010.

 

            Nandi tampak tengah terlelap di atas sebuah dipan berseprei putih. Angin ribut terdengar tengah mengamuk di luar, tapi Nandi tampak sama sekali tidak terpengaruh dengan suara-suara itu karena ia tengah dicengkeram mimpi.

            Dalam mimpinya ini Nandi melihat dua kelompok orang yang tengah berhadap-hadapan dan terbagi menjadi tiga kubu. Kubu pertama adalah sekelompok orang yang mengenakan zirah perak atau emas. Di punggung mereka terbentang sayap-sayap perkasa, sebagian dari mereka bersayap hitam, sebagian lagi bersayap putih. Ada beberapa dari mereka yang bulu-bulu sayapnya berupa logam alih-alih bulu, orang-orang ini mengingatkan Nandi pada gambaran Candaka – para utusan dewa – dalam kitab suci.

            Kubu kedua berjajar tak jauh dari kubu pertama. Kubu kedua terdiri dari makhluk-makhluk ganjil. Ada yang berwujud manusia namun berkepala banteng, ada yang berwujud gabungan tubuh singa, ekor ular, dan kepala serigala. Ada pula sekelompok makhluk-makhluk raksasa dengan tinggi menjulang setara dengan bangunan lima lantai. Singkatnya, kubu kedua adalah sekumpulan makhluk ganjil nan mengerikan, yang dalam pikiran Nandi lebih mirip dengan iblis-iblis yang berasal dari kegelapan abadi.

            Kubu ketiga terdiri atas sosok-sosok yang mirip manusia. Pakaian mereka bermacam-macam, ada yang memakai zirah logam tanpa lengan, ada yang mengenakan rompi dengan hiasan simpul warna-warni, ada pula yang hanya mengenakan celana dari kulit kayu. Masing-masing dari mereka menggenggam senjata yang memancarkan cahaya yang amat terang, membuat Nandi tak mampu melihat dengan jelas jenis senjata apa yang mereka pegang.

            Baru beberapa detik Nandi berdiri di antara ketiga kubu itu dan tiba-tiba saja teriakan perang dikumandangkan dari masing-masing kubu. Suara sangkakala[1] berkumandang membahana di antara tiga kubu itu dan sedetik kemudian kubu ketiga mulai diserang oleh kubu kedua dan kubu pertama. Terdengar suara denting logam yang saling beradu, suara ledakan, suara tulang yang patah, dan suara-suara teriakan marah atau pekikan ngeri. Tapi Nandi tak sempat memperhatikannya lebih jauh lagi karena tiba-tiba saja fokus pandangannya dialihkan kepada suatu sosok pria berzirah hijau pucat. Wajahnya tak nampak, tertutup oleh sebuah topeng kayu bercat hijau yang menampilkan wajah seseorang yang tengah tersenyum. Rambutnya panjang, digelung sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah untaian rambut di belakang kepalanya. Kepalanya berhiaskan sebuah mahkota sederhana yang hanya berbentuk seperti ikat kepala yang terbuat dari emas.

            Nandi tidak tahu siapa pria itu tapi ada sensasi aneh dalam dirinya yang mengatakan bahwa ia pernah bertemu atau setidaknya tahu pria ini sebelumnya. Namun pemandangan itu segera lenyap dalam sekejap dengan diiringi suara lirih seorang wanita, “Rancasan.”

*****

            Nandi terhenyak bangun saat jam wekernya masih menunjukkan pukul 3 pagi. Di sisi lain kamarnya, ia melihat sebuah dipan di mana adik satu-satunya, Wima Tirtabhani, masih terlelap dan mendengkur. Pemuda berambut ikal bergelombang itu tampaknya tengah bermimpi indah.

            Nandi beranjak bangkit dari dipannya dan berjalan mendekati sebuah cermin. Bajunya kuyup oleh keringat dan saat berkaca ia bisa melihat wajahnya nyaris sepucat mayat akibat mimpi tadi. Ini sudah ketiga kalinya ia bermimpi seperti itu, setelah sebelumnya selama seminggu penuh ia bermimpi dikejar-kejar sosok bayangan gelap. Otaknya pasti jadi tidak beres atau mencair sebagian pasca ‘diteror’ Ujian Negara seminggu yang lalu.

