BAB I : AWAL
Keteraturan lahir dari kekacauan dan kekacauan lahir dari keteraturan
(Anonim)
Alam Semesta Versigi
RS Hasan Sadikin Bandung, Region Jawa, Republik Indonesia Serikat, April 1994.
Seorang pria berusia 30 tahunan akhir dalam balutan celana hitam, kemeja merah maron bermotifkan kotak-kotak duduk termenung di sebuah ruangan di rumah sakit negeri yang ada di kota Bandung itu. Ruangan itu berukuran 4 x 4 meter. Di dalamnya terdapat sebuah meja kerja yang dipahat dari kayu besar dan dihiasi ukiran ala Jepara, sebuah kursi kulit hitam, sebuah filing cabinet berwarna abu-abu serta sebuah almari kaca yang memuat beragam barang pribadi, souvenir, dan foto-foto yang dibingkai dalam bingkai-bingkai foto berwarna perak.
Pria itu mengulurkan tangannya ke sebuah papan nama yang terbuat dari batu marmer yang bertuliskan : dr. Adhibratha Mursito, Sp.PA. Ia memutar-mutar papan nama itu selayaknya anak kecil. Ya anak kecil, masa-masa yang sudah hilang dari dirinya. Ia merindukan rasanya menjadi anak kecil, anak kecil yang polos dan tak perlu tahu banyak. Selalu dilindungi dan merasa aman setiap saat dalam dekapan ayah atau ibu mereka, sungguh berbeda dengan apa yang ia alami saat ini. Ia tahu terlalu banyak dan sekarang tidak tahu harus bertindak apa.
Lama sekali pria itu bermain-main dengan papan namanya itu, memutar-mutar benda itu ke kiri dan ke kanan, terkadang satu putaran namun terkadang juga hanya setengah putaran hingga seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.
“Selamat siang Dok. Maaf Dok, ada yang mau bertemu anda,” kata suara perempuan dari balik pintu.
“Persilakan dia masuk, Suster!” jawab Mursito.
Pintu pun terbuka dan tampaklah seorang pria berpakaian rapi dalam balutan celana hitam dan jas coklat serta kemeja biru yang dipercantik dengan dasi bermotif garis-garis merah dan kuning. Pria itu berjalan dengan angkuh ke arah kursi di depan meja kerja sang dokter lalu menghempaskan tubuhnya ke kursi tersebut. Segera sesudah itu dinaikkannya kaki kirinya ke atas kaki kanannya, sebuah posisi yang seolah mengisyaratkan bahwa dia adalah orang yang sangat berkuasa.
“Siang Dokter,” sapa pria itu ramah namun Mursito benar-benar menunjukkan ekspresi tidak suka akan kehadiran pria itu di sini.
Pria itu melanjutkan lagi ucapannya, “Dokter tahu kan apa maksud kedatangan saya ke sini?”
Mursito langsung menyatukan kedua telapak tangannya lalu membungkukkan badannya ke arah pria itu dan menatapnya dengan tatatapan matanya yang setajam elang, “Jadi benar itu hasil kerja kalian?”
“Orang itu tahu terlalu banyak soal kami maka sudah selayaknya dia lenyap dari muka bumi.”
“Dan siapa yang memberimu hak mencabut nyawa orang, hah? Sangkamu kau dan teman-temanmu itu bisa terus melenggang kabur? Tidak! Aku jamin tidak kali ini. Jika kau bermaksud menyuap aku maka hal itu tidak akan berhasil. Aku akan tetap bersaksi di pengadilan. Dia bukan mati karena serangan jantung seperti klaim dokter bedebah itu. Ia mati diracun!”
“Oh, ya ampun Dok. Apa Dokter tak peduli dengan masa depan keempat anak anda?” kata pria itu dengan ekspresi licik yang memuakkan mata Mursito.
“Anda mencoba mengancam saya ya?!” hardik Mursito dengan mata melotot.
“Yah, kalau begitu saya tidak akan berlama-lama lagi di sini. Selamat siang Dokter,” balas pria itu sembari tersenyum.
Tak makan waktu lama, pria itu sudah keluar dari rumah sakit itu dan menuju tempat parkir. Di sana telah menunggu sebuah mobil Mercedes-Benz 300 Class berwarna coklat yang menunggunya. Pria itu membuka pintu belakang dan langsung masuk ke dalam. Segera sesudah itu mobil pun berjalan meninggalkan area rumah sakit itu.
Seorang pria lain duduk di samping pria yang baru masuk itu, ia memalingkan wajahnya kepada penumpang di sampingnya itu dan mulai bertanya, “Apa reaksi dari dokter itu, Agni?”
“Dia menolak, Bayu,” jawab pria yang baru masuk itu.
“Berarti dia sudah menandatangani kontrak kematiannya. Agni, hubungi Calya! Dokter itu harus sudah mati paling lambat hari Minggu ini!”