            Ia menatap kembali ke arah adiknya yang masih tidur nyenyak lalu membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati supaya tidak menimbulkan suara dan berjalan ke dapur. Diambilnya sebuah gelas minum dengan sangat hati-hati lalu berjalanlah ia mendekati sebuah galon air minum.

            “Tidak bisa tidur, Ndi?” terdengar suara seorang pria dewasa.

            Nandi tidak jadi mengambil air minum, ia menoleh ke arah sumber suara itu dan mendapati seorang pria berpotongan rambut pendek belah dan berkulit sawo matang,  tengah duduk di meja dapur. Nandi tak menyadari keberadaannya karena suasana yang gelap akibat lampu dapur yang dimatikan.

            “Eh, Kak Sanjaya. Kapan pulang?” tanya Nandi.

            “Dua jam yang lalu baru sampai. Lalu ngobrol sama Mama dan sampai sekarang belum bisa tidur.”

            Nandi mengisi gelasnya sampai penuh lalu meneguk isinya dalam dua kali teguk. Kepulangan kakak sulungnya ke rumah ini dalam 3 tahun terakhir bisa dihitung dengan jari. Kakak sulungnya ini boleh dikata ‘jenius’ dan penopang hidup keluarga Nandi. Pasca kematian ayah mereka, ibu mereka membawa mereka berempat kembali ke kampung halamannya di Surabaya dan tinggal di rumah kecil milik paman mereka, kakak ibu mereka, di daerah Embong Malang. Paman mereka ini sudah meninggal empat tahun yang lalu tapi ahli warisnya tetap membiarkan keluarga Nandi tinggal di rumah itu sampai waktu yang belum ditentukan.

            Pekerjaan ibu mereka hanyalah guru SD Swasta yang baru-baru ini diangkat menjadi kepala sekolah. Penghasilan tambahan keluarga ini hanyalah uang pensiun ayah mereka yang boleh dikata kecil. Meskipun ayah mereka PNS, tapi karena golongannya belum cukup tinggi saat wafat ditambah desas-desus bahwa ayah mereka sering berseteru dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan, maka gaji pensiun ayah mereka pun hanya 1 juta rupiah. Itupun harus dipakai menghidupi empat anak sehingga mereka harus selalu berhemat.

            Tapi sejak Sanjaya bekerja dan sering mengirimi uang untuk ibu mereka, kehidupan mereka kini jadi agak lebih baik. Kiriman dari Sanjaya boleh dikata lumayan sehingga akhirnya ibu mereka bisa membeli rumah yang mereka tinggali saat ini menjadi milik mereka seutuhnya sehingga tidak perlu khawatir sewaktu-waktu nanti diminta pindah oleh ahli waris paman mereka.

            “Bagaimana sekolahmu, Ndi? Habis ini mau ke mana?” tanya Sanjaya.

            “Ah, mungkin mau ke STIE Junjung Dharma saja. Ambil D1 lalu kerja.”

            “Nggak sayang cuma ambil D1, Ndi?”

            “Nggak lah Kak.”

            “Khawatir biayanya?”

            Nandi terdiam sejenak sebelum mengangguk.

            “Nggak usah khawatir sama biayanya, Ndi. Aku yang tanggung!”

            “Tapi ... .”

            “Sudahlah. Kapan hasil Ujian Negara diumumkan?”

            “Mungkin bulan depan.”

            “Dan selama masa ini ... apa ada kegiatan di sekolah?”

            “Err ... aku dijadikan panitia album kenangan sih.”

            “Bagian apa?”

            “Bagian fotografi dan editingnya.”

            “Tapi tidak wajib datang ke sekolah lagi kan?”

            “Memangnya kenapa Kak?”

            “Besok aku mau ke makam Papa. Tapi Mama tadi bilang Sumitra ada kegiatan di kampus dan Wima ada kegiatan belajar kelompok bersama teman-temannya. Kau bisa temani aku?”

            “Em-uhm, oke.”

            Nandi dan Sanjaya berbincang beberapa saat sebelum akhirnya Nandi kembali ke kamar tidurnya 30 menit kemudian, sementara Sanjaya pun masuk ke kamarnya yang dulu ia tinggali bersama kakak kedua Nandi, Sumitra Ankara.

            Kembali Nandi mencoba tidur dan berharap tidak akan diganggu mimpi-mimpi aneh lagi. Sayangnya harapannya tak terkabul. Ia mendapat mimpi yang jauh lebih buruk daripada yang sebelumnya.


[1] Terompet kerang

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top