*****
Hari ini hari Minggu dan ini adalah hari Minggu yang langka bagi sebuah keluarga. Ya karena hari ini bertepatan dengan perayaan dirgahayu lahirnya pemerintahan serikat maka seluruh pegawai kantor dan instansi pemerintah diperbolehkan berlibur selama 4 hari terhitung sejak kemarin. Mursito merasa sudah saatnya dia mengajak keluarganya berjalan-jalan sejenak karena itu diajaknya Rahayu istrinya serta keempat putra mereka berjalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan, Jakarta.
Ketiga putranya tampak amat gembira diajak ayah mereka berjalan-jalan setelah sekian lama mereka hanya menghabiskan hari libur mereka melihat ayah mereka tak pernah ada di rumah karena bertugas di rumah sakit hingga sore hari. Tapi dua orang dari mereka – si sulung dan si nomor tiga – tampak resah, berkali-kali mereka memainkan jari-jari dengan resah, mata mereka saling bertatapan penuh arti sebelum sama-sama menerawang keluar jendela. Tidak sepatah kata pun mereka ucapkan pada dua saudara mereka yang tengah bercanda ria sepanjang perjalanan.
Salah seorang di antara saudaranya memperhatikan betul perangai aneh kakaknya hari ini. Ia beranikan diri bertanya pada saudara tuanya, “Nandi dan Kak Sanjaya kok diam saja?”
Remaja 16 tahun itu menoleh pada saudaranya, si nomor dua yang masih duduk di kelas 1 SMP lalu menjawab, “Tidak, tidak, tidak apa-apa kok Mit. Aku hanya capek.”
Si nomor tiga, Nandi, juga menanggapi serupa, “Sama.”
Ibunya menimpali dari kursi depan, “Kalian sakit?”
“Tidak Ma, hanya capek,” jawab mereka berdua bersamaan.
“Kalau pusing, Mama bawa Ponstan[1] di kotak obat.”
“Tidak Ma, cuma kurang tidur,” jawab si sulung.
“Aku ngantuk banget, nggak tahu kenapa,” jawab si nomor tiga.
Mursito melirik ke arah putra sulungnya itu melalui kaca spion yang ada di bagian tengah. Dalam hati ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan berakhir dengan baik. Putra sulung dan putra ketiganya peka akan hal-hal semacam ini. Dipandanginya si bungsu yang masih berumur 1 tahun tidur dengan tenang di pangkuan istrinya. Mursito merasa bahwa hari ini adalah hari terakhir ia bersama keluarganya. Para mafia itu akan memanggil Calya, sang legenda, pembunuh puluhan saksi persidangan tanpa meninggalkan jejak dan tidak ada satupun dari mereka yang pernah selamat dari makhluk itu. Ya! Makhluk! Ia menyebutnya makhluk sebab jelas-jelas baik Calya maupun para mafia itu bukan lagi manusia melainkan makhluk jahat dari dunia bawah.
Sementara dua insan manusia itu termenung sepanjang perjalanan tak terasa mereka sudah sampai di Ragunan. Mursito memarkir mobil kijangnya di tempat parkir lalu seluruh keluarga itupun memasuki area kebun binatang. Dari kejauhan seorang pria yang tampak kikuk, berkumis tipis dan berkacamata berlari tergopoh-gopoh menuju ke pintu masuk kebun binatang dan tanpa sengaja menyenggol Mursito hingga tersungkur.
“Ya ampun! Maaf Bapak, saya terburu-buru,” kata orang itu meminta maaf.
“Lain kali hati-hati Pak!” kata Mursito dengan nada sebal.
“Iya Pak, sekali lagi saya mohon maaf,” jawab orang itu sembari pergi dengan terburu-buru yang anehnya bukan menuju ke dalam kebun binatang tapi malah ke arah berlawanan. Mursito tak sempat memperhatikan keanehan itu. Ia langsung bangkit dan bersama keluarganya masuk ke dalam kebun binatang Ragunan.
Baru sekitar 5 menit di dalam kebun binatang itu Mursito mulai merasa pandangannya kabur, ia merasa dunia sekitarnya bergoyang dan kakinya tak kuat menumpu tubuhnya lagi. Akhirnya ia berkata pada istrinya, “Ma, Papa mau duduk dulu di sana ya.”
Istrinya lalu bertanya keheranan, “Lo kenapa? Papa sakit?”
“Tidak Ma, Papa kok tiba-tiba ……,” belum selesai Mursito berkata-kata dirinya sudah ambruk di tanah dan kemudian kejang-kejang.
“Loh? Papa … Papa!!” seru istri dan ketiga putranya panik.
Seorang petugas keamanan kebun binatang Ragunan dengan sigap segera menggendong Mursito ke klinik pegawai dan di sana seorang dokter wanita dengan sigap langsung memberi pertolongan pertama pada rekannya sesama dokter itu.
“Panggil ambulans dari RS Trimurti!” seru dokter itu pada seorang pegawai.
“Ya Bu!” jawab pegawai itu yang langsung memutar piringan nomor telepon dengan panik.
Tapi ketika sirene ambulans mulai terdengar, hal itu sudah terlambat bagi Mursito. Nyawanya sudah meregang sesaat sebelum mobil berhias suara berisik itu memasuki area kebun binatang Ragunan ini.
[1] Sejenis obat penghilang nyeri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